Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Mengadili Tukang Sunat Desa

185 petani Tri Desa Tegal Glagah, Brebes, pemilik 84 hektar lahan tebu Tri mengadu ke Wapres Sudharmono karena hak-haknya dimanipulasi petugas KUD dan pamong desa. Para tertuduh disidangkan di PN Brebes.

27 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PINTU pengaduan ke Wakil Presiden Sudharmono ternyata terbuka untuk semua orang. Tak terkecuali petani. Misalnya, 185 petani tebu rakyat intensifikasi, atau dikenal dengan petani TRI, dari Desa Tegal Glagah, Brebes, Jawa Tengah, baru-baru ini mengadu ke Wakil Presiden. Mereka, pemilik 84 hektar lahan tebu TRI itu mengeluh gara-gara hak mereka, berupa uang Rp 10,8 juta dan 4,5 ton gula dari Pabrik Gula Banjaratma, diselewengkan pamong desa dan petugas desa. Berkat pengaduan itu, pekan-pekan ini, delapan orang di antara "tukang sunat" hak petani itu terpaksa duduk di kursi terdakwa Pengadilan Negeri Brebes. Persidangan pamong dan pejabat desa itu, kini, mendapat perhatian besar masyarakat. Sebab, Kepala Desa Tegal Glagah, Slamet Djaya, pernah sesumbar sebagai orang kuat ketika para petani ramai-ramai memprotes ketidakbenaran itu beberapa waktu lalu. Bahkan kepala desa itu sempat pula menyatakan protes itu tak akan ditanggapi kendati disampaikan ke bupati sekalipun. Pada Juni tahun lalu petani TRI Desa Tegal Glagah seharusnya mendapat pembagian gula icip-icip, semacam bonus dari PG Banjaratma. Ternyata, banyak petani pengikut TRI yang tak menerima jatah itu. Merasa dibohongi, mereka melapor ke Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) setempat. Petugas Muspika pun menggeledah rumah ketua kelompok petani. Laporan rakyat ternyata benar. Di rumah empat orang ketua kelompok petani, yaitu Somad, Abdul Halim, Rudi Fatikin, dan Haryono, petugas menemukan sekitar 60 kuintal gula yang seharusnya menjadi hak anggota. Gula itu pun disita untuk kemudian dibagikan ke petani. Walau gula sudah dibagi, keluarga H. Muchsin tak juga menerima jatahnya. "Keluarga kami belum menerima bagi hasil gula itu, sejumlah 4,5 ton," kata H. Muchsin, 75 tahun, bekas kepala desa di situ. Ternyata pula, tak hanya jatah gula yang disunat. Uang bagi hasil juga dipangkas. Dari uang bagi hasil Rp 28,8 juta, yang seharusnya diterima 185 petani tersebut hanya Rp 18 juta yang benar-benar dibayarkan. Berdasarkan pengusutan, permainan itu rupanya dimulai sejak pengambilan uang oleh pamong desa dari pabrik gula. Kepala Desa Slamet Djaya, misalnya, telah membuat daftar nama petani penerima uang bagi hasil dengan memalsukan cap jempol 185 petani itu. Yang mendapat tugas memalsukan cap jempol itu ialah Kepala Urusan Pemerintahan Desa Tegal Glagah, Rasmun. Setelah diterima, uang itu kemudian dipotong 10 persen sebagai jasa ketua kelompok (seharusnya jasa itu 5 persen). Selain itu, para pamong dan petugas itu, entah dengan alasan apa lagi, memotong hak petani itu sekitar Rp 40 ribu per hektar sawah yang telah ditanami tebu TRI. Seluruhnya pemotongan, yang berjumlah Rp 10,8 juta itu, kemudian dibagi-bagi antara petugas dan pamong desa tersebut. Kcpala desa, misalnya, kebagian Rp 3,6 juta. Chaerudin dan kawan-kawan dari KUD menerima Rp 3,2 juta, Haryono sekitar Rp 1 juta, Somad Rp 1,8 juta, Rudi Fatikin Rp 639 ribu, dan Abdul Hakim Rp 400 ribu. Rasmun tak menerima apa-apa. Karena pemotongan sewenang-wenang itulah petani ramai-ramai memprotes. Tapi Slamet Djaya tak menggubris. Memang, belakangan, selama setahun kasus ini mengendap. Karena itu, H. Muchsin nekat mengadu ke Wakil Presiden di Jakarta. "Kami mengadu sendiri ke Jakarta dan diterima sekretaris beliau," kata H. Muchsin. Usaha Muchsin ternyata akhir April lalu membuahkan hasil. Tim Pemda Brebes turun tangan mengusut kasus itu, dan menahan para pelakunya. Mereka, Kepala Urusan Pemerintahan Desa, Rasmun, para ketua kelompok tani tadi, serta tiga orang pengurus KUD Bangsri (Chaerudin, Tardjono, dan Rudianto), kini disidangkan di Pengadilan Negeri Brebes. Sedangkan Slamet Djaya, yang berstatus ABRI, akan diadili tersendiri di Mahmil. Mereka dituduh Jaksa Ajisman menggelapkan uang bagi hasil dan gula icip-icip serta memalsukan cap jempol petani. Tapi para tertuduh membantah melakukan penggelapan. "Kami tidak menggelapkan, hanya memungut biaya tambahan," kata Slamet Djaya maupun Rudi Fatikin. Biaya tambahan itu, dalih mereka, ditetapkan berdasar mufakat ketua kelompok tani, kepala desa, dan KUD. Kendati tidak diatur dalam surat keputusan menteri maupun bupati, biaya itu, katanya, diperlukan untuk biaya bongkar muat, jaga malam, biaya karung, dan sebagainya. Pemalsuan cap jempol itu, kata Slamet Djaya, memang atas perintahnya, dengan maksud mempercepat administrasi. "Agar bisa diuangkan segera," kata Slamet. Hanya saja, maaf, uang itu tak segera masuk kantung petani. W.Y. (Jakarta), Bandelan Amarudin (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus