Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ribuan hakim berencana melakukan cuti bersama pada 7-11 Oktober 2024 untuk menuntut kenaikan gaji yang mandek sejak 10 tahun silam. Solidaritas Hakim Indonesia mencatat, per 27 September 2024 pukul 22.00, sebanyak 1.326 hakim telah bergabung dalam gerakan cuti bersama. Gerakan ini dinilai berdampak pada penanganan perkara di pengadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanti, mengatakan salah satu pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman adalah memeriksa dan memutus perkara. "Bisa kita bayangkan kalau hakim itu cuti bersama dalam jangka waktu kurang-lebih berapa hari, itu akan membuat mandek semua pemeriksaan dan memutuskan perkara berhenti semua," ujarnya saat dihubungi Tempo pada Ahad, 29 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Susi, dampak cuti bersama ribuan hakim akan sangat besar. Ia pun mencontohkan seorang hakim bisa memeriksa tiga sampai empat perkara dalam satu hari. Sedangkan ada ribuan hakim yang berencana cuti. "Jadi, itu akan mengakibatkan pemeriksaan perkara itu mengalami delay (tertunda)," tutur Susi. "Di dalam dunia hukum, kita mengenal 'justice delayed, justice denied'. Jadi, delay pada pemeriksaan itu akan mengakibatkan keadilan itu juga tertunda."
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan Muhammad Tanziel Aziezi juga sepakat bahwa gerakan cuti bersama ribuan hakim ini akan sangat berdampak. Sebab, hakim merupakan komponen penting dalam persidangan dan penanganan perkara. "Namun kami melihat bahwa hal ini tidak bisa dibebankan seluruhnya pada pundak hakim," tutur Azhe—sapaan Muhammad Tanziel Aziezi—kepada Tempo. "Gerakan yang bisa mengganggu proses penanganan perkara ini ada sebab musababnya, yaitu penyesuaian kesejahteraan hakim yang tidak pernah dilakukan selama lebih dari 10 tahun."
Setali tiga uang, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, juga mengatakan cuti bersama para hakim akan berdampak besar. Sebab, seluruh proses berhukum menjadi terhambat. "Teman-teman hakim sebagai lembaga yang dimuliakan perlu juga bersikap bijaksana karena bagaimanapun mereka harus membatasi aksi mogok ini sampai kapan agar proses peradilan tetap dijunjung," kata Feri.
Ia enggan menjawab secara gamblang apakah tuntutan para hakim itu realistis di tengah adanya berita mengenai hakim yang bobrok. Menurut Feri, isu kesejahteraan dan hakim bobrok merupakan dua hal yang berbeda.
Feri menilai kesejahteraan hakim merupakan poin terpenting dalam mewujudkan peradilan yang merdeka. "Bagaimana bisa mereka merdeka kalau anak dan istrinya sakit, kebutuhan sekolah mereka bermasalah, kebutuhan pangan mereka bermasalah, kebutuhan rumah mereka bermasalah,” tutur Feri.
Kendati demikian, ia menyebutkan hakim bobrok tetap harus diberi hukuman atau sanksi. Apabila kesejahteraan sudah dipenuhi, kata Feri, kewajiban hakim menjadi supersensitif. Hakim wajib menjaga etik, nilai, kapasitas, kualitas putusan, dan sebagainya. "Begitu mereka melanggar etik saja, mereka bisa diberhentikan," ujarnya.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Julius Ibrani menekankan bahwa setiap profesi harus ada jaminan kesejahteraan demi penghidupan yang layak. Ia menggarisbawahi kesejahteraan harus sejalan dengan target output berupa kualitas dan kuantitas. Apalagi hakim merupakan profesi yang noble (mulia) dan hasil kerjanya adalah keadilan bagi masyarakat.
Ia menilai cuti bersama hakim dapat berdampak pada penanganan perkara. Menurut dia, tindakan tersebut bisa dianggap mengesampingkan kerja-kerja keadilan yang justru menjadi kebutuhan utama masyarakat menghadapi permasalahan hukum. "Kalau memang mau cuti, maka jangan sampai ada pengorbanan terhadap pencari keadilan, terhadap substansi keadilan," tutur Julius kepada Tempo.
Ia mencontohkan pihaknya juga pernah melakukan mogok kerja beberapa kali, tapi tetap menjalankan fungsi keadilan dengan tetap memberikan layanan bantuan hukum kepada masyarakat. Hal tersebut harus menjadi pertimbangan hakim. "Kalau ini sampai terjadi, saya pikir hal-hal yang menjadi tuntutan publik terhadap dihentikannya perkara atas nama keadilan tidak dapat lagi dibantah oleh para hakim dengan alasan kepastian hukum," ujar Julius. "Jika tidak, maka cuti-cuti dan mogok-mogok para hakim ini tentu substansinya bukan keadilan, melainkan hanya kantong pribadi."
Sementara itu, peneliti Transparency International Indonesia (TII), Izza Akbarani, enggan menanggapi dampak cuti bersama ribuan hakim pada bulan depan. "Kami tidak ada komentar spesifik terkait hal tersebut karena itu merupakan bagian dari hak kebebasan berekspresi dan berkumpul untuk menyuarakan pendapat," tutur Izza saat dihubungi.
Ia menuturkan, tuntutan penyesuaian kesejahteraan hakim menjadi isu yang penting, khususnya jika dikaitkan dengan integritas dan potensi praktik korupsi di lembaga pengadilan. Sebab, tanpa gaji dan tunjangan yang layak, potensi untuk korupsi, seperti jual-beli perkara, suap, dan gratifikasi, sangat rentan dilakukan oleh hakim.
Hal tersebut, kata Izza, sejalan dengan temuan TII dalam Survei Persepsi Publik terhadap Lembaga Pengadilan yang dilaksanakan pada 2022. Survei itu menemukan bahwa hakim cenderung dinilai paling berpeluang melakukan tindak pidana korupsi. Selain itu, praktik suap dan gratifikasi dipersepsikan masih menjadi risiko korupsi tertinggi di pengadilan.
Juru bicara Solidaritas Hakim Indonesia, Fauzan Arrasyid, memahami kekhawatiran ihwal dampak dari cuti bersama pada 7-11 Oktober 2024. "Namun perlu dipahami bahwa langkah ini diambil sebagai bentuk penyampaian aspirasi atas kondisi kesejahteraan hakim yang sudah lama tidak mendapat perhatian serius," ujarnya saat dimintai konfirmasi oleh Tempo, Ahad, 29 September 2024.
Fauzan menuturkan pihaknya telah mengkaji secara mendalam konsekuensi dari aksi ini. "Dalam rencana cuti bersama ini, kami memastikan bahwa perkara-perkara mendesak dan kasus-kasus yang sifatnya urgent akan tetap ditangani sesuai dengan prosedur."
Ia menegaskan bahwa aksi ini bukanlah bentuk pengabaian terhadap kewajiban, melainkan bentuk peringatan bahwa kesejahteraan hakim adalah komponen penting bagi keberlangsungan sistem peradilan yang adil dan berwibawa.
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Hakim Yasardin mengakui cuti bersama ini pasti memiliki pengaruh. Namun ia hakulyakin bahwa gerakan ini tidak menghambat penyelesaian perkara di pengadilan. "Tidak terlalu berdampak signifikan karena mereka mengatur jadwal sidang sendiri," kata Yasardin lewat sambungan telepon kepada Tempo.
Yasardin menjelaskan, hakim memiliki hak cuti. Hakim yang jatah cutinya habis tentu tidak bisa mengikuti gerakan ini. "Yang enggak bisa cuti kan masih bisa sidang," ujarnya.
Ditanyai soal ribuan hakim yang akan melakukan cuti serempak, Yasardin membandingkannya dengan jumlah seluruh hakim. Ia mencatat ada sekitar 7.600 hakim di Indonesia. "Kalau cuti bareng 1.300, ya, tidak terlalu masalah ini."
Ia menegaskan, gerakan hakim ini bukanlah mogok kerja. Cuti merupakan hak hakim. Selain itu, hakim-hakim tersebut menuntut haknya. Sebab, seharusnya negara menjamin keamanan dan kesejahteraan mereka. "Tapi kenyataannya, kesejahteraan itu sudah 12 tahun tidak diperhatikan," kata Yasardin. "Ya, wajarlah kalau mereka mengeluh."
Juru bicara Mahkamah Agung, Suharto, enggan menjawab secara gamblang soal gerakan cuti ribuan hakim. Ia menyebutkan harus berkonsultasi dengan pimpinan. "Jadi, mesti satu suara dan satu sikap terkait cuti, yang itu merupakan hak bagi PNS," kata Suharto.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo