IMPIAN menjadi orang kaya mendadak, ibaratnya, tinggal selangkah lagi bakal kesampaian. Apalagi, selembar sertifikat deposito atas unjuk senilai Rp 50 milyar sudah di tangan. Pihak Panin Bank di Jakarta sudah pula menyanggupi membeli dengan harga Rp 45 milyar. Tinggal menetapkan, kapan transaksi akan dilakukan. Ternyata, tidak gampang menjadi milyuner dadakan. Sebelum transaksi terjadi, empat orang yang hari itu datang ke Panin Bank untuk membicarakan soal jual beli surat berharga itu ditangkap polisi. Delapan tersangka lain ditangkap sore harinya. "Sertifikat deposito senilai Rp 50 milyar itu palsu," ujar ayor Made Paskita dari Dinas Kriminal Khusus Polda Jakarta, pekan lalu. Peristiwanya sendiri terjadi sepekan sebelumnya. Ini sebuah perkara menarik. Bukan saja karena menyangkut angka rupiah dengan nilai aduhai, tapi karena yang terlibat bukanlah orang sembarangan. Ada seorang pejabat Departemen Luar Negeri, seorang notaris bekas jaksa, seorang doktor ahli pemecah logam, dan karyawan Departemen Agama, serta pensiunan pegawai bank. Surat berharga yang diedarkan itu seolah dikeluarkan BNI 1946 Cabang Utama Kota, Jakarta. Sertifikat tersebut adalah sertifikat deposito atas unjuk, yang berarti bisa diperjualbelikan. Si pembawa, atau bearer, bisa menguangkannya sebelum jatuh tempo, dengan nilai yang sedikit berkurang tentunya. Ternyata, itu bukan satu-satunya deposito. Ditemukan ada beberapa sertifikat lain yang, menurut Made, bernilai sungguh fantastis: Rp 250 milyar, yang terdiri dari pecahan Rp 25 milyardan Rp 50 milyar. Surat berharga palsu itu, sedianya, juga digunakan untuk menipu atau mempecundangi bank. Namun, sejauh ini belum ada laporan bank yang sempat kebobolan. Pemalsuan, menurut Made, kira-kira dimulai dengan membuka deposito sebesar Rp 500 ribu di BNI 1946. Setelah mendapat contoh sertifikat dan nomor serinya, sertifikat tiruan segera dibuat. Seorang karyawan BNI 1946 yang baru saja pensiun diperalat agar mau mengetikkan -- dengan mesin ketik yang ada di BNI 1946 -- seolah sertifikat itu bernilai Rp 50 milyar. Para tersangka, yang masuk dalam kelompok pertama ini, mengontak beberapa orang lain -- katakanlah kelompok kedua -- agar mau bekerja sama. Caranya agar mereka menyediakan sejumlah dana, untuk uang pelicin agar obyekan raksasa itu bisa gol. Pejabat Departemen Luar Negeri itu, misalnya, "menyumbang" Rp 5 juta. Ditambah dengan para peminat lain, uang yang terkumpul berjumlah Rp 30 juta. Uang sebegitu dinyatakan untuk menservice pejabat bank. Tapi, nyatanya, dimakan kelompok pertama. Adapun kelompok ketiga, yang antara lain terdiri notaris dan doktor ahli yang belum lama kembali dari Jerman Barat, dimanfaatkan untuk menjajakan sertifikat palsu tadi. Kelompok ketiga ini, antara lain, sempat menawarkan sertifikat ke Hong Kong Bank dan Bank Bumi Daya. Di kedua bank itu mereka ditolak, dengan alasan jumlahnya terlalu besar. Gayung baru bersambut sewaktu mereka datang ke Panin Bank. Pihak Panin Bank terlebih dahulu mengontak BNI 1946 Cabang Utama, menanyakan apa betul ada sertifikat deposito atas unjuk dengan nomor seri seperti ditunjukkan para tamu itu. Jawabannya: betul. Tapi, nilai atau besarnya deposito tak ditanyakan, karena menyangkut rahasia bank. "Dan adanya rahasia bank itulah yang dimanfaatkan para tersangka," kata Made. Hanya, Irwansyah Budiman, dari bagian kredit Panin Bank, sejak awal sudah menaruh curiga. "Kenapa si pembawa tidak menguangkan saja deposito itu di BNI 1946? Lagi pula, janggal ada satuan sertifikat bernilai Rp 50 milyar," katanya kepada TEMPO. Mu'min Ali Gunawan, Senior Executive Vice President, tak kalah curiga. Selama 20 tahun bekerja di bank, katanya, belum pernah ia melihat sertifikat atas unjuk yang nilainya sebesar itu. "Yang saya tahu, sertifikat semacam itu paling hanya Rp 500 juta," katanya. Para pemalsu sertifikat, agaknya, juga kurang memahami serba-serbi bisnis sertifikat deposito atas unjuk. "Di Jakarta, frekuensi jual beli sertifikat semacam itu sangat jarang. Dalam sebulan paling hanya satu atau dua kali. Nilainya pun tak sampai Rp 1 milyar," kata seorang bankir. Atas kecurigaan itulah, pihak Panin Bank meminta agar petugas BNI 1946 datang untuk mengecek langsung keaslian sertifikat yang akan dijual Rp 45 milyar itu. Setelah diteliti, bisa dipastikan bahwa itu barang palsu. Petugas dari Polda Jakarta yang sudah dihubungi lantas menangkap para tersangka. Dr. Ir. Kuncoro, ahli pemecah logam itu, dalam perkara ini tampaknya hanya akan menjadi saksi. "Dia hanya diperalat oleh kawanan pemalsu," kata Made. Sebab itu, ia tidak ditahan. Suprihadi, pejabat Deplu, dan Notaris Suminto juga tak ditahan, karena alasan kesehatan. Tapi mereka tetap berstatus tersangka. Suprihadi menyangkal seolah sebagai penyedia dana. Uang Rp 5 juta yang ia berikan, katanya, adalah untuk pinjaman. Suminto juga menyangkal terlibat. "Saya hanya tergiur komisi 2% yang dijanjikan, dan tidak tahu bahwa sertifikat itu palsu," katanya kepada TEMPO. Surasono Laporan M. cholid, Bunga S. Moebanoe M. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini