TERDENGAR ketukan di pintu. Bambang, tuan rumah, yang hendak berangkat tidur juga mendengar namanya dipanggil. Ia memberanikan diri mengintip dari jendela. Di luar, dalam kegelapan malam, ia melihat tiga sosok bayangan. Bambang lantas teringat pada perampokan yang belakangan itu sering terjadi di pinggiran Surabaya. Ia tak berani membuka pintu. Tapi ketukan dan panggilan itu kian keras. Malah terdengar seperti ada kaca jendela dipecah. Bambang langsung saja berteriak, "Rampok, rampok!" Dan dalam sekejap, para tetangga berhamburan keluar. Tiga pria yang berada di muka rumah Bambang, di Jalan Ngagel Jaya Selatan, segera diserbu. Yang seorang berhasil melarikan diri. Tapi dua lainnya tewas dengan tubuh penuh luka. Kedua orang itu ternyata Zaenal Abidin, 31 dan Abdul Wachid, 32, sama sekali bukan perampok. Abidin, teman Bambang, malam itu datang bermobil untuk menyelesaikan masalah dengan tuan rumah. Sungguh malang, Bambang malam itu tak bisa mengenali wajahnya, karena gelap. Abidin dan Wachid seperti menjadi tumbal. Keduanya menjadi korban dari penduduk yang sedang marah. Sejak memasuki Tahun Macan yang keras ini, 1986, seputar Kota Surabaya memang seperti tidak aman. Pada minggu terakhir Januari, menurut Kolonel Hartantyo, Kapolwiltabes Surabaya, tercatat sedikitnya 56 kasus pencurian "dengan pemberatan". Dan, pada minggu pertama bulan ini, angkanya adalah 26. "Agak meresahkan, memang," kata Hartantyo kepada Choirul Anam dari TEMPO. Meresahkan, karena kawanan penjahat itu -- yang rasanya tak masuk akal berani beroperasi sebrutal itu di kawasan kota datang bukan hanya sekadar menyikat barang. Untuk melemahkan mental tuan rumah, mereka langsung mendobrak pintu, memecahkan kaca jendela. Itulah yang mereka lakukan ketika menjarah kawasan permukiman baru di Jalan Simpang Darmo Permai Selatan. Kawanan yang diperkirakan berjumlah 10 orang, dua minggu lalu, mula-mula memasuki rumah Agus Sunyoto, karyawan PT Faritex. Televisi, mesin ketik, radio, dan uang Rp 19 ribu diambil. Makanan, seperti pisang dan roti, yang tergeletak di meja ikut disikat. Meja, kursi, dan lemari di ruang tamu dibikin berantakan. Dari situ, mereka menuju rumah Donny, karyawan PT PAL. Donny menggertak seolah dia punya pistol dan akan menembak para penjahat. "E . . ., mereka malah tertawa dan bilang kalau mau tembak, tembak saja," kata Donny. Dia terluka di lengan, karena mencoba melawan. Istrinya, yang panik, segera berteriak. Sebagai jawaban, beberapa buah batu besar beterbangan ke atap rumah. "Ayo keluar kalau mau mampus," begitu penjahat berteriak, saat dilihatnya beberapa tetangga Donny hendak keluar rumahnya. Imam, tetangga Donny, nekat keluar menggenggam tombak. Ia disongsong penjahat. Duel terjadi. Karena tak seimbang, Imam kembali masuk ke rumah. Bersamaan dengan itu, batu-batu beterbangan menghantam kaca jendela dan atap rumah. Para penjahat baru menyingkir karena teriakan "Rampok, rampok!" kian gencar. Penduduk dari Tubanan, yang berjarak ratusan meter dari kompleks KPR BTN itu, mulai berdatangan untuk memberi bantuan. "Tak pernah saya bayangkan ada penjahat segila itu," kata Donny, yang lengannya mendapat tujuh jahitan. Yang amat disayangkan, karena sejak peristiwa itu, Edo, anaknya yang hampir dua tahun, terus-menerus seperti orang ketakutan. Untuk menghilangkan ketakutan dan keresahan, Kolonel Hartantyo kini menurunkan anggotanya untuk mengawasi daerah-daerah yang kemungkinan dijadikan sasaran penjahat. Sedangkan atas kasus di rumah Bambang. Hartantyo agaknya masih penasaran. Apa betul kematian Abidin dan Wachid, akhir Januari lalu, hanya kasus kecelakaan semata atau ada latar belakang lain. Sur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini