Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Teka-teki Di Kebun Kopi

Khouw Bwan Ik, 51, & putrinya Khouw Siok Ay, 21, tewas tertembak di perkebunan kopi bawen, Semarang. motifnya masih gelap. Diduga pelakunya lebih dari seorang.

22 Februari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SORE itu hujan tidak terlalu deras. Jamari yang sedang merumput di perkebunan kopi di Bawen, Semarang, melihat mobil putih masuk ke perkebunan. Itu pemandangan biasa. Paling orang pacaran, pikir Jamari. Tiba-tiba ia tersentak oleh suara yang menyerupai letusan ban. Anehnya suara itu kok beruntun. Asal suara lalu diusut. Yang ditemui pada Senin 10 Februari lalu itu, ternyata, dua sosok mayat, pria dan wanita. Keduanya terbaring dengan tubuh berlumuran darah. Belakangan diketahui, si wanita muda adalah Khouw Siok Ay, alias Luciawati, 21, mahasiswi IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, Jurusan Bahasa Indonesia. Korban satunya tak lain ayah Siok Ay sendiri, Khouw Bwan Ik alias Robertus Margono, 51. Dia ini pemilik pabrik minyak cat dan ter Cipta Karya, yang beralamat di Semarang Barat. Perampokan? Agaknya bukan. Buktinya, menurut Mayor Sriyono, Kasi Penerangan Polda Jawa Tengah, tak ada barang korban yang hilang. Uang Rp 400 ribu, dompet berisi surat-surat penting seperti SIM dan STNK masih tetap utuh. Benda-benda itu ditemukan dalam mobil korban, sebuah sedan Charade, yang ditemukan terparkir dalam keadaan lampu menyala di Salatiga. Atau sekitar 14 km dari lokasi kejadian. Menurut istri Bwan Ik, hari itu suaminya pergi mengantarkan anak sulung mereka, Siok Ay, ke Yogyakarta. Dari sana, niatnya terus akan mengurus perbaikan rumah yang baru dibeli di Yogya. Sebagian bahan bangunan seperti porselen dan cat tembok, sudah sempat dibeli oleh korban, dan ditaruh dalam bagasi mobil. Ada sebuah petunjuk, yang agaknya berguna sebagai bahan pelacakan. Beberapa saat sebelum ditemukan sudah menjadi mayat, kedua korban singgah di Kopi Eva di Bedono. Keluar dari sana, menurut penuturan seorang juru parkir, mobil mereka seperti dibuntuti oleh sebuah jip warna putih yang sebelumnya diparkir di tepi jalan. Tak ada yang mencatat nomor mobilnya, kecuali bahwa jip itu huruf depan nomor polisinya adalah H -- kendaraan asal Semarang. Sementara ini, baru itulah petunjuk yang diperoleh. "Data pembunuhan ini sangat minim," ujar sebuah sumber di Polres Salatiga, yang menangani perkara ini. Yang muncul, memang baru sejumlah dugaan. Antara lain, bahwa pembunuhan itu tampaknya sudah direncanakan lebih dulu. Pelakunya, sangat mungkin, lebih dari satu orang. Menghabisi sekaligus dua korban memang agak sulit kalau hanya dilakukan oleh satu orang. Apalagi, ketika itu, korban tampaknya tidak dalam keadaan terlena -- tidur misalnya. Korban dihabisi dengan beberapa tembakan. Pada tubuh Luciawati, misalnya, ditemukan luka tembak di kedua buah dada, bibir, dan telapak tangan. Sedangkan di tubuh ayahnya, selain ada luka tembak, dijumpai banyak bekas luka bacokan. Senjata api digunakan untuk menembak belum bisa dipastikan. "Tapi jelas bukan senjata api standar militer, karena diameter pelurunya kecil saja. Seperti pistol as," kata sumber tadi. Istri Bwan Ik heran mengapa suami dan anaknya sampai terbunuh begitu. "Setahu saya, suami saya tak punya musuh. Dia orangnya baik," katanya. Luciawati juga begitu. "Dia gadis periang dan terbuka. Semua hal, juga yang sangat pribadi, dia ceritakan kepada saya," katanya lagi. Budi Wiyono, kakak ipar Bwan Ik, mengakui bahwa korban memang orang baik. Ia, katanya, tak segan-segan menularkan ilmu kepada bawahannya. Budi sendiri merasa berhasil sebagai pengusaha tembakau atas bimbingan kakak iparnya itu. Ada selentingan, korban kabarnya pernah mengeluh tentang adanya persaingan tidak sehat dengan adiknya sendiri, di bidang usaha yang sama. Tapi, masih terlalu dini untuk menghubung-hubungkan soal persaingan ini dengan terjadinya pembunuhan. Toh, Mayor Sriyono optimistis, pada akhirnya polisi bisa membongkar teka-teki itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus