Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Indikasi Korupsi dalam LHKPN Abal-abal Pejabat Negara

Kepatuhan pejabat negara dalam menyerahkan LHKPN tidak dibarengi dengan keakuratan pelaporan aset. Indikasi adanya korupsi.

13 Desember 2024 | 12.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Satgas Pendaftaran dan Pemeriksaan LHKPN KPK melayani penerimaan pelaporan dari perwakilan calon anggota legislatif dan calon kepala daerah, di gedung ACLC KPK, 10 September 2024. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Kepatuhan pejabat menyerahkan laporan harta dan kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) meningkat.

  • Dari ratusan ribu LHKPN, ratusan laporan diduga abal-abal.

  • Perlu ada sanksi untuk pejabat yang tidak membuat LHKPN dengan benar.

SEPEKAN menjelang selesainya masa tugas sebagai pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, Nawawi Pomolango menyorot kepatuhan penyelenggara negara dalam menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Dia menilai, berdasarkan angka, tingkat kepatuhan pejabat dalam menyerahkan LHKPN bisa dibilang meningkat. Namun peningkatan ini tidak dibarengi dengan keakuratan data.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Berbicara soal pelaporan, it's okay, kepatuhan it's okay,” katanya saat mengisi seminar Hari Anti-Korupsi di Mahkamah Agung, Senin, 9 Desember 2024. “Tapi ternyata pengisian (data) itu lebih banyak abal-abalnya.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dikutip dari data e-LHKPN, jumlah pelapor pada 2023 mencapai 98,52 persen dari total 405.551 wajib lapor. Namun, dari jumlah itu, diperkirakan ada ratusan pelapor yang menuliskan data secara asal-asalan, tidak sesuai dengan data kekayaan yang sebenarnya. "Ada Fortuner yang dicantumkan dengan harga Rp 6 juta. Di mana itu belinya?" ujar Nawawi.

Komisi antirasuah menjadikan LHKPN sebagai salah satu alat untuk mencegah korupsi oleh pejabat negara. Pelaksanaannya diatur dengan undang-undang. LHKPN yang diisi secara ngawur, kata Nawawi, bisa menjadi indikasi adanya korupsi.

Ketua KPK sementara, Nawawi Pomolango, meninjau kendaraan mewah sitaan hasil rampasan kasus korupsi di gedung KPK, Jakarta, 6 Desember 2024. TEMPO/Imam Sukamto

Nawawi mencontohkan sejumlah pejabat yang terbukti mengisi LHKPN secara asal-asalan, di antaranya mantan Kepala Bagian Umum Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Kantor Wilayah Jakarta Selatan II, Rafael Alun Trisambodo; serta mantan Kepala Bea-Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto.

Rafael Alun diusut setelah kekerasan yang dilakukan anaknya, Mario Dandy Satriyo, menjadi viral. Kala itu Mario Dandy mengendarai Jeep Rubicon. Mario lantas menjadi sorotan karena mobil tersebut tidak terdaftar dalam LHKPN milik Rafael. Dari situ, KPK kemudian mengendus adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan Rafael.

Adapun dalam kasus Eko, ia diselidiki setelah video yang menunjukkan koleksi mobil antik dan sepeda motor gede Harley-Davidson miliknya menjadi viral. Ternyata sejumlah kekayaannya itu tidak dilaporkan dalam LHKPN miliknya.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Julius Ibrani menilai selama ini pengisian LHKPN sebatas mekanisme administrasi tanpa ada pengecekan kepatutan. Tindak lanjut terhadap LHKPN yang janggal baru dilakukan setelah menjadi kasus dan mendapat sorotan. "Dari jumlah wajib lapor, paling hanya 0,5 persen," ujar Julius pada Rabu, 11 Desember 2024.

Menurut Julius, sudah menjadi rahasia umum bahwa pejabat nakal tidak akan melaporkan harta kekayaannya secara gamblang. Sebagian besar aset mereka disembunyikan dengan berbagai cara. Salah satunya mencatat kepemilikan aset menggunakan nama orang lain.

Padahal kewajiban pejabat melaporkan harta kekayaan diatur dalam Pasal 5 ayat 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN serta Pasal 4 Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2006. Dalam aturan itu ditegaskan bahwa laporan harta kekayaan wajib disampaikan paling lambat tiga bulan sejak pengangkatan pejabat. Selama jabatan itu masih dipegang, laporan harus disampaikan secara periodik satu tahun sekali.

Julius mengatakan aturan itu sering dilanggar karena tidak ada sanksi tegas bagi pejabat yang abai terhadap LHKPN. Kondisi inilah yang menjadi celah bagi pejabat memberikan laporan sekadar untuk formalitas. Padahal, kalau diteliti secara mendalam, Julius yakin akan banyak ditemukan laporan yang tidak sesuai dengan fakta.

Peneliti dari Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada, Zainur Rohman, berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang membuat data LHKPN tidak sesuai dengan fakta. "Bisa saja ada kelalaian sehingga isinya tidak akurat," ucapnya. "Tapi bisa juga memang sengaja disembunyikan karena harta yang diperoleh berasal dari hasil kejahatan."

Karena itu, kata Zainur, untuk memastikan keakuratan data LHKPN, perlu ada aturan yang memberikan sanksi tegas. Sanksi ini ditujukan kepada mereka yang tidak menyerahkan laporan atau memanipulasi isi laporan. "Cara paling tepat untuk mengatasinya adalah menggunakan kriminalisasi illicit enrichment (kekayaan tidak wajar)," katanya. Pejabat yang kedapatan memiliki harta tidak wajar harus diinvestigasi dan diminta membuktikan asal-usul hartanya. "Jika tidak bisa membuktikan perolehannya dari hasil yang sah, harta itu harus dirampas untuk negara."

Dalam wawancara bersama Tempo, Nawawi mengakui ada kelemahan dalam sistem LHKPN, di antaranya tidak ada pengaturan illicit enrichment. Menurut dia, dengan adanya regulasi illicit enrichment, temuan dalam LHKPN soal harta kekayaan pejabat bisa langsung ditindaklanjuti dan diseret ke pengadilan jika ada profil yang tidak sesuai dengan hartanya.

Nawawi menyebutkan, di sejumlah negara, pemerintah bisa merampas harta pejabat yang tidak bisa membuktikan asal-usul hartanya. Pejabat itu juga dikenai denda. "Karena kita enggak punya illicit enrichment, terpaksa nunggu orang flexing dulu," ujarnya, Kamis, 12 Desember 2024.   

Padahal, kata Nawawi, United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) pada 2023 telah menyarankan adanya instrumen hukum tentang illicit enrichment, bahkan mewajibkannya bagi sejumlah negara. Saat ini ada 44 negara yang memiliki instrumen hukum tersebut.

Berdasarkan penelitian Transparency International Indonesia (TII), skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia berada di posisi ke-34 dari 100 pada 2023. Peringkat ini menunjukkan buruknya penanganan korupsi di Indonesia.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Julius Ibrani. Dok. PBHI

Mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo, setuju bahwa ada kelemahan dalam sistem LHKPN milik KPK. Menurut dia, sistem yang saat ini digunakan sekadar formalitas administrasi. Sebab, sistem tersebut tidak bisa mendeteksi adanya data tidak wajar, seperti nilai obyek yang jauh dari harga sebenarnya atau kenaikan harta kekayaan yang tidak sesuai dengan profil pejabat. "Sistem LHKPN tidak mampu membaca anomali dalam pengisian LHKPN," ucapnya, Kamis, 12 Desember 2024.

Berdasarkan pengalaman Yudi sebagai penyidik, selama ini KPK baru mengecek LHKPN seorang pejabat saat terseret kasus atau tengah disorot publik. Kebiasaan ini, menurut dia, perlu diperbaiki karena LHKPN penting untuk melacak tindak pidana korupsi.

Di sisi lain, pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan ketidakakuratan pengisian data LHKPN tidak melulu mengindikasikan korupsi. "Bisa jadi karena malas atau memang tidak jujur," tuturnya. Fickar juga menyayangkan sanksi yang tidak tegas. Karena itu, pada era kepemimpinan Ketua KPK baru mendatang, ia berharap ada perbaikan yang dilakukan lembaga antirasuah tersebut. Sebab, pengisian LHKPN yang tidak jujur bisa menjadi jalan pembuka untuk menelusuri tindak pidana korupsi.

Deputi Sekretaris Jenderal TII Wawan Suyatmiko menyebutkan, untuk memperbaiki indeks persepsi korupsi Indonesia, KPK harus berfokus pada penegakan hukum terhadap korupsi aparat penegak hukum dan korupsi politik. Sebab, berdasarkan data TII, dua faktor itulah yang masih banyak terjadi dan menyumbang praktik korup di Indonesia. "Termasuk menggencarkan operasi tangkap tangan," kata Wawan. "Karena itu merupakan bentuk pencegahan yang nyata."

Ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, sependapat dengan Wawan. Dia menyarankan KPK berfokus pada penegakan hukum. Hanya, upaya itu dapat dijalankan bila KPK berdiri secara independen. Ia sangsi penegakan hukum bisa optimal selama Undang-Undang KPK tidak dikembalikan seperti dulu. Sebab, posisi KPK yang berada di rumpun eksekutif akan membuka peluang intervensi. "Dan memastikan pimpinan KPK yang terpilih tidak punya kepentingan politik. Itu dibenahi dulu."

Selama lima tahun terakhir, KPK memang mendapat nilai minus. Pada periode lalu, Ketua KPK Firli Bahuri ditetapkan menjadi tersangka dalam dugaan suap. Sejumlah wakil pemimpin KPK juga tersandung pelanggaran etik.

Untuk menunjukkan taring KPK dalam penanganan kasus korupsi, Zainur berpandangan, perlu ada pembenahan di lingkup internal lembaga lebih dulu. Barulah kemudian disusul dengan penanganan kasus prioritas, di antaranya perkara yang melibatkan aparat penegak hukum, merugikan keuangan negara dalam jumlah besar, dan bersifat strategis. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Jihan Ristiyanti

Jihan Ristiyanti

Lulusan Universitas Islam Negeri Surabaya pada 2021 dan bergabung dengan Tempo pada 2022. Kini meliput isu hukum dan kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus