PERTAMA kali terjadi: seorang hakim "didemonstrasi" oleh
rekannya sesama penegak hukum, yaitu para jaksa. Kejadian tak
enak itu dialami Ketua Pengadilan Negeri Bekasi, J. Serang.
Enam orang jaksa dipimpin langsung oleh Kepala Kejaksaan Negeri
Bekasi, Artomo, 30 Januari lalu, mendatangi Serang. Tuntutan
mereka hanya satu Agar Serang mundur dari perkara yang sedang
ditanganinya.
Artomo berserta anak buahnya yang berkantor persis di samping
Pengadilan Negeri Bekasi, menuduh Serang sering marah-marah
kepada jaksa dalam memimpin perkara. Lebih dari itu, Serang juga
dituduh ada kepentingan dalam suatuperkara tanah yang lagi
diproses di pengadilan itu. Sebab itu satu-satunya jalan bagi
Serang adalah mundur ebagai ketua majelis hakim perkara tadi.
jika tidak, kata Serang, ia diancam: "Tidak akan ada lagi jaksa
yang mau bersidang bersamanya."
Maksud Artomo adalah perkara pemalsuan surat tanah. Seorang
penduduk bernama Saman bin Ijo dituduh telah menjual tanah
berstatus hak girik seluas 20.250 m2 di Desa Lembang Jaya,
Kecamatan Tambun, Bekasi, pada Februari tahun lalu. Jual beli
tanah seharga Rp 40 juta itu dilakukan Saman di hadapan Notaris
Nyonya Ayu Wulan Hartono kepada Djuwito Martakusumah, selaku
kuasa Direktur PT Djaya Turangga, akarta. Penjualan inilah yang
dituduh Jaksa Ridwan Ali memakai surat-surat palsu. Sebab
beberapa bulan sebelumnya tanah yang sama sudah dijual Saman
kepada Nyonya Indrawati Onggohartono seharga Rp 5 juta lebih.
Damai
Pemalsuan yang dilakukan Saman menurut tuduhan jaksa, meliputi
salinan girik atas tanah itu, surat keterangan Lurah Lembang
Jaya, dan akta jual beli dari Notaris Nyonya Ayu. Lurah Lembang
Jaya, B. Ibrahim, dituduh telah memberikan keterangan
seakan-akan tanah yang berada di kelurahannya itu milik Saman.
Sementara Notaris Nyonya Ayu dituduh Jaksa Prasetyo membuat akta
jual beli palsu antara' Saman dengan Djuwito -- padahal ia sudah
dimintai Nyonya Indrawati untuk menguruskan sertifikat atas
tanah yang sama.
Tuduhan jaksa itu berdasarkan surat pengaduan pembeli pertama,
Nyonya Indrawati. Selain mengadu ke kejaksaan, Nyonya Indrawati
juga menggugat Saman dan pembeli kedua, Djuwito di pengadilan
Negeri Bekasi.
Ketika proses pidana ketiga tersangka sedang berjalan,
tiba-tiba, 25 November 1981, Hakim Serang berhasil mendamaikan
Ny. Indrawati dengan Saman dan Djuwito dalam sengketa perdata.
Dalam akta perdamaian yang dibuat pengadilan, Djuwito diwajibkan
membayar sisa harga tanah kepada Saman sebesar Rp 20 juta dan
ganti rugi untuk Nyonya Indrawati sebesar Rp 21 juta. Ditentukan
pula, sebagian dari pembayaran itu akan dilunasi Djuwito pada
saat putusan pidana terhadap Saman dan kawan-kawannya dijatuhkan
hakim.
Mundur
Sebagai imbalan dari ganti rugi itu, Ny. Indrawati diwajibkan
mencabut kembali pengaduan pidananya kepada kejaksaan. Bulan
November itu juga Ny.Indrawati melaksanakan pencabutannya secara
tertulis.
Pencabutan inilah rupanya yang dipersoalkan pihak kejaksaan.
Dalam suatu sidang pidana awal Januari lalu, Jaksa Ridwan Ali
mempertanyakan akta perdamaian itu kepada Hakim Ketua, Serang.
Tapi tak disangka, Serang marah marah kepada jaksa. "Waktu itu
saya memang marah, tapi itu kan biasa--tidak pada tempatnya
pula kalau karena itu saya dituduh ada interest," ujar Serang
kepada TEMPO.
Tapi Serang tidak keberatan mundur dari perkara yang dituntut
oleh para jaksa itu. Bahkan dalam 5 perkara lainnya yang juga
tengah ia tangani, Serang juga mundur. Sikapnya itu, kata
Serang, untuk menunjukkan ia benar-benar tidak mempunyai
kepentingan dalam kasus yang ditanganinya.
Dalam sidang Rabu pekan lalu, Serang memang benar-benar tidak
muncul di persidangan lanjutan perkara Saman. Kedudukan Serang
sebagai ketua majelis, digantikan Wakil Ketua Pengadilan Syamsir
Adjram. Dua orang hakim anggota, Nyonya Mariani dan Nyonya
Rosliah Darwin Lubis, masih tetap menduduki kursinya. Dalam
sidang itu Syamsir mengumumkan pergantian ketua majelis dengan
alasan Serang mempunyai kesibukan lain.
Pengunduran diri Serang menimbulkan protes dari pengacara Saman,
I Wayan Sudirta. "Alasan pengunduran diri itu tidak dapat
diterima," kata Wayan. Adanya tuduhan "ada main" antara hakim
dengan terdakwa, membuat Wayan marah. "Demi Allah saya tidak
pernah memberi hakim atau menjanjikan bagian untuk hakim,"
protes Wayan. Penekanan dari kejaksaan terhadap hakim, dituduh
pengacara ini sebagai perongrongan terhadap wibawa pengadilan.
Maruli Simorangkir yang bertindak sebagai pembela Nyonya Ayu
juga ikut memprotes pengunduran diri Hakim Serang. Menurut
Maruli, yang berhak meminta hakim mundur hanyalah tersangka. Itu
pun harus dengan alasan yang sah, misalnya tersangka mempunyai
hubungan famili dengan hakim yang memeriksa. "Kalau jaksa
menuduh hakim ada kepentingan, sebaliknya dengan aksi itu
berarti jaksa juga mempunyai kepentingan," Maruli balas menuduh.
Hampir semua jaksa yang ikut berdemonstrasi ke pengadilan enggan
menjelaskan aksi tadi. "Percayalah, saya tidak mempunyai
kepentingan apa-apa dalam perkara itu. Hati saya putih," ujar
Artomo sambil membuka kancing bajunya. Kepala Kejaksaan Negeri
Bekasi itu mengatakan, sudah membuat laporan tertulis kepada
Jaksa Agung tentang aksinya itu.
Seperti Artomo, Hakim J. Serang juga melaporkan kejadian itu
kepada Ketua Mahkamah Agung, Mudjono, Jumat pekan lalu.
Sementara, para pengacara Wayan dan Maruli meminta Ketua
Mahkamah Agung untuk mengusut kejadian di Bekasi itu. Agaknya
sebuah kerikil menghadang tiga "pendekar hukum"-Mudjono, Ali
Said, Ismail Saleh--yang rajin menggalang kerjasama sejak
beberapa tahun terakhir ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini