Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan kembali mengembalikan berkas perkara dugaan pemalsuan dokumen Hak Guna Bangunan (HGB) di perairan Desa Kohod, Tangerang, Banten, ke penyidik Mabes Polri. “Sudah, kemarin,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar, Selasa, 15 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jaksa sudah pernah mengembalikan berkas kasus ini ke penyidik Polri pada 24 Maret 2025. Saat itu, jaksa meminta penyidik menindaklanjuti perkara ke ranah tindak pidana korupsi. Jaksa menilai ada sejumlah pelanggaran hukum dalam terbitnya HGB dan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang lokasi obyeknya masuk wilayah laut. Pelanggaran itu berupa pemalsuan dokumen, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik, dan indikasi penerimaan gratifikasi atau suap oleh tersangka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jaksa mengindikasikan penerbitan sertifikat HGB dan SHM di atas perairan laut Desa Kohod digunakan untuk memperoleh keuntungan secara tidak sah dalam pengerjaan proyek pengembangan Kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 Tropical Coastland.
Dalam Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan atau SPDP, penyidik polri hanya mengusut perihal dugaan pemalsuan dokumen atas penerbitan sertifikat tersebut. Mereka menggunakan Pasal 263 KUHP, Pasal 264 KUHP, Pasal 266 KUHP tentang pemalsuan surat, serta Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).
Dalam jawaban pengembalian berkas yang dikirim polisi ke jaksa pada 10 April 2025, mereka berkukuh tetap menyidik perkara ini atas tindak pidana umum, yakni pemalsuan dokumen. “Kami sudah membaca dan mempelajari pertunjuk P19 dari Kejaksaan. Penyidik berkeyakinan perkara tersebut bukan merupakan tidak pidana korupsi,” ujar Dirtipidum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Djuhandhani Raharjdjo Puro di gedung Mabes Polri, Kamis, 10 April 2025.
Menurut Djuhandhani, berdasarkan diskusi antara penyidik dan BPK serta sejumlah ahli, belum ditemukan adanya kerugian negara. Ia mengaku, hal itu mengacu pada keputusan Mahkamah Konstitusi No 25/PUU-XIV/2016, bahwa tindak pidana korupsi harus ada kerugian nyata. Hal itu merupakan konsekuensi hukum dari penghapusan frasa 'dapat' dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.
Ia menjelaskan, berdasarkan putusan itu, suatu tindak pidana bisa disebut tindak pidana korupsi, jika terbukti ada kerugian negara. Kerugian itu harus dihitung oleh lembaga yang berwenang, yakni BPK atau BPKP. Itulah jawaban yang diberikan penyidik ke jaksa yang kini berujung pada pengembalian berkas lagi.
Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Chudry Sitompul sebelumnya mengomentari terkait penyidik polisi yang tidak mematuhi petunjuk jaksa. Menurutnya, jaksa penuntut umumlah yang berhak menentukan Pasal apa yang harus dikenakan dalam suatu berkas perkara di tahap satu atau tahap pra penuntutan, bukan polisi. “Kenapa polisi harus mengikuti petunjuk arahan penuntut umum karena yang membuat surat dakwaan jaksa, yang melimpahkan ke pengadilan jaksa, jaksa yang membuktikan, bukan polisi,” ujar dia.
Menurut Chudry, berdasarkan asas dominus litis yakni asas hukum yang memberi wewenang kepada jaksa untuk melakukan penuntutan. Maka penyidik harus mengikuti petunjuk jaksa. Hal ini bukan soal polisi merupakan subordinat jaksa, melainkan masing-masing sudah memiliki fungsinya tersendiri. Dimana polisi berperan sebagai penyidik.