Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Indonesia memiliki waktu 45 hari untuk melengkapi berkas permohonan ekstradisi Paulus Tannos.
Paulus Tannos mengantongi paspor Guinea-Bissau, negara di Afrika Barat.
Persidangan di Singapura digelar untuk memastikan identitas Paulus Tannos, termasuk status kewarganegaraannya.
TANGGAL merah tampaknya tak berlaku di Kementerian Hukum. Saat libur tahun baru Imlek, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas justru menggelar konferensi pers ihwal perkembangan permohonan ekstradisi Paulus Tannos alias Thian Po Tjhin, buron kasus proyek pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Direktur PT Sandipala Arthaputra itu ditangkap oleh Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura pada 17 Januari 2025 dan saat ini ditahan sementara di Changi Prison.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Indonesia memiliki waktu 45 hari untuk melengkapi berkas permohonan ekstradisi terhitung sejak Paulus menjalani masa penahanan sementara. "Akan berakhir pada 3 Maret," kata Supratman di kantor Kementerian Hukum, Jakarta Selatan, Rabu, 29 Januari 2025. Saat ini Kementerian Hukum tengah menyiapkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Supratman yakin proses ekstradisi akan berjalan lancar meski Paulus memiliki paspor Republik Guinea-Bissau. Apalagi sikap pemerintah Singapura juga sangat kooperatif dalam menindaklanjuti permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menahan Paulus. “Buktinya yang bersangkutan sekarang sudah ditahan," ujar Supratman saat ditemui seusai konferensi pers.
Direktur PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos dihadirkan secara virtual dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP dengan terdakwa Irman, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 18 Mei 2017. Dok. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
Ihwal status kewarganegaraan Paulus, Supratman menegaskan, hingga saat ini, pria 70 tahun itu masih warga negara Indonesia. Paulus memang pernah mengajukan pencabutan status WNI pada 2018. "Dua kali yang bersangkutan mengajukan permohonan melepaskan kewarganegaraan," ucap Supratman. Namun Paulus tak kunjung melengkapi dokumen persyaratan sehingga permohonannya tidak pernah disetujui.
Status kewarganegaraan Paulus itu sebelumnya pernah disinggung oleh penyidik KPK pada medio 2023. Menurut penyidik, Paulus memiliki paspor dari sebuah negara di Afrika. Pengacara Paulus, dinukil dari The Straits Times, dalam sidang di Pengadilan Singapura pada 23 Januari 2025, mengatakan kliennya memiliki paspor diplomatik Guinea-Bissau. Jadi dia mengklaim penahanan kliennya oleh CPIB tidak sah.
Dalam kesempatan yang sama, pernyataan pengacara Paulus itu dibantah oleh pengacara yang mewakili pemerintah Indonesia. Menurut dia, Paulus tak lantas kebal diplomatik meski memiliki paspor Guinea-Bissau. Bahkan, dari tiga nama alias yang dimiliki Paulus, tidak ada satu pun yang menyandang status diplomatik.
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum Widodo menjelaskan, persidangan di Singapura itu untuk memastikan kebenaran identitas Paulus, termasuk status kewarganegaraannya. “Itu bagian dari komitmen kita ketika perjanjian ekstradisi ditandatangani," ucapnya.
Meskipun Supratman optimistis Paulus bakal diekstradisi ke Indonesia, kepastiannya tetap harus menunggu hasil persidangan. "Kita tidak bisa turut campur di sana karena, setelah selesai, ada putusan di pengadilan tingkat pertama di Singapura. Tentu masih ada proses banding," kata Supratman.
Pasang-Surut Perjanjian EkstradisiPerjanjian ekstradisi Indonesia dengan Singapura baru berlaku pada setahun terakhir. Padahal upaya mengesahkan pakta perjanjian itu sudah dirintis sejak puluhan tahun lalu. |
Guru besar hukum internasional Universitas Islam Indonesia, Sefriani, mengatakan untuk mengekstradisi Paulus, ada mekanisme yang harus diikuti sesuai dengan perjanjian ekstradisi antara pemerintah Indonesia dan Singapura. Misalnya diawali dengan mengajukan permohonan resmi tertulis. “Nanti tergantung Singapura, apakah permintaan itu dibahas cukup lewat eksekutif atau harus lewat putusan pengadilan,” ujarnya.
Sebenarnya, kata Sefriani, pemulangan buron tidak selalu harus menggunakan mekanisme ekstradisi yang birokratis dan lama. Dia mencontohkan pemulangan Djoko Candra, buron korupsi hak tagih atau cessie Bank Bali, yang ditangkap di Malaysia oleh Kepolisian RI. Pemulangan Djoko saat itu menggunakan pendekatan antarlembaga police to police. Prosesnya lebih mudah dan cepat.
Adapun pemulangan Paulus merujuk pada perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura yang ditandatangani pada 25 Januari 2022. Aturan itu telah diratifikasi oleh DPR dan resmi berlaku pada 21 Maret 2024. Perjanjian ini mengatur 31 tindak pidana yang bisa diekstradisi, di antaranya suap, korupsi, pemalsuan mata uang, dan kejahatan seksual.
Pada Pasal 6 ayat 2 perjanjian ekstradisi itu ditetapkan sejumlah syarat untuk permintaan ekstradisi. Pertama, keterangan seakurat mungkin atas buron yang dicari beserta informasi lain yang dapat membantu menentukan identitas orang tersebut, kewarganegaraan, dan kemungkinan lokasinya, termasuk foto terbaru atau rekam sidik jari apabila tersedia.
Kedua, keterangan tentang bentuk tindak pidana serta perbuatan yang dituduhkan kepada buron, termasuk waktu dan lokasi terjadinya tindak pidana. Ketiga, teks ketentuan hukum mengenai tindak pidana, kedudukan tindak pidana dan sanksi, termasuk hukum ihwal persyaratan dimulainya proses peradilan atau pelaksanaan pidana. Keempat, konfirmasi tertulis dari Jaksa Agung pihak pemohon yang dilengkapi dengan dokumen penguat.
Pada pasal yang sama juga menyebutkan, apabila permintaan ekstradisi berhubungan dengan buron berstatus tersangka, permohonan harus disertai dengan surat penahanan. Surat ini dikeluarkan oleh hakim atau pejabat berwenang dari pihak pemohon. Selain itu, diperlukan keterangan para saksi di bawah sumpah mengenai tindak pidana tersebut serta bukti-bukti lain.
Guru besar hukum internasional Universitas Diponegoro, Eddy Pratomo, mengatakan pemerintah perlu memastikan permintaan ekstradisi Paulus ini sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Extradition Treaty Indonesia-Singapura tersebut. Apalagi ini merupakan ekstradisi pertama setelah perjanjian itu diberlakukan. "Bila permintaan dikabulkan, Indonesia-Singapura perlu mengatur penyerahan sesuai dengan Pasal 12 Extradition Treaty," ucap Eddy.
Pada Pasal 12 ayat 3 dinyatakan penyerahan buron harus di bawah pengawasan dari pihak pemohon hingga titik terakhir keberangkatan di wilayah pihak tersebut. Waktu dan tempat penyerahan buron harus disetujui bersama.
Presiden ke-7 Joko Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menyaksikan penandatanganan perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura yang ditandatangani Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly serta Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum Singapura K. Shanmugam, di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, 25 Januari 2022. BPMI Setpres/Muchlis Jr.
Mekanisme pemulangan buron dalam perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura itu, kata Eddy, mirip pemulangan Hendra Rahardja alias Tan Tjoe Hing pada 2002. Hendra adalah tersangka korupsi bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang kabur ke Australia. Ia dituduh menilap uang bantuan sebesar Rp 1,95 triliun melalui Bank Harapan Santosa miliknya.
Eddy menuturkan proses pemulangan Paulus dan Hendra memiliki kesamaan, yaitu sama-sama menggunakan perjanjian ekstradisi. Namun, ketika Indonesia mengajukan permohonan kepada Australia, Hendra saat itu sedang sakit, sehingga dia diberi kesempatan untuk mengajukan pandangan hukum (legal opinion) kepada Mahkamah Agung Australia.
Pada 24 September 1999, hakim pengadilan di Sydney, Brian Lulham, memutuskan memulangkan Hendra ke Indonesia. Hendra melawan dengan mengajukan banding. Hakim pengadilan tinggi Australia pada Desember 2002 memberikan putusan yang sama. Namun polisi Indonesia kalah cepat oleh malaikat maut. Hendra meninggal pada Januari 2003 karena kanker ginjal.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Erma Nuzulia Syifa, yakin pemerintah Singapura tidak akan mempersulit ekstradisi Paulus ke Indonesia. "Potensi penolakan cukup kecil," ucapnya.
Dia menjelaskan, dalam kasus Hendra, pelaksanaan ekstradisi terganjal oleh status kewarganegaraannya. Saat itu Hendra tercatat sebagai warga negara Australia. Sedangkan dalam kasus Paulus, Menteri Supratman sudah menegaskan bahwa buron itu masih berstatus WNI.
Erma berharap Paulus bisa segera diekstradisi agar kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP bisa diusut tuntas. ICW mendorong KPK mengembangkan penyelidikan untuk menjangkau aktor-aktor lain. Sebab, kerugian negara dalam kasus ini cukup besar, mencapai Rp 2,3 triliun. "Biasanya, makin besar kerugian negara, makin banyak pula aktor yang terlibat." ●
Ade Ridwan Yandwiputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo