KATIRAN, pemuda bertubuh pendek dan kebancian-bancian ini, jadi buah bibir. Ia pembantu toko Putri Gunung di Gringging, Kediri, dicurigai mencuri uang majikannya, Rp 400 ribu. Kecurigaan memuncak setelah pemuda 18 tahun ini diketahui punya uang banyak. Gelang, cincin, sepeda dibelinya. Sempat pula temannya dipinjami Rp 30 ribu. "Tidak. Demi Tuhan, saya tak mencuri," kata Katiran di hadapan Nyonya Djamirah, pemilik toko itu. Tetapi uang yang banyak itu, katanya, adalah hasil penjualan harta warisan di desanya. Djamirah tak percaya dan terus mendesak. Karena diperlakukan begitu, Katiran akhirnya ngabur. "Cari dia sampai ketemu. Biar saya bunuh," kata janda berumur 51 tahun itu. Misdi dan Soewarno, pembantunya yang lain, melacak. Padiran, Kepala Desa Kalibotoh, desa tetangga Gringging, yang konon "intim" dengan sang janda kaya itu, ikut memburu. Tiga hari kemudian, 27 Januari 1986, ia membawa Katiran pulang dengan mobilnya. Tapi pada pagi 2 Februari 1986, Katiran, yang sudah sepuluh tahun mengabdi pada Djamirah, tergeletak di depan toko itu. Mayatnya miring, terimpit sejumlah drum minyak. Di sebelahnya ada tas kecil berisi pakaiannya. Ada juga kaleng Baygon kosong, dan baunya masih terasa. Kisah kematian kemudian berlanjut dengan isu: Katiran dibunuh. Lima belas hari kemudian, kuburnya dibongkar. Hasil visumnya, Katiran mati akibat hantaman benda keras. Tulang pelipis dan pipi kirinya patah. Polisi melacak. Djamirah dan para pembantunya ditangkap, berikut sebuah linggis disita. Kemudian, berkas mereka masuk persidangan. Saksi Jaerah, 30 tahun, pembantu rumah tangga Djamirah, katanya, melihat dari balik pintu, Katiran disekap di kamar. Ia juga mendengar suara blak-bluk-blak. Ada orang digebuk. Kata Jaerah lagi, ia melihat Katiran disiksa Djamirah dengan linggis. Itu, 1 Februari lalu. Hingga menjelang subuh. Jaerah berinjit-injit, mengintip. Katiran tertelungkup di lantai. Tak jauh dari situ, Padiran, 60 tahun, duduk mengamati Katiran. Jaerah kembali ke dapur. Hatinya dag-dig-dug. Kisah selanjutnya dari Misdi, pembantu di rumah itu juga. Polisi memperoleh cerita begini: Djamirah memanggil dia dan menyuruh menegakkan kepala Katiran, lalu meminumkan Baygon ke mulut korban. "Masuk, sih, masuk. Tapi tumpah lagi dan mengenai baju saya," ujar Misdi. Untuk menghilangkan jejak, bersama dengan Djamirah, Misdi kemudian menggotong Katiran keluar, menyandarkannya di sela drum. Dalam persidangan, Jaksa Djarkasi Utuh mendapat gambaran dari saksi Khozin, jogoboyo Gringging. Suatu hari, katanya, ia ketemu Padiran. Soal luka dan patah tulang pipi Katiran diungkitnya pada kepala desa itu, tapi dijawab, "Wah, itu kerjaan Djamirah dan Misdi saja. Saya ndak ikut-ikutan. Saya cuma tahu saja." Di sidang berikutnya, eh, malah Misdi bungkam. "Saya takut," katanya. Ia balik mungkir dan bilang tak tahu-menahu kematian Katiran. Semua keterangan yang diungkap, katanya, karena tekanan polisi. Ketika jaksa mengkonfrontasikan, polisi menyangkal melakukan penyiksaan terhadap Misdi. Masih di persidangan. Jaksa itu diyakinkan oleh surat keterangan tentang Misdi, dari Kepala Desa Panggul, Trenggalek, kampung Misdi. Di surat itu disebut: "Misdi pernah gila". Surat itu dibuat oleh Kepala Desa Panggul, karena keluarga Misdi yang meminta. Untuk membantu Misdi yang, katanya, terlibat pencurian sepeda. Djamirah dan Padiran menyangkal membunuh Katiran. Tapi mereka memang mengakui meminta surat keterangan yang menyebut Misdi "pernah gila". Tapi itu dilakukan sekadar mengingatkan bahwa Misdi, katanya, tak tetap pendiriannya. "Yang benar dibilang tak benar. Yang tak benar dibilang benar," kata Djamirah di persidangan. Djamirah tetap mengatakan Katiran bunuh diri. Katiran dipungut ketika berumur 7 tahun. Kepada TEMPO, Djamirah tetap pada pendiriannya. "Rumah saya ini bukan di tengah hutan. Kalau saya menyekap orang, pasti ketahuan," ujarnya. Rumah Djamirah memang di pusat keramaian pasar Grogol. Dan di sisi kanannya ada sekolah. Lagi pula, "Saya ini sudah tua. Lha, kalau saya pukul, masa dia tak melawan," tutur janda yang masih tampak sehat ini. Pengacara Wijayanto Setiawan, yang mendampingi kedua tertuduh, meragukan keyakinan Jaksa Djarkasi. Berdasarkan keterangan saksi Panitun, yang bertugas membersihkan rumah Djamirah, kamar yang dikatakan untuk menyekap itu adalah kamar sembahyang. Dan setiap hari selalu terbuka. Sedang linggis itu milik tukang batu yang akan mengerjakan tempat jemuran padi dan ada di rumah itu setelah kejadian. Jaksa, akhir Juli lalu, menuntut hukuman 10 tahun untuk Djamirah dan 7 tahun untuk Padiran. Djamirah dan Padiran kini dikenai tahanan luar. Uang jaminannya Rp 10 dan Rp 3 juta. Hubungan "intim" antara mereka yang bukan lagi rahasia, seperti disebut penduduk Gringging dan Kalibotoh itu ? Menurut Djamirah, mereka memang saling kenal, sejak 10 tahun lalu. "Itu karena hubungan dagang," tukas Djamirah. Sementara, kematian Katiran masih tetap teka-teki. Laporan Jalil Hakim (Biro Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini