KASUS kejahatan hak asasi manusia (HAM) telah membuat wajah Indonesia coreng-moreng di mata internasional, dari kasus Aceh, Timor Timur, Irianjaya, sampai Tanjungpriok. Agar tak menjadi pesakitan di mahkamah internasional, seperti yang dialami Bosnia, Rwanda, dan Khmer Merah, pemerintah Indonesia semasa Presiden B.J. Habibie, pada 1999, lantas mengakalinya dengan berjanji hendak membentuk pengadilan HAM di Indonesia dan menuntut pelaku kejahatan HAM berdasarkan hukum Indonesia.
Toh, janji itu sampai sekarang masih seperti jargon politik tanpa makna, kendati Undang-Undang tentang HAM dan Undang-Undang tentang Pengadilan HAM sudah lahir. Bahkan, DPR lewat Panitia Khusus Kasus Trisakti serta Semanggi I dan II, yang diketuai Panda Nababan dari PDI Perjuangan, belum bisa diharapkan. Padahal, pengadilan HAM ad hoc sangat penting agar para petinggi militer dan polisi bisa diadili, sekaligus supaya kejahatan HAM jangan terulang.
Dalam proses Panitia Khusus DPR untuk Kasus Trisakti serta Semanggi I dan II, hanya tiga fraksi di DPR, yaitu PDI-P, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Demokrasi Kasih Bangsa, yang menuntut pengadilan HAM ad hoc. Sedangkan tujuh fraksi lainnya memilih jalur mahkamah militer. Namun, Panda Nababan masih merasa yakin bahwa pengadilan HAM bisa digelar setelah mahkamah militer berlangsung.
Bagaimana akhirnya sikap DPR, baru pada Kamis pekan ini diputuskan. Tapi Munarman, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, menduga silang pendapat tentang pengadilan HAM ad hoc tak lepas dari manuver kompromi yang berlangsung di DPR. Beberapa fraksi di DPR yang setuju dengan Sidang Istimewa MPR untuk melengserkan Presiden rupanya sedang mencari dukungan dari Fraksi TNI/Polri. Untuk kasus Trisakti dan Semanggi, Fraksi TNI/Polri berpendapat kasus itu cukup ke mahkamah militer.
Itu untuk kasus HAM yang masih digarap DPR. Untuk kasus HAM yang sudah ada keputusan presiden tentang pembentukan pengadilan HAM ad hoc-nya pun, yakni kasus Timor Timur dan Tanjungpriok pada 1984, tanda-tanda konkret pengadilan HAM ad hoc dimaksud juga belum kentara.
Sudah begitu, nama jenderal militer seperti Wiranto, Zacky Anwar Makarim, Prabowo Subianto, Muchdi Pr., dan Johny Lumintang tak ada pula dalam daftar nama tersangka kasus Timor Timur. Dari 22 tersangka kasus itu, hanya nama mantan Panglima Komando Daerah Militer Udayana, Mayor Jenderal Adam Damiri, yang ada di urutan teratas.
Fenomena serupa terjadi pada kasus HAM di Abepura, 7 Desember 2000. Padahal, kasus yang bermula dari penyerangan Kantor Kepolisian Sektor Abepura itu sudah dikabarkan akan diadili di pengadilan HAM di Makassar.
Jadi, apalagi untuk kasus HAM pada peristiwa 27 Juli 1996, yang bermula dengan perebutan kantor PDI. Anehnya, sebagaimana kabar yang didengar Munarman, kasus 27 Juli 1996 tak dituntut untuk diajukan ke pengadilan HAM oleh PDI-P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini