Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Terdakwa Boneka untuk Jenderal

Kasus Triksakti gelombang ketiga diadili di mahkamah militer. Tapi terdakwanya hanya prajurit, tak sampai ke komandan.

24 Juni 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REFORMASI boleh dibilang bermula dari Universitas Trisakti. Di kampus di Jakarta Barat itu, pada 12 Mei 1998, empat mahasiswa tewas ditembak. Setelah itu, mahasiswa menduduki Gedung DPR dan kemudian Presiden Soeharto lengser. Namun, rantai penting dari reformasi, yakni peristiwa penembakan empat mahasiswa Trisakti, hingga kini tetap gelap. Kalaupun akhirnya kasus penembakan itu mengakibatkan mahkamah militer dua kali menggelar perkara, hasilnya bagai jauh panggang dari api. Pada 12 Agustus 1998, dua anggota kepolisian dari Brigade Mobil (Brimob) sudah dihukum. Begitu pula empat rekan mereka, pada 31 Maret 1999. Namun, hukuman mereka rendah, yakni antara 2 dan 10 bulan penjara. Kesalahan mereka pun hanya ditelisik dari segi prosedur militer. Sudah mereka cuma petugas lapangan, perkaranya pun tak menjawab siapa penembak para mahasiswa yang mengakibatkan empat mahasiswa roboh. Padahal, pada tragedi Trisakti, bukan hanya polisi yang diketahui beroperasi, tapi juga ada tentara. Dan jauh di atas keenam prajurit yang dihukum itu, sekurangnya masih ada Kepala Kepolisian Resor Jakarta Barat, Kepala Kepolisian Daerah Jakarta, Komandan Polisi Militer Jakarta, ataupun Panglima Komando Daerah Militer Jakarta. Belum lagi tabir kasus tiga tahun lalu itu terungkap, pekan-pekan ini dagelan hukum seakan-akan digelar kembali di Mahkamah Militer Jakarta. Sembilan anggota Brimob, di antaranya Inspektur Satu Polisi Erick Kadir Sully, tiba-tiba dimunculkan seperti pahlawan. Erick, yang dijadikan terdakwa bersama delapan anak buahnya sejak Senin pekan lalu, mengaku berinisiatif menembaki mahasiswa. Sehebat itukah Erick? Sebenarnya, anak buah Erick yang dijadikan terdakwa ada sepuluh orang. Namun, seorang dari mereka dikabarkan melakukan desersi, sementara seorang lagi tewas diamuk massa gara-gara merampas sepeda motor milik pengojek di Bekasi pada 11 Desember 1999. Menurut dakwaan Oditur Militer Letnan Kolonel Taufik Rachman, pada 12 Mei 1998, Komandan Resimen Brimob menugasi Erick dan sepuluh anak buahnya ke wilayah Ke- polisian Resor Jakarta Barat. Karena itu, satuan Erick akan berada di bawah komando Kepala Kepolisian Resor Jakarta Barat (ketika itu) Letnan Kolonel Timur Pradopo. Sekitar pukul 13.00, Erick dan pasukannya diperintah melalui radio komunikasi oleh Wakil Kepala Kepolisian Resor Jakarta Barat (waktu itu) Mayor Herman Hamid agar merapat dari Pos Polisi Grogol ke depan kantor lama Wali Kota Jakarta Barat di Jalan Letjen S. Parman. Alasannya, rombongan mahasiswa Trisakti sudah keluar dari kampus untuk long march ke Gedung DPR/MPR. Pada pukul 17.30, Erick melihat mahasiswa mengejar seseorang yang dituduh mencaci massa. Pemburuan massa rupanya dibalas oleh pasukan anti-huru-hara kepolisian dengan tembakan gas air mata. Akibatnya, mahasiswa panik dan lari masuk ke kampus. Bersamaan dengan itu, menurut dakwaan oditur, mahasiswa melakukan perlawanan dengan melemparkan batu, kayu, dan botol ke arah pasukan anti-huru-hara. Tanpa menunggu perintah Mayor Herman Hamid, ternyata Erick memerintahkan agar anak buahnya naik ke atas Jembatan Layang Grogol di depan Kampus Trisakti. Rupanya, kata oditur, Erick bermaksud menghentikan tindakan mahasiswa yang dinilainya telah menyerang petugas secara brutal. Di jembatan layang, Erick lantas memerintahkan agar anak buahnya menembak ke arah kerumunan mahasiswa. Akibatnya, empat mahasiswa tewas dan enam lainnya luka-luka. Ketika penembakan terjadi, sepuluh anak buah Erick menggunakan senjata jenis steyr kaliber 5,56 mm, sementara Ercik menggunakan pistol jenis revolver. Mereka juga berbekal peluru tajam dari sisa latihan sehari sebelumnya dan tambahan jatah peluru tajam cadangan untuk tugas di hari kejadian. Dakwaan oditur baru Kamis pekan ini akan dieksepsi oleh tim pembela Erick dan anak buahnya. Namun, salah seorang anggota tim pembela itu, Hotma Sitompoel, menganggap dakwaan oditur amat kabur. Oditur tak menjelaskan persisnya pelaku dan korban dalam kasus itu. "Siapa menembak siapa harus diuraikan secara jelas, tak bisa cuma disebutkan menembak kelompok," kata Hotma. Boleh jadi perdebatan antara tim pembela dan oditur akan berkutat di seputar masalah formalitas atau, paling banter, kuat-tidaknya pembuktian tentang tindakan Erick. Namun, mahkamah tragedi Trisakti gelombang ketiga itu diperkirakan tak mungkin menyentuh komandan di atas Erick ataupun penanggung jawab operasi dalam penembakan itu. Kekhawatiran senada diutarakan Munarman, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. "Ini cuma sidang sandiwara," ucapnya. Apalagi, pagi-pagi, dakwaan oditur sudah dikonstruksikan pada masalah inisiatif pribadi Erick. Dengan begitu, jelas rantai pertanggungjawaban kasus kejahatan hak asasi manusia (HAM) itu sudah dilokalisasi sehingga tak mungkin menjangkau para petinggi polisi ataupun militer. Pola semacam itu, menurut Munarman, juga sudah ditunjukkan pada mahkamah kasus Trisakti gelombang pertama dan kedua. Demikian pula pada mahkamah kasus penculikan mahasiswa dan penggiat demokrasi oleh Tim Mawar dari Komando Pasukan Khusus. Tapi Oditur Jenderal Marsekal Muda Subandi Parto menganggap tudingan Munarman berlebihan. "Kalaupun polanya sama, mungkin kebetulan saja," ujar Subandi. Katanya, materi dakwaan oditur disusun berdasarkan hasil penyidikan polisi militer. Jadi, ujarnya, tak mungkin oditur melenceng dari berita acara pemeriksaan yang dibuat polisi militer. Sementara itu, Adi Andojo, ketua tim Trisakti untuk tragedi 12 Mei 1998, berpendapat bahwa mahkamah terhadap Erick dan anak buahnya biar berlanjut. Untuk menjaring aktor intelektual kasus itu, menurut dia, pengadilan HAM ad hoc-lah yang berwenang. "Aktor intelektualnya, jenderal-jenderalnya, nanti tahap kedua diajukan ke pengadilan HAM," kata Adi. Kapan pengadilan HAM ad hoc dimaksud? Menunggu sampai mahkamah pidana internasional menjamah kasus HAM di Indonesia, sebagaimana kasus serupa yang pernah terjadi di Bosnia, Rwanda, dan Khmer Merah? Hps., Agus S. Riyanto, Ardi Bramantyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus