SELAMA ini, mafia peradilan cuma sebatas isu di bibir. Tak ada kasus suap perkara, apalagi yang melibatkan hakim, yang sampai ke meja hijau, setidaknya selama sepuluh tahun ini. Namun, sejak Kamis pekan lalu, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk pertama kalinya kasus penyuapan perkara disidangkan. Terdakwanya seorang pejabat di Mahkamah Agung (MA), yakni Direktur Tata Usaha Negara (TUN) MA, Zainal Agus. Zainal dituduh menerima suap sebesar Rp 100 juta dan sebuah pulpen emas Mount Blanc seharga Rp 1,5 juta dari pencari keadilan.
Toh, Zainal, 62 tahun, yang pernah menjadi hakim tinggi di Pengadilan Tinggi TUN Jakarta, tak tampak seperti pesakitan. Kendati duduk di kursi terdakwa, penampilannya lebih seperti hakim, dengan mengenakan dasi kotak-kotak dan kacamata St. Dupont. Wajahnya cerah dan selalu tersenyum.
Menurut dakwaan Jaksa Surung Aritonang, kasus suap Zainal berawal dari pertemuan terdakwa dengan Maria Leonita Sri Chandra Harumi di kantor terdakwa di MA, awal September 1999. Waktu itu Leoni mengurus dua perkara, yakni perkara peninjauan kembali atas nama Sugito Darsono untuk sengketa TUN sebidang tanah di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dan perkara kasasi untuk sengketa perdata sebidang tanah di Menteng, Jakarta.
Pada pertemuan itu, Zainal berani meminta pulpen berlapis emas merek Mount Blanc seharga Rp 1,5 juta milik Leoni. Ia tak lupa mengumbar janji akan mengurus perkara klien Leoni. Tiga bulan kemudian, mereka bertemu lagi, juga di kantor Zainal. Leoni lantas menunjukkan tulisan tangannya tentang kronologi perkara itu. Setelah membacanya, Zainal menyimpulkan dengan tulisan "Menang Gito" di kertas yang disodorkan Leoni. Maksudnya, Sugito yang diwakili Leoni pasti menang.
Untuk itulah Zainal, yang kabarnya dekat dengan Ketua MA saat itu, Sarwata, menjamin bisa mempengaruhi Wakil Ketua MA waktu itu, Th. Ketut Suraputra, yang menjadi ketua majelis hakim agung pada perkara klien Leoni. Tentu harus ada imbalannya, yakni uang sebesar Rp 500 juta.
Dua minggu setelah itu, Zainal dan Leoni bertemu lagi di Gedung MA. Di sana, Leoni menjanjikan uang panjar Rp 100 juta, yang akan diantar ke rumah Zainal di kompleks MA di daerah Jakarta Selatan. Sorenya, Leoni bersama suaminya dan sopir mereka mengantarkan uang itu ke kediaman Zainal. Uang muka itu diterima Zainal di teras rumahnya.
Belakangan, ternyata perkara klien Leoni kalah. Boleh jadi dari pihak lawan Leoni pun Zainal memperoleh imbalan serupa. Menurut sebuah sumber di MA, Zainal dikenal sebagai pejabat MA yang suka menerima uang dari kanan-kiri.
Yang jelas, Leoni berang. Dia mengadukan kasus suap itu ke Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi (TGPK), yang saat itu diketuai mantan hakim agung Adi Andojo Soetjipto. Alhasil, TGPK pun menjemput paksa Zainal karena ia enggan dipanggil secara baik-baik. Ketika Zainal diperiksa TGPK, segenap pejabat MA pun ramai-ramai mengelilinginya, termasuk Sekretaris Jenderal MA, Pranowo, dan Direktur Pidana MA, Djoko Sarwoko.
Namun, dengan sikap penuh keyakinan, Zainal mengaku tak mengenal Maria Leonita. Ia memang mengaku pernah bertemu dengan seorang perempuan bernama Leoni, yang datang ke kantornya meminta bantuan untuk bertemu dengan Ketut Suraputra. Tapi Ketut menolak bertemu karena Leoni bukan pihak beperkara. "Saya hanya ingin membantu mempertemukannya dengan Pak Wakil Ketua untuk memperlihatkan bukti-bukti baru. Kalau Pak Ketut menolak, ya, mau apa lagi," kata Zainal
Zainal juga menyangkal menerima imbalan dari Leoni. "Saya tak pernah meminta sesuatu, apalagi menjanjikan untuk memenangkan perkara," ujarnya. Ia menuding Leoni cuma calo perkara, karena sering berkeliaran di MA.
Benar-tidaknya pembelaan Zainal, majelis hakim yang akan mengujinya. Buat sebagian pegawai di MA, pengadilan Zainal cukup berarti bagi "pembersihan" kebobrokan di MA. Apalagi Zainal selama ini dikenal selalu "panen" perkara. Maklum, selain menjabat sebagai Direktur TUN, Zainal acap pula merangkap sebagai panitera untuk perkara TUN di MA.
Tapi, kasus suap Zainal sebetulnya tak seberapa dibandingkan dengan kasus suap yang melibatkan tiga hakim agung, yakni Nyonya Marnis Kahar, Nyonya Supraptini Sutarto, dan Yahya Harahap?kini pensiun. Anehnya, kasus suap tiga hakim agung ini tak kunjung ke pengadilan. Yang kini diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat justru Endin Wahyudin, penyuapnya, dengan tuduhan mencemarkan nama baik ketiga hakim agung itu.
Ahmad Taufik, Rommy Fibri, dan Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini