INI kisah tersangka Pakde atau Romo atau Siradjudin sehubungan dengan kasus di luar Dice. Tepatnya dalam kasus Cimanggis, yang minta korban Nyonya Endang Sukitri. Yakni kasus yang oleh pihak tim Kalibata, yang mengusut kasus Dice, dianggap membukakan jalan untuk mendakwa Pakde terlibat dalam kasus Dice. Pekan lalu, hasil otopsi pihak RS PMI, Bogor, atas korban, diragukan. Hampir saja dlputuskan untuk melakukan penggallan kembali jenazah, untuk dilakukan otopsi ulang. Untung, pihak Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (dulu Lembaga Kriminologi) UI, Jakarta, cepat tanggap. Lembaga itu, yang antara lain berfungsi mengurusi bedah mayat korban kriminalitas, tak menemukan kejanggalan selain penulisan laporan hasil otopsi yang kurang sistematis. Setelah pihak RS PMI Bogor diminta menuliskan kembali, akhirnya rencana otopsi ulang dibatalkan. Sebagaimana Dice, pada hari dihabisi nyawanya, menurut sejumlah sumber yang dihubungi TEMPO, korban pun bepergian dengn tujuan yang misterius. Hari itu, 20 Okto1er, Nyonya Endang Sukitri, 46, meninggalkan rumah di Depok II Tengah, pinggiran selatan Jakarta, sekitar pukul 16.30. Yaitu setelah ibu dua anak bertubuh subur itu menutup toko miliknya, Panca Jaya Depok, yang menjual bahan bangunan. Korban pergi diboncengkan sepeda motor oleh Jarowi, yang bekerja sebagai pengemudi keluarga Endang. Tiba di Jembatan Ciliwung, atau sekitar satu kilometer dari rumahnya, korban minta diturunkan. "Kamu nggak perlu tahu," begitu kata Endang saat ditanya ke mana sebenarnya tujuannya. Tapi tak lama kemudian, Endang terlihat naik bis jurusan Cililitan -- suatu hal yang sebenarnya bisa dilakukan dari depan rumahnya. Kerabat Endang pun segera tahu, wanita itu pergi untuk menjumpai Romo. Korban memang pernah mengatakan bahwa bila ia pergi selepas asar, pasti ke tempat Romo atau Siradjudin itu, di Pasar Rebo. Pada hari-hari dekat sebelum hari pembunuhan, Endang dikabarkan punya urusan dengan sang dukun. Jelasnya, Romo dimintai tolong mengurus surat cerai Endang dengan suarninya yang kedua (suami pertama meninggal) bernama Topo. Menurut pihak polisi, surat yang dimaksud memang diterima korban, dengan bayaran Rp 350.000. Korban malah sempat mengeluh karena Rorno minta lagi tambahan Rp 35.000, sementara suratnya belum beres benar. Dan ketika surat cerai itu selesai, ternyata surat itu palsu. Korban, seperti diungkap polisi, ternyata juga pernah menyerahkan uang Rp 10 juta kepada Romo, untuk dilipatgandakan. Uang itu diambil oleh korban dari Tabanasnya di BDN Cimanggis. Sementara itu, ada keterangan lain, yakni dari kerabat dekat korban, tentang pengambilan depositonya di bank tersebut, senilai Rp 4 juta dan Rp 3 juta. Cuma, uang yang ini -- tak jelas mana terlebih dulu diambil, apakah uang dari Tabanas ataukah uang Deposito -- dikemanakan, kerabat dekat itu tak tahu. Biasanya, bila ke tcmpat Romo, korban sudah berada kembali di rumah sekitar pukul 21.00. Tapi hari itu, sampai pukul 22.00, korban belum juga pulang. Seisi rumah jadi cernas. Tepat tengah malam, seorang kerabat ditemani Jarowi menyusul ke rumah Romo. Mereka sampai di tempat tujuan sekitar pukul 00.30, dan mendapati rumah itu sepi, semua pintu sudah tertutup rapat. Romo, mengenakan kain sarung, kata kerabat ini, menemui mereka dan mengatakan bahwa sesore tadi Endang tak pernah datang. Lantas, begitu dia dan Jarowi minta diri, tiba-tiba dua anak Romo -- Farid dan Kuspriyanto -- muncul. Farid langsung masuk rumah tanpa menegur Jarowi, yang sudah dikenalnya. Sedangkan Kuspriyanto berjalan lewat samping rumah. Esok harinya, karena Endang belum juga pulang, kerabat lainnya mengecek lagi ke tempat Romo. Tiba-tiba Romo nyeletuk bahwa ia tak pernah menjodoh-jodohkan Endang dengan siapa pun. Yang terasa janggal, karena kerabat Endang tak pernah menyinggung -- karena memang tak tahu -- soal ini. Kabar tentang Nyonya Endang baru diketahui sekitar pukul 11.00, 21 Oktober. Yaitu ketika polisi memberi tahu bahwa yang bersangkutan telah meninggal dan mayatnya berada di rumah sakit PMI Bogor. Lalu diketahui bahwa korban mati dibunuh. Nyonya Endang, menurut polisi, ditemukan terduduk menelungkupi sebuah gundukan tanah kuburan yang ternyata kuburan palsu -- di Kampung Pedurenan, Cimanggis, Bogor. Ia tampaknya sengaja dijebak untuk datang ke tempat yang sepi, jarang dilalui orang. Visum dokter menyebutkan bahwa korban tewas akibat hantaman keras punggung kapak, yang menyerupai palu, di bagian belakang kepalanya. Sedemikian keras hantaman itu, hingga kepalanya hancur, dan otaknya berantakan. Di lehernya juga ditemukan luka bekas cekikan. Korban, kata sebuah sumber, tampaknya dihantam ketika sedang dalam posisi rendah dan kepalanya menunduk. Yang sulit dipastikan adalah berapa orang sebenarnya yang membunuh korban. Meski dijumpai lebih dari satu jenis kekerasan, bukan berarti pelakunya lebih dari satu. Hanya, katanya, jelas bahwa kapak, yang kini dijadikan barang bukti, itulah memang yang digunakan menghantam kepala korban. Romo dan dua anaknya yang sudah disebut, belakangan. dicurigai sebagai pelaku pembunuhan atas Nyonya Endang, karena foto mereka dijumpai dalam tas korban. Dalam tas itu juga ditemukan empat surat Romo yang ditujukan kepada korban. (TEMPO, 13 Desember). Kedua anak Romo itu, menurut pihak Polda Metro Jaya, ditahan di Bogor. Mereka hanya menjadi tersangka dalam kasus Cimanggis. Dan awal pekan ini, menurut sebuah sumber, salah seorang di antaranya tak lagi ditahan. Apabila benar, keterangan kerabat dekat Nyonya Endang, ada dua keterangan bertentangan yang kini diketahui. Yakni, yang pertama, dari Nyonya Fatma, istri Pakde. Menurut nyonya ini, pada malam kejadian, suaminya nonton televisi dan kaset video sampai pagi, bersama beberapa orang. Sementara itu, menurut kerabat dekat korban, pada tengah malam, rumah itu sudah sepi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini