Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERMAINAN jelangkung itu tiba-tiba menyeruak dalam kepala Dyah Sipon, 38 tahun, pada suatu malam, Agustus lalu. Permainan memanggil roh itu menggoda hatinya. Ia berharap jelangkung bisa memenuhi impiannya, yakni menemukan suaminya, Wiji Thukul, yang lenyap sembilan tahun lalu.
Sipon bertemu Wiji terakhir kali di Stasiun Kereta Api Tugu, Yogyakarta, pada akhir 1997. ”Pertemuan yang menyakitkan karena kami berantem,” ujarnya saat ditemui Tempo di rumahnya di Solo, Selasa pekan lalu. Pertengkaran terjadi karena Wiji, sang penyair itu, ingin membawa satu dari dua anak mereka.
Sipon menolak permintaan suaminya. Situasi saat itu tidak aman. Wiji tengah dikejar-kejar aparat lantaran aktivitas politiknya di Partai Rakyat Demokratik (PRD), partai yang dituding sebagai dalang peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996. ”Saya tak menyangka itu pertemuan kami yang terakhir,” ujar Sipon, lirih.
Didera keinginan mengetahui nasib suaminya, suatu hari ia pun ”menciptakan” jelangkung. Dua anaknya menyiapkan peralatan: sebuah gayung mandi, arang, dan kapur tulis. Upayanya berhasil, jelangkung datang dan sudi ”bertamu”. Pertanyaan demi pertanyaan meluncur dari mulut Sipon. Jawaban terakhir yang ditulis jelangkung mengejutkan. ”Jelangkung bilang, suamiku masih hidup, dan tinggal di pantai,” kata Sipon.
Desember nanti genap sembilan ta-hun Wiji hilang. Sipon masih terus mencari suaminya. Ia sudah mengadu ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Komnas HAM, mantan presiden Abdurrahman Wahid, hingga Megawati Soekarnoputri.
Hasilnya, nihil. Sipon heran, kenapa pemerintah demikian sulit menemu-kan suaminya. ”Apa betul dia diculik? Kalau diculik, oleh siapa dan sekarang dikemanakan? Kalau dibunuh, di mana dikubur? Kalau dia dibuang, di mana dibuang?” katanya dengan nada tinggi.
Bukan hanya Sipon yang kecewa terhadap sikap pemerintah yang terkesan tak serius mengusut kasus ini. Kekecewaan yang sama ditumpahkan pasangan D.T. Utomo Rahardjo dan G. Misiati, orang tua Bima Petrus Nugra-ha, anggota PRD yang hilang, Maret 1998. ”Setiap malam kami berdoa untuk Bima,” kata Utomo, 60 tahun.
Utomo yakin anaknya sengaja dihilangkan karena aktivitas politiknya di PRD. Saat Bima akan berpamitan untuk pergi dari Surabaya ke Jakarta seusai kerusuhan 27 Juli 1996, ia sudah memberi tanda-tanda. Pemuda kelahiran Malang, 24 September 1973, itu meminta kedua orang tuanya legowo jika terjadi sesuatu pada dirinya. ”Saya bisa di-4B,” kata Utomo mengutip ucapan Bima. Empat B yang dimaksud Bima adalah diburu, dibui, dibunuh, dan dibuang.
Teman Bima, Winuranto Adhi, mengaku sudah lama mendengar Bima jadi target operasi aparat. Saat ia ditahan di kantor Badan Koordinasi Stabilitas Nasional, Surabaya, pascakerusuhan 27 Juli 1996, para interogator berulang kali menyebut nama Bima. ”Kalau tertangkap, maksimal mati, minimal dibikin cacat,” ujar Winuranto, anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Malang, meniru-kan ucapan interogator itu yang dulu pernah didengarnya.
Utomo dan Misiati tak pernah lelah mencari anak mereka. Keduanya juga sudah meminta bantuan Komnas HAM, Amnesty International, Human Rights Watch, Palang Merah Internasional, hingga Komisi HAM PBB. ”Kami percaya Bima masih hidup,” ujar Utomo. Tak hanya menempuh cara ”normal”, Utomo juga memakai jasa paranormal yang ia temui di Malang, Yogyakarta, dan Purworejo untuk melacak anaknya. ”Mereka bilang dia masih hidup dan ada di Lampung,” kata pensiunan pegawai Rumah Sakit Jiwa Porong, Malang ini.
Jasa orang pintar ini pula yang dipakai Tumiyem untuk menemukan Suyat, anak kesayangannya yang hingga kini juga tak jelas rimbanya. Untuk membayar paranormal, perempuan 60 tahun itu selalu menyisihkan uang hasil berjualan tauge. Tumiyem mengaku punya firasat bahwa Suyat, aktivis PRD Surakarta, masih hidup.
Hidup dan kejelasan keberadaannya, itulah yang didambakan orang tua para aktivis yang hilang. ”Buat apa pengadilan kalau nasib adik kami tidak jelas?” ujar Suyadi, 38 tahun, kakak Suyat. Ia kangen betul pada adiknya.
Maria Hasugian, Bibin Bintariadi (Malang), Imron Rosyid (Surakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo