Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ASRIL Sultan Marajo kini merasa lepas dari teror. Istrinya juga tak lagi uring-uringan dengan surat yang biasanya melayang ke rumah mereka saban tiga bulan. ”Kini saya plong, tidak ada lagi teror,” ujar wartawan harian Suara Merdeka tersebut. Teror yang dimaksud Asril, sebungkus surat tagihan dari kantor pelayanan pajak yang rutin mereka terima selama bertahun-tahun.
”Teror tagihan” ini bermula saat Asril, 47 tahun, memasang telepon di rumahnya di kawasan Jetis, Yogyakarta, pada 1987. Salah satu syaratnya ketika itu, ia harus menyetor nomor pokok wajib pajak (NPWP). Bapak tiga anak itu pun lantas mengurus kewajiban ini. Menurut dinas pajak, setelah mengantongi NPWP, setiap bulan ia harus melaporkan penghasilannya. ”Jika tidak, bisa didenda Rp 100 ribu,” ujarnya.
Tapi, Asril tak pernah melapor ke kantor pajak. Ia menganggap tak perlu melakukannya karena gajinya tiap bulan sudah dipotong pajak. ”Saya sudah jelaskan ke kantor pajak, tapi surat tagihan itu terus datang,” ujarnya. Di ujung surat selalu ada ancaman, ia terkena denda karena belum membayar pajak.
Surat tagihan itu yang membuatnya Februari lalu mengadu ke Lembaga Ombudsman Daerah (LOD) Daerah Istimewa Yogyakarta. ”Ombudsman swasta” ini langsung bergerak. Dua bulan kemudian, di kantor LOD di Jalan Tentara Pelajar, Asril dipertemukan dengan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Yogyakarta. Hasilnya, Kepala Pajak memutuskan Asril tak perlu melaporkan penghasilannya. ”Saya senang ada kepastian hukum,” ujarnya kepada Tempo pekan lalu.
Asril hanyalah ”segelintir” kisah sukses Ombudsman Yogya membantu warga Kota Gudek menghadapi ruwetnya hukum dan birokrasi. Lembaga ini juga kerap mengirim rekomendasi kepada instansi tertentu agar memeriksa aparatnya yang diduga korup. Ini, misalnya, saat lembaga itu pada 2005 menerima laporan perihal ulah Kepala Unit Pengolahan Limbah yang kerap membuat laporan keuangan fiktif.
Kala itu Ombudsman menurunkan tim investigasi untuk mengecek laporan ini. ”Tim menyimpulkan ada pelanggaran di sana,” kata Ketua LOD DIY, Salman Luthan. Temuan Ombudsman ini dikirim ke Kepala Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah dengan tembusan ke Gubernur DIY, Sultan Hamengku Buwono X. Tim memberi rekomendasi: Kepala Unit Pengolahan Limbah harus diperiksa. Tak berselang lama, kepala unit itu dimutasi dan pangkatnya diturunkan.
Ketajaman taring Ombudsman makin terasa saat mengusut laporan dugaan korupsi Rp 17 miliar dalam proyek telepon tanpa kabel (CDMA). Tak hanya meminta keterangan sejumlah kepala dinas dan sekretaris daerah, lembaga ini juga memanggil Sri Sultan HB X. ”Sultan datang dan menjawab pertanyaan-pertanyaan kami,” kata Salman. Belakangan, Sultan akhirnya memutuskan membatalkan proyek telepon nirkabel tersebut.
Berdiri dua tahun lalu, Lembaga Ombudsman DIY muncul atas gagasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia. Saat ide ini dibawa ke Sultan HB X, Raja Yogya ini setuju. Pada awal 2005 mulailah proses penyaringan anggota. Dari 103 pelamar, terpilih 5 orang. ”Kami yang terpilih sepakat hanya bekerja di Ombudsman,” kata Salman, yang sebelumnya berpraktek sebagai pengacara.
Untuk biaya operasional, setiap tahun lembaga ini mendapat bantuan Rp 750 juta dari dana APBD. Dana itulah yang dipakai, antara lain, membayar gaji lima anggota Ombudsman yang masing-masing Rp 3,5 juta per bulan. Sampai kini sudah sekitar 230 kasus yang ditangani lembaga ini. Kasus terakhir, penggusuran 91 rumah milik warga Dusun Mancingan, Parangtritis, yang dilakukan satuan polisi pamong praja Bantul dua pekan lalu.
Kamis pekan lalu, misalnya, Ombudsman memanggil Bupati Bantul Idham Samawi. Idham menjelaskan alasan penggusuran. Menurut Bupati, pihaknya mempunyai hak mengelola tanah milik Sultan Yogya. Tak hanya Idham yang dimintai keterangan. Pekan ini Ombudsman memanggil Dinas Pariwisata dan Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Bantul. ”Supaya kesimpulan kami betul-betul valid,” ujar Roswati, anggota LOD Yogya yang memeriksa Idham.
Menurut Salman, lembaganya selalu berhati-hati menerima pengaduan masyarakat. ”Tak selamanya pihak yang mengadu benar,” ujarnya. Tahun lalu, misalnya, serombongan warga Jalan Magelang mengadukan sebuah pabrik yang dianggap mengganggu mereka. Ombudsman menurunkan tim untuk menyelidiki pabrik itu. Ternyata pabrik tersebut berdiri sesuai dengan prosedur. ”Kami katakan kepada mereka, pabrik itu tidak melanggar hukum.”
Tak semua Ombudsman daerah semujur LOD Yogya. Lihat yang dialami LOD Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Kendati muncul lewat SK bupati, lembaga ini tak mendapat bantuan dana dari pemerintah. Berdiri sejak dua tahun lalu, kantornya pun masih menumpang di bekas gedung SD di Jalan Ahmad Yani. Dua ruang kelas masing-masing berukuran 5 x 6 meter ”diakuisisi” sebagai kantor. ”Perhatian pemerintah sangat minim,” ujar Sharul Eriadi, Ketua Divisi III Ombudsman Asahan. Sampai kini Ombudsman Asahan baru menangani 16 kasus.
Setali tiga uang nasib yang dialami Ombudsman Kabupaten Bangka. Lembaga ini hanya mendapat kucuran dana pemerintah setempat Rp 20 juta sebagai dana sosialisasi. ”Setelah itu, tak ada lagi,” ujar Hendra Sinaga, Wakil Ketua Ombudsman Daerah Bangka.
Ombudsman Bangka menempati gedung bekas kantor polisi di kawasan Jalan Jenderal Sudirman. Selain tak bergaji, tiga anggotanya harus berurunan untuk membiayai operasi lembaga ini. Entah lantaran gedungnya kurang bonafide atau pengurusnya jarang ke kantor, lembaga ini terhitung miskin menerima pengaduan. ”Baru 14 kasus yang kami tangani,” ujar Hendra.
Bagi Ketua Komisi Ombudsman Nasional Antonius Sujata, munculnya berbagai Ombudsman daerah itu bukan pesaing bagi lembaganya. ”Justru ini yang kami harapkan,” ujarnya. Menurut Antonius, Ombudsman daerah memang lebih efektif karena lebih dekat dengan masyarakat. Hanya, ujar Anton, wilayah kerja yang diawasi lembaga ini seharusnya yang berkaitan dengan otonomi daerah. ”Urusan kepolisian atau pengadilan itu kewenangan Ombudsman nasional,” ujarnya.
Menurut Anton, syarat hidupnya Ombudsman daerah—yang kini ada di empat daerah—adalah adanya dukungan pemerintah daerah dan DPRD. ”Seperti di Yogya itu. Kalau yang lain, setelah membentuk tak ada lagi komitmen,” ujarnya. Komisi Ombudsman Nasional, ujarnya, kini juga sedang memberi pelatihan kepada sejumlah aktivis yang berencana membentuk Komisi Ombudsman di daerah.
Tapi, Anton menolak jika Ombudsman daerah, seperti Ombudsman Yogya, disebut lebih bergigi ketimbang komisinya yang kini sudah berumur enam tahun. Menurut Anton, kedua lembaga ini sama-sama ”bergigi.” Komisi Ombudsman Nasional, kata Anton, gaungnya tak terdengar karena perkara yang diurus jumlahnya ribuan. ”Ombudsman Yogyakarta perkaranya sedikit, jadi lebih terdengar,” katanya.
Ramidi, Hambali Batubara, Syaiful Amin (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo