TIDAK ada yang mengagetkan Jaksa Agung Ismail Saleh, akhir bulan lalu, melebihi mendengar vonis bebas Jos Soetomo, tertuduh manipulasi pajak meliputi Rp 4,6 milyar. "Keputusan itu aneh dan mengejutkan serta mengundang tanda tanya," ujar Jaksa Agung Ismail Sale, berkali-kali kepada wartawan. Tanda tanya apa? "Tanda tanya terhadap aparat peradilan. Dan buntutnya, seperti vonis terhadap Endang Wijaya atau perkara reboasasi di Sulawesi Tengah yang mengagetkan, biasanya belakangan terpaksa diralat kembali," ujar seorang pejabat kejaksaan. Untuk kasus Jos Soetomo, menurut pejabat itu, tanda tanya semakin besar karena hampir semua orang mengenal Jos Soetomo: suka mengobral uang. Seorang jaksa dari tim pemeriksa perkara Jos Soetomo membenarkan dugaan itu. Banyak aparat pemerintah yang membela Jos Soetomo, "bahkan aparat kejaksaan di daerah pun ikut menghalangi pengusutan raja kayu itu," ujar jaksa senior itu. Maka, menurut sumber itu, kejaksaan perlu menugasi Jaksa Bagio Supardi dari Jakarta untuk menjadi penuntut umum dalam perkara itu. Semula, melihat "kondisi" daerah, Jos tidak akan disidangkan di kandangnya sendiri. Tapi, seorang pejabat penting di daerah itu, konon, menghalangi rencana penyidangan perkara Jos di Jakarta. Alasannya, "Apa kami tidak dipercayai lagi?" begitu alasan yang dikemukakan kepada anggota tim pengusut. Selama persidangan, kata sumber di kejaksaan, tanda tanya semakin membesar. "Hakim seakan-akan mengarah pada pembebasan Jos: banyak saksi penting dari jaksa yag tidak dipanggil," kata sumber itu. Selain itu, menurut analisa inteligen kejaksaan, putusan vonis hakim telah bocor sebelum dibacakan. "Buktinya, istri Jos kembali ke Samarinda dari Singapura, seminggu sebelum suaminya dibebaskan. Dan sehari sebelum vonis, para karyawan Jos mengadakan selamatan di pabrik," kata sumber di bidang intel itu menambahkan. Komplet sudah kecurigaan itu. Kejaksaan sendiri, menurut kalangan kejaksaan yang mengevaluasi kasus itu, melakukan kecerobohan: tidak mengadakan operasi inteligen setelah kasus Jos Soetomo ke pangadilan. Karena, "Kejaksaan sangat optimistis kasus ini akan digolkan hakim sebagai perkara korupsi," ujar sumber itu. Selain itu, diakui pula bahwa tuduhan Jaksa Bagio Supardi tidak cukup komplet untuk menjaring Jos, seandainya ada usaha-usaha hakim untuk membebaskannya. Semua tuduhan Bagio berantakan di persidangan. Jaksa dari Kejaksaan Agung itu menuduh Jos Soetomo memanipulasikan fasilitas bebas bea yang diberikan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk impor alat-alat berat dan barang-barang modal bagi PT Sumber Mas Timber dan PT Meranti Sakti Indah Plywood. Barang-barang itu, seperti didakwakan Jaksa, digunakan Jos Soetomo untuk kepentingan perusahaan-perusahaannya yang non-PMDN, yaitu PT Kayan River Indah Product, PT Kayan River Indah Plywood, PT Meranti Sakti Indonesia, dan PT Bumi Hijau, tanpa izin BKPM. Penyelewengan itu, menurut tuduhan Jaksa, terbukti dengan ditempatkannya alat-alat berat itu di kamp Keburau setelah masuk melalui Pelabuhan Tarakan. Kamp Keburau itu adalah wilayah PT Kayan River Timber Product, perusahaan yang seharusnya tidak menikmati fasilitas PMDN. "Saya tahu persoalan itu, karena ada memo yang menyebutkan alat-alat yang masuk atas nama Sumber Mas Timber itu harus digunakan untuk Kayan River Timber Product," kata Saksi Ruslan Effendi bekas kepala cabang perusahaan Jos Soetomo di Tarakan, yang melaporkan penyelewengan itu ke kejaksaan. Tapi saksi-saksi lain menjelaskan bahwa penempatan barang-barang itu di kamp Keburau sepengetahuan Bea Cukai. Penggunaan alat-alat itu untuk membuat jalan antara areal perusahaan Jos yang PMDN dan non-PMDN, terbukti pula di persidangan, telah mendapat izin dari BKPM dan Dinas Kehutanan. Yang lebih penting, Majelis Hakim berpegang pada bukti, tidak seorang pun saksi yang melihat sendiri alat-alat berat fasilitas PMDN itu digunakan oleh perusahaan Jos yang non-PMDN. Saksi Ruslan Effendi, yang diandalkan jaksa, terpojok di persidangan. "Bagaimana saya melihat alat itu di lapangan, kalau saya ada di Tarakan," ujar saksi itu. Tuduhan Jaksa tidak hanya kedodoran di segi manipulasi fasilitas bebas bea itu saja. Tapi juga dalam hal pelunasan iuran hasil hutan sebesar Rp 237 juta. Di persidangan itu kakaknya, Ava Hartono dapat pula membuktikan pelunasan dengan "tanda lunas" dari Dinas Kehutanan. Meskipun Jaksa mengemukakan data-data yang berbeda dari BRI Samarinda, bank yang menerima pembayaran itu, Hakim lebih mempercayai bukti dari Dinas Kehutanan sebagai instansl yang berwenang menagih iuran. Bukti-bukti yang mementahkan tuduhan, itulah yang antara lain dicurigai pihak kejaksanaan sebagai hasil permainan. "Bukti 'tanda lunas' itu baru dikeluarkan Dinas Kehutanan setelah Jos diusut kejaksaan apa itu bukan permainan?" ujar salah seorang anggota tim kejaksaan. Tentang peralatan yang ada di kamp Keberau, sumber kejaksaan itu membenarkan, memang sudah sepengetahuan Bea Cukai. "Tapi Bea Cukai menyegel alat-alat itu, sementara pihak Jos membuka dan menggunakannya. Apa itu tidak melawan hukum?" begitu dipertanyakan sumber itu. Di segi ini, sangat disesalkan, jaksa penuntut umum tidak mempertajam tuduhannya dan pihak pengadilan juga tidak merasa perlu mengungkit-ungkit. Sebab itu, Albert Hasibuan, anggota DPR, menyatakan bahwa keputusan atas Jos Soetomo itu sebagai "hikmah buat penyidik, agar penyidik benar-benar menyiapkan semua bukti yang bisa dipertanggungjawabkan sebelum mengajukan seseorang ke pengadilan." Namun, menurut Albert, seharusnya hakim - selain mempertimbangkan segi yuridis - juga mempertimbangkan aspirasi dan nilai-nilai yang berkembang di masyarkat. "Opini masyarakat sudah terbentuk bahwa Jos itu tidak bener, dan masyarakat sekarang sudah gandrung antikorupsi," ujar Albert, tanpa mengingkari kebebasan hakim untuk memutus menurut keyakinannya. Suara-suara memang tajam. Salah seorang anggota tim pembela, Nyonya Soesanti Winarto, sangat menyesalkan hal itu. "Saya kira semua pihak harus menghormati pengadilan. Janganlah mengangap orang yang disidangkan itu pasti dihukum," ujar Nyonya Soesanti, yang minta dikutip pendapatnya sebagai pribadi. Tentang "kekagetan" Ismail Saleh, Soesanti berkata, "apa Jaksa Agung melihat sendiri proses persidangannya?" Yang dikritik kalem-kalem saja. "Putusan ini memang telah kami pertimbangkan akibatnya. Tapi mau apa lagi, tidak ada saksi yang bisa membuktikan tuduhan itu, termasuk saksi pelapor," ujar Ketua Majelis Hakim Abdul Kadir Mappong. Dan katanya lebih lanjut, "kami toh tidak mungkin menghukum orang yang tidak bersalah." Mappong membantah tuduhan bahwa ia membatasi keinginan Jaksa mengajukan saksi. "Itu tidak benar. Tujuh saksi yang tidak jadi dihadapkan adalah pegawai-pegawai rendahan Bea Cukai, dan atas persetujuan jaksa," kata Mappong. Yang istimewa dalam kasus Jos Soetomo, menurut Mappong dan juga hakim anggota lainnya, Sunoto dan Sarono Utomo, adalah kerja keras Majelis selama hampir tiga bulan. "Terutama dua minggu terakhir, dan kami sendiri yang mengetik putusan itu, karena kami takut akan bocor keluar," ujar Hakim Sunoto. Sebab itu, Majelis Hakim membantah keras, berita yang seakan-akan vonisnya sudah diketahui Jos sebelum dibacakan. Mappong juga membantah putusan itu sok berani. "Semuanya hanya hasil dari sidang," katanya. Ketiga - anggota Majelis Hakim pun membantah keras bahwa putusan berdasarkan tekanan dari luar atau pesan dari atas. "Putusan sepenuhnya murni dari kami," tutur Mappong. Walau begitu, ia merasa gembira dengan usaha Jaksa Bagio Supardi untuk naik kasasi. "Saya memang ingin sekali keputusan kami itu diuji Mahkamah Agung," ujar Mappong. Apa pun kata Mappong dan rekan-rekannya, tidak banyak yang percaya, keputusan mereka itu diambil tanpa "lampu hijau" dari atas. "Jos itu orang kuat, semua pabriknya kalau tidak diresmikan Wakil Presiden (waktu itu) Adam Malik, tentu diresmikan Menteri Agama (waktu itu) Alamsjah," ujar seorang pejabat kejaksaan. Nama Alamsjah pula, yang disebut-sebut, sebuah sumber, sebagai "orang penting" yang turun tangan mengurus Jos Soetomo, ketika raja kayu itu dusut kejaksaan. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Alamsjah, serta-merta terperanjat mendengar kabar itu. "Demi Allah, itu fitnah! Saya tidak pernah berbuat apa pun untuk itu," ujar Alamsjah, yang mengaku memang kenal baik dengannya. Menteri mengenal Jos pertama kalinya, 1981, waktu kunjungan kerja ke Kalimantan Timur. "Waktu itu saya senang sekali, karena ia meminta saya meresmikan empat buah masjid yang dibangunnya," ujar Alamsjah. Masa kampanye Pemilu pada 1982, Alamsjah - waktu itu menteri agama bertemu lagi dengan Jos. "Kalau Bapak mau kampanye Golkar, silakan memakai pesawat pribadi saya," tutur Alamsjah, menirukan tawaran pengusaha itu. Alamsjah mengaku memanfaatkan sumbangan Jos itu untuk kampanye ke berbagai daerah, di antaranya ke Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi, dan NTB. "Setelah itu, saya tidak berhubungan lagi dengan Jos, kata Alamsjah. Tentang prospek perkara Jos, Alamsjah hanya bisa mengatakan, "Seharusnya Mahkamah Agung menegakkan keadilan, dan seharusnya pula keputusan hakim didukung mahkamah. Sebab, hampir semua pejabat tahu, Mappong itu hakim bersih dan orang baik." Wakil Ketua Mahkamah Agung, H.R. Purwoto S. Gandasubrata, juga berpendapat bahwa keputusan hakim terhadap Jos Soetomo itu "wajar". "Putusan itu biasa-biasa saja dan tidak mengherankan," ujar Purwoto. Malah Hakim Agung itu memuji sikap Mappong yang tidak bisa dipengaruhi oleh pemberitaan-pemberitaan mengenai Jos yang seakan-akan sudah mendahului keputusan hakim. "Orangnya memang terkenal berpandangan tajam. Dan memang seharusnya tidak perlu ada kesepakatan antara jaksa dan hakim untuk memutus suatu perkara," ujar Purwoto lagi. Maka, Purwoto meminta semua pihak menghormati keputusan hakim itu. "Kita harus menghormati keputusan hakim yang diambil berdasarkan keyakinan dan kebenaran," ujar Purwoto. Wakil Ketua Mahkamah Agung itu malah tidak yakin dengan tuduhan bahwa bawahannya itu "ada main" dalam perkara Jos. Sebab itu, Purwoto meminta, "masyarakat hendaknya sabar. Kita akan segera memeriksa kasus itu." Sebelum sidang di Samarinda, menurut Purwoto, Mahkamah Agung memang telah memberi pengarahan - tanpa ada usaha mempengaruhi putusannya. "Semuanya diserahkan sepenuhnya kepada keyakinan dan kewenangan hakim, Mahkamah Agung tidak berhak mempengaruhi," ujar Purwoto. Jaksa rupanya belum berhenti dengan keputusan Mappong. Seorang jaksa yang ikut mengusut masih menaruh harapan yang lebih besar pada perkara pidana ekonomi Jos, yang akan disidangkan akhir bulan ini. "Dalam perkara ekonomi itu, Jos tidak bakal lolos, karena tuduhannya sederhana sekali yaitu memasukkan barang-barang tanpa dilindungi ordonansi bea," ujar jaksa itu. "Kejahatan" seperti itu, kata seorang pengusaha kayu yang "sekelas" dengan Jos Soetomo, sudah "jamak" dilakukan pengusaha-pengusaha lainnya. "Hampir semua pengusaha besar mempunyai anak perusahaan dan salah satu fungsi anak perusahaan, yang statusnya tidak jelas itu, menampung fasilitas dan induk perusahaannya," ujar pengusaha kayu itu. "Sebab itu, kalau urusannya murni hukum, semua pengusaha besar harus diadili," katanya. Memang. Tapi, kata seorang jaksa, "kan tidak semua pencuri tertangkap."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini