Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berita Tempo Plus

Peluang Dua Mantan Hakim PN Surabaya Jadi Justice Collaborator

Dua terdakwa kasus suap dan gratifikasi perkara Ronald Tannur ajukan diri sebagai justice collaborator. Bagaimana peluangnya?

23 Februari 2025 | 06.00 WIB

Tiga terdakwa majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Erintuah Damanik (kiri), Heru Hanindyo dan Mangapul, mengikuti sidang perdana pembacaan surat dakwaan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta,  24 Desember 2024. TEMPO/Imam Sukamto
Perbesar
Tiga terdakwa majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Erintuah Damanik (kiri), Heru Hanindyo dan Mangapul, mengikuti sidang perdana pembacaan surat dakwaan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 24 Desember 2024. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Dua terdakwa kasus suap dan gratifkasi perkara Ronald Tannur mengajukan diri sebagai justice collaborator.

  • Saksi-saksi belum bisa membuktikan adanya suap dan gratifikasi dalam pengurusan perkara Ronald Tannur.

  • Seorang justice collaborator akan mendapat keringanan hukuman.

DUA hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang menjadi terdakwa kasus suap dan gratifikasi perkara Gregorius Ronald Tannur mengajukan diri sebagai justice collaborator. Dua hakim itu adalah Erintuah Damanik dan Mangapul. Keinginan itu disampaikan langsung kepada majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam sidang pada Selasa, 18 Februari 2025. "Klien kami mengajukan permohonan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator," kata penasihat hukum Erintuah dan Mangapul, Philipus Sitepu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Philipus mengklaim saksi-saksi yang telah dihadirkan jaksa di persidangan belum bisa membuktikan adanya suap dan gratifikasi dalam pengurusan perkara Ronald Tannur. Dengan demikian, keterangan Erintuah dan Mangapul bisa dijadikan kunci pembuktian.    

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Permohonan Erintuah dan Mangapul, kata Philipus, layak dipertimbangkan. Apalagi keduanya sudah menyesali perbuatan mereka dan berniat berubah serta memperbaiki diri. Selain itu, mereka sudah mengembalikan uang yang diterima dalam perkara ini. Uang itu diserahkan oleh istri masing-masing kepada Kejaksaan yang jumlah keseluruhan mencapai US$ 115 ribu.

Tiga hakim PN Surabaya yang ditangkap Kejaksaan Agung RI, Mangapul (kiri), Erintuah Damanik, dan Heru Hanindyo, yang diduga melakukan tindak pidana korupsi berupa suap atau gratifikasi perkara atas nama terdakwa Gregorius Ronald Tannur di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Jawa Timur, 24 Oktober 2024. ANTARA/HO-Penkum Kejati Jatim

Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, pada dasarnya, tujuan dibentuknya justice collaborator adalah untuk mencari pelaku utama atau the big fish. Karena itu, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi justice collaborator.

Syarat-syarat itu antara lain, tindak pidana yang akan diungkap adalah tindak pidana serius dan keterangan yang akan diberikan signifikan untuk mengungkap kasus. Orang yang mengajukan diri sebagai justice collaborator bukan pelaku utama dan bersedia mengembalikan aset hasil tindak pidana. Selanjutnya, ada ancaman terhadap pemohon sehingga harus dilindungi.

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, kata Fickar, justice collaborator dikenal dengan istilah saksi pelaku dan/atau saksi pelaku yang bekerja sama. Ketentuan mengenai justice collaborator diatur dalam beberapa peraturan, antara lain Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Kemudian, diatur pula dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 serta Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan LPSK tahun 2011, serta Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012.

Menurut Fickar, dengan adanya justice collaborator, diharapkan pelaku utama dalam suatu perkara bisa dijatuhi pidana. Selain itu, motif kejahatan yang berhubungan dengan perkembangan modusnya bisa diungkap. Fickar menilai justice collaborator bisa menjadi acuan dasar bagi penyusunan perundang-undangan yang dapat mengakomodasi perkembangan kejahatan ke depan.

Dengan semua dasar itu, Fickar berpendapat, bila permohonan justice collaborator oleh dua mantan hakim PN Surabaya itu ditolak, sangat mungkin mereka dikualifikasi sebagai pelaku utama.

Terdakwa dalam Perkara Vonis Bebas Ronald Tannur 

Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo

  • Mereka adalah hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang memberikan vonis bebas kepada Gregorius Ronald Tannur.

  • Kejaksaan Agung menduga tiga hakim tersebut menerima suap dan gratifikasi senilai Rp 1 miliar serta S$ 308 ribu (sekitar Rp 3,67 miliar). Suap tersebut untuk mengeluarkan putusan bebas (vrijspraak) bagi Ronald Tannur.

Lisa Rachmat

  • Lisa Rachmat adalah pengacara yang mendampingi Gregorius Ronald Tannur dalam perkara penganiayaan dan pembunuhan.  

  • Ia didakwa memberikan suap kepada hakim di Pengadilan Negeri Surabaya senilai Rp 1 miliar dan S$ 308 ribu serta Mahkamah Agung sebesar Rp 5 miliar. Suap itu untuk membebaskan Ronald Tannur atas segala dakwaan.

 Meirizka Widjaja Tannur 

  • Meirizka adalah ibu Gregorius Ronald Tannur.
    - Bersama Lisa Rachmat, dia didakwa turut memberikan suap kepada tiga hakim di Pengadilan Negeri Surabaya.

 Zarof Ricar

  • Zarof Ricar adalah mantan pejabat di lingkungan Mahkamah Agung.

  • Dia didakwa melakukan pemufakatan jahat dalam perkara kasasi Gregorius Ronald Tannur.

  • Dia bersama Lisa Rachmat diduga bersepakat menyuap hakim kasasi Rp 5 miliar. Uang itu ditemukan saat penggeledahan di rumah Zarof pada Oktober 2024.

  • Dia didakwa melakukan gratifikasi perkara saat duduk sebagai pejabat tinggi di Mahkamah Agung pada periode 2012-2022. Dakwaan itu berdasarkan temuan uang Rp 915 miliar dan emas 51 kilogram di rumahnya.


Ahli hukum pidana Universitas Tarumanagara, Hery Firmansyah, berpendapat, justice collaborator adalah orang yang menjadi bagian dari pelaku tindak pidana, tapi bukan pelaku utama. “Dia memiliki pengetahuan dan informasi yang dapat membuka kotak pandora dalam pengungkapan suatu perkara sehingga ada nilai guna informasi tersebut,” ujarnya.

Hery menjelaskan, pelaku utama tentunya memiliki peran sentral sebagai intellectual dader atau pelaku intelektual. Dengan kata lain, pelaku utama memiliki mens rea atau niat jahat yang kuat serta memegang peran yang signifikan dalam terjadinya suatu tindak pidana korupsi.

Pelaku kejahatan yang mendapatkan predikat justice collaborator, kata Hery, akan mendapat privilese hukum. Privilese ini berupa keringanan hukuman. Karena itu, penempatan pelaku kejahatan menjadi justice collaborator harus diuji kelayakannya.

Untuk menentukan seseorang sebagai justice collaborator, hakim berpedoman pada angka 9 SEMA Nomor 4 Tahun 2011, yang isinya:

  • yang bersangkutan merupakan pelaku tindak pidana tertentu 
  • mengakui kejahatan yang dilakukannya 
  • bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam perkara di dalam proses peradilan 
  • jaksa penuntut umum di dalam tuntutannya menyatakan yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan agar penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif
  • mengungkapkan pelaku-pelaku lain yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana 


Peneliti Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, juga merespons niat Erintuah Damanik dan Mangapul untuk menjadi justice collaborator dalam perkara yang melibatkan narapidana Ronald Tannur. Untuk menjadi justice collaborator, ucap dia, mereka harus secara terbuka mengakui kesalahannya dalam perkara atau peristiwa tindak pidana korupsi. Mereka juga harus bersedia membuka identitas pelaku utama dalam perkara tersebut.

Gregorius Ronald Tannur melakukan rekonstruksi di parkiran bawah tanah Lenmarc Mall, Surabaya, Jawa Timur, 10 Oktober 2023. Antara/Didik Suhartono

Herdiansyah menuturkan aturan mengenai justice collaborator sudah sangat jelas diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. “Persyaratan ini menjadi penting agar pengungkapan perkara yang sedang ditangani betul-betul bisa menyasar sampai ke akar-akarnya, termasuk orang yang terlibat sebagai aktor utama dalam perkara,” kata dia melalui pesan pendek.

Dosen hukum tata negara Universitas Mulawarman ini menuturkan syarat-syarat itu harus ditegaskan. Sebab, jika mereka tidak mampu menyasar pelaku utama, untuk apa menjadikannya sebagai justice collaborator. Dengan demikian, sudah seharusnya hakim sangat mempertimbangkan hal itu.

Berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 2014, seseorang yang mengajukan diri sebagai justice collaborator harus diberi rasa aman atau perlindungan atas kesaksian yang akan diajukannya. Dengan begitu, hakim mesti mengkalkulasi perannya, apakah sudah mengakui secara terbuka kesalahannya dan menelaah informasi apa yang bisa diberikan untuk mengungkap aktor utama di dalam perkara. Selain memperoleh rasa aman dan perlindungan, justice collaborator juga mendapat keringanan hukuman sebagai pertimbangan hakim sepanjang yang dipersyaratkan dalam UU terpenuhi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mutia Yuantisya

Mutia Yuantisya

Alumnus Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Padang ini memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2022. Ia mengawalinya dengan menulis isu ekonomi bisnis, politik nasional, perkotaan, dan saat ini menulis isu hukum dan kriminal.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus