Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Dua terdakwa kasus suap dan gratifkasi perkara Ronald Tannur mengajukan diri sebagai justice collaborator.
Saksi-saksi belum bisa membuktikan adanya suap dan gratifikasi dalam pengurusan perkara Ronald Tannur.
Seorang justice collaborator akan mendapat keringanan hukuman.
DUA hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang menjadi terdakwa kasus suap dan gratifikasi perkara Gregorius Ronald Tannur mengajukan diri sebagai justice collaborator. Dua hakim itu adalah Erintuah Damanik dan Mangapul. Keinginan itu disampaikan langsung kepada majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam sidang pada Selasa, 18 Februari 2025. "Klien kami mengajukan permohonan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator," kata penasihat hukum Erintuah dan Mangapul, Philipus Sitepu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Philipus mengklaim saksi-saksi yang telah dihadirkan jaksa di persidangan belum bisa membuktikan adanya suap dan gratifikasi dalam pengurusan perkara Ronald Tannur. Dengan demikian, keterangan Erintuah dan Mangapul bisa dijadikan kunci pembuktian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Permohonan Erintuah dan Mangapul, kata Philipus, layak dipertimbangkan. Apalagi keduanya sudah menyesali perbuatan mereka dan berniat berubah serta memperbaiki diri. Selain itu, mereka sudah mengembalikan uang yang diterima dalam perkara ini. Uang itu diserahkan oleh istri masing-masing kepada Kejaksaan yang jumlah keseluruhan mencapai US$ 115 ribu.
Tiga hakim PN Surabaya yang ditangkap Kejaksaan Agung RI, Mangapul (kiri), Erintuah Damanik, dan Heru Hanindyo, yang diduga melakukan tindak pidana korupsi berupa suap atau gratifikasi perkara atas nama terdakwa Gregorius Ronald Tannur di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Jawa Timur, 24 Oktober 2024. ANTARA/HO-Penkum Kejati Jatim
Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, pada dasarnya, tujuan dibentuknya justice collaborator adalah untuk mencari pelaku utama atau the big fish. Karena itu, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi justice collaborator.
Syarat-syarat itu antara lain, tindak pidana yang akan diungkap adalah tindak pidana serius dan keterangan yang akan diberikan signifikan untuk mengungkap kasus. Orang yang mengajukan diri sebagai justice collaborator bukan pelaku utama dan bersedia mengembalikan aset hasil tindak pidana. Selanjutnya, ada ancaman terhadap pemohon sehingga harus dilindungi.
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, kata Fickar, justice collaborator dikenal dengan istilah saksi pelaku dan/atau saksi pelaku yang bekerja sama. Ketentuan mengenai justice collaborator diatur dalam beberapa peraturan, antara lain Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Kemudian, diatur pula dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 serta Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan LPSK tahun 2011, serta Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012.
Menurut Fickar, dengan adanya justice collaborator, diharapkan pelaku utama dalam suatu perkara bisa dijatuhi pidana. Selain itu, motif kejahatan yang berhubungan dengan perkembangan modusnya bisa diungkap. Fickar menilai justice collaborator bisa menjadi acuan dasar bagi penyusunan perundang-undangan yang dapat mengakomodasi perkembangan kejahatan ke depan.
Dengan semua dasar itu, Fickar berpendapat, bila permohonan justice collaborator oleh dua mantan hakim PN Surabaya itu ditolak, sangat mungkin mereka dikualifikasi sebagai pelaku utama.
Terdakwa dalam Perkara Vonis Bebas Ronald TannurErintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo
Lisa Rachmat
Meirizka Widjaja Tannur
Zarof Ricar
|
Ahli hukum pidana Universitas Tarumanagara, Hery Firmansyah, berpendapat, justice collaborator adalah orang yang menjadi bagian dari pelaku tindak pidana, tapi bukan pelaku utama. “Dia memiliki pengetahuan dan informasi yang dapat membuka kotak pandora dalam pengungkapan suatu perkara sehingga ada nilai guna informasi tersebut,” ujarnya.
Hery menjelaskan, pelaku utama tentunya memiliki peran sentral sebagai intellectual dader atau pelaku intelektual. Dengan kata lain, pelaku utama memiliki mens rea atau niat jahat yang kuat serta memegang peran yang signifikan dalam terjadinya suatu tindak pidana korupsi.
Pelaku kejahatan yang mendapatkan predikat justice collaborator, kata Hery, akan mendapat privilese hukum. Privilese ini berupa keringanan hukuman. Karena itu, penempatan pelaku kejahatan menjadi justice collaborator harus diuji kelayakannya.
Untuk menentukan seseorang sebagai justice collaborator, hakim berpedoman pada angka 9 SEMA Nomor 4 Tahun 2011, yang isinya:
|
Peneliti Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, juga merespons niat Erintuah Damanik dan Mangapul untuk menjadi justice collaborator dalam perkara yang melibatkan narapidana Ronald Tannur. Untuk menjadi justice collaborator, ucap dia, mereka harus secara terbuka mengakui kesalahannya dalam perkara atau peristiwa tindak pidana korupsi. Mereka juga harus bersedia membuka identitas pelaku utama dalam perkara tersebut.
Gregorius Ronald Tannur melakukan rekonstruksi di parkiran bawah tanah Lenmarc Mall, Surabaya, Jawa Timur, 10 Oktober 2023. Antara/Didik Suhartono
Herdiansyah menuturkan aturan mengenai justice collaborator sudah sangat jelas diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. “Persyaratan ini menjadi penting agar pengungkapan perkara yang sedang ditangani betul-betul bisa menyasar sampai ke akar-akarnya, termasuk orang yang terlibat sebagai aktor utama dalam perkara,” kata dia melalui pesan pendek.
Dosen hukum tata negara Universitas Mulawarman ini menuturkan syarat-syarat itu harus ditegaskan. Sebab, jika mereka tidak mampu menyasar pelaku utama, untuk apa menjadikannya sebagai justice collaborator. Dengan demikian, sudah seharusnya hakim sangat mempertimbangkan hal itu.
Berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 2014, seseorang yang mengajukan diri sebagai justice collaborator harus diberi rasa aman atau perlindungan atas kesaksian yang akan diajukannya. Dengan begitu, hakim mesti mengkalkulasi perannya, apakah sudah mengakui secara terbuka kesalahannya dan menelaah informasi apa yang bisa diberikan untuk mengungkap aktor utama di dalam perkara. Selain memperoleh rasa aman dan perlindungan, justice collaborator juga mendapat keringanan hukuman sebagai pertimbangan hakim sepanjang yang dipersyaratkan dalam UU terpenuhi. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo