Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kado untuk <font color=#FF9900>Hakim Agung</font>

Dewan Perwakilan Rakyat ngebut menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung. Sejumlah fraksi setuju usia hakim agung 70 tahun. Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menolak pihaknya dituding intervensi dalam penentuan batas usia pensiun hakim agung tersebut. Dewan seharusnya memprioritaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial.

6 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERDEBATAN sengit itu terus terjadi hingga menjelang salat Jumat. Dari 10 fraksi yang diundang, yang hadir dalam rapat pada akhir bulan lalu itu hanya enam fraksi. Mereka yang absen Faksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Keadilan Sejahtera, Fraksi Bintang Reformasi, dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi.

Sejumlah fraksi besar bersuara lantang. Dewan Perwakilan Rakyat harus segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung. Mereka, antara lain, Fraksi Golkar, Fraksi Partai Demokrat, dan Fraksi Partai Amanat Nasional.

Tapi rapat siang itu hasilnya masih ”menggantung”. Kendati demikian, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono menegaskan: jika pembahasan rancangan undang-undang itu selesai di Komisi Hukum, pada 6 Oktober akan segera dibawa ke sidang paripurna.

Keputusan Agung Laksono inilah yang membuat sejumlah anggota Dewan heran. ”Tidak mungkin,” kata Lukman Hakim Syaifuddin, Ketua Fraksi Persatuan Pembangunan. Alasan Lukman, itu adalah hari pertama masuk kerja setelah libur Lebaran. ”Kok, tergesa sekali?” tanyanya.

Adapun Wakil Ketua Komisi Hukum Azis Syamsuddin menampik tudingan pihaknya sengaja ngebut menyelesaikan rancangan undang-undang ini lantaran ada target untuk menyelamatkan pensiun Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan. ”Orang sudah salah kaprah,” ujarnya. ”Semua sesuai dengan prosedur.” Pada 6 Oktober, Bagir Manan memang memasuki masa pensiun.

l l l

Dewan sebenarnya memiliki sejumlah pekerjaan besar membenahi tiga rancangan undang-undang yang saling berkait, yakni RUU Komisi Yudisial, RUU Mahkamah Konstitusi, dan RUU Mahkamah Agung. RUU Komisi Yudisial harus direvisi lantaran dua tahun lalu, Mahkamah Konstitusi mengamputasi kewenangan komisi ini mengawasi para hakim agung.

Tapi, dalam perjalanannya, ternyata justru RUU Mahkamah Agung yang lebih dulu menarik para wakil rakyat untuk dibahas.

Nah, salah satu pasal yang paling panas adalah perihal batas usia pensiun hakim agung. Rancangan undang-undang usul pemerintah itu ”meminta” pensiun hakim agung 70 tahun. Ini lebih panjang tiga tahun ketimbang ketentuan sekarang yang hanya bisa membuat hakim agung berhenti bertugas maksimal usia 67 tahun.

Sejumlah fraksi besar menyokong usia ini. Mereka adalah Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Damai Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Keadilan Sejahtera. Adapun Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan minta pensiun hakim agung maksimal 67 tahun. ”Tidak ada masalah pensiun hakim agung 70 tahun,” ujar anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa, Nursyahbani Katjasungkana. ”Tapi, dengan catatan, kinerjanya bagus.” Jika usul ini gol, bisa dibilang ini ibarat ”kado” buat Mahkamah Agung.

Ini yang ditentang Lukman. Menurut dia, jika usia hakim agung naik jadi 70 tahun, regenerasi di Mahkamah Agung akan tersendat. Selain itu, dengan batas usia pensiun maksimal 67 tahun, kan sama dengan usia pensiun hakim Mahkamah Konstitusi.

Tak hanya para wakil rakyat yang ngotot berdebat soal usia pensiun hakim agung. Dari luar, sejumlah pengamat hukum dan aktivis antikorupsi juga bersuara keras terhadap suara fraksi Dewan yang mulai dominan mengeluarkan tanda-tanda disetujuinya usia pensiun hakim agung 70 tahun itu. ”Ada penzaliman kapasitas orang,” kata pengamat hukum Bambang Widjojanto. Mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia itu lantas mengeluarkan data dari Badan Pusat Statistik. Menurut Bambang, batas usia produktif orang Indonesia hanya sampai 65 tahun.

Ada alasan kenapa sejumlah aktivis menolak pensiun seorang hakim agung 70 tahun. Menurut Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional Firmansyah Arifin, ini akan menghambat reformasi di mahkamah.

Firmansyah juga menunjuk kejadian ”lucu” dua tahun silam. Ketika itu, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan mengeluarkan Surat Keputusan Perpanjangan Usia Pensiun selama dua tahun untuk dirinya sendiri dan sepuluh hakim agung lainnya. ”Kalau ini terjadi terus, reformasi di Mahkamah Agung akan tersendat-sendat,” ujarnya. Padahal, kata Firmansyah, masyarakat tahu Mahkamah Agung belumlah menjadi lembaga yang bersih dari korupsi dan mafia peradilan.

Perlawanan keras usia pensiun hakim agung agar jangan sampai 70 tahun bahkan muncul pula dari mantan para hakim agung. Menurut mantan hakim agung Arbijoto, jika bekerja hingga usia 70 tahun, kondisi fisik dan psikologis seorang hakim agung, yang bergaji sebulan Rp 15-20 juta, pasti akan loyo. Dan ini berbahaya untuk putusan yang ia buat.

Arbijoto pensiun pada Desember 2006, setelah delapan tahun jadi hakim agung. Ia pensiun pada usia 67 tahun, dua tahun lebih lama daripada usia pensiun seharusnya, 65 tahun, karena mendapat ”bonus” diperpanjang.

Menurut Arbijoto, selama delapan tahun itu, setiap hari ia ”melahap” 10 sampai 15 perkara. ”Saya mau muntah,” ujarnya menyebut kondisinya di usia senja itu setiap hari memelototi ratusan lembar berkas perkara. ”Saya seperti kerja di pabrik rokok. Dikucilkan.”

Yang menjadi perhatian para aktivis memang pembahasan rancangan undang-undang itu yang terkesan ngebut. Karena itu, banyak yang menghubungkan pembahasan ini dengan kondisi sejumlah hakim agung yang akan segera memasuki usia pensiun pada Oktober hingga Desember mendatang. Salah satunya adalah Bagir Manan. Tapi, kepada Tempo, Bagir menegaskan dia tidak memiliki kepentingan pribadi dengan usia pensiun 70 tahun itu. Ia menolak jika disebut mempengaruhi Dewan agar usul usia 70 tahun itu digolkan para wakil rakyat. ”Saya sendiri sudah siap pensiun,” ujar guru besar Universitas Negeri Padjadjaran tersebut.

Sebuah sumber Tempo lain menyebut usul 70 tahun ini tidak untuk menyelamatkan Bagir Manan yang pada awal Oktober ini pensiun, tapi untuk menyelamatkan sejumlah hakim agung lain yang akan pensiun pada pertengahan Oktober atau November mendatang. ”Kalau Bagir, pasti pensiun,” ujarnya. ”Karena para hakim agung itu memegang perkara penting. Ada yang khawatir perkara itu lain putusannya kalau dioper ke hakim agung lain,” ujar sumber Tempo yang dekat dengan sejumlah hakim agung tersebut.

Emerson Juntho, Koordinator Hukum dan Monitoring Indonesia Corruption Watch, juga mencurigai pembahasan rancangan undang-undang yang terkesan diam-diam itu. Tak hanya di gedung DPR, para wakil rakyat juga membahas rancangan undang-undang tersebut selama empat hari di Wisma DPR di Puncak, Bogor. ”Tanpa ada pengawasan publik,” kata Emerson.

Jika usia pensiun 70 tahun itu ini dikabulkan, yang juga terkena dampaknya adalah usul hakim agung baru yang disodorkan Komisi Yudisial. Saat ini Komisi telah mengirim 18 nama calon hakim agung ke Dewan untuk menggantikan enam hakim agung yang telah pensiun. Adapun untuk yang bakal pensiun tahun ini, Komisi sedang menyeleksi 43 orang, yang di antaranya akan jadi penggantinya. ”Kalau enggak jadi pensiun, bagaimana?” tanya Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas. Saat ini jumlah hakim agung di Mahkamah Agung 48 orang.

Menurut Ketua Panitia Kerja RUU Mahkamah Agung Trimedya Panjaitan, sejak rancangan undang-undang dibahas di Badan Legislasi, Dewan sebenarnya mengajukan batas usia pensiun 65 tahun. ”Pemerintah yang mengusulkan supaya ditambah lima tahun lagi,” ujarnya.

Dari pemerintah, Menteri-Sekretaris Negara Hatta Rajasa meminta batas usia pensiun ini tidak dijadikan polemik. ”Harus dilihat sebagai sistem, jangan orang per orang,” kata Hatta.

Aziz Sjamsuddin, salah satu anggota Partai Golkar yang mendukung usia pensiun hakim agung 70 tahun, meminta masyarakat tidak langsung menuding ada sesuatu di balik pembahasan rancangan undang-undang ini. ”Tidak ada apa-apa. Semua berlangsung terbuka,” katanya. Menurut Aziz, perdebatan dalam tiga rancangan undang-undang itu belum selesai. ”Masih banyak tahapannya dan setiap tahapan masih mungkin berubah,” ujarnya memberi jaminan.

Ada jaminan atawa tidak, yang pasti sejumlah ahli hukum meminta Dewan lebih baik membahas RUU Komisi Yudisial dulu ketimbang ngotot merampungkan RUU Mahkamah Agung.

Suara ini, misalnya, dilontarkan mantan hakim agung dan mantan hakim Mahkamah Konstitusi Laica Marzuki. Menurut dia, seharusnya Dewan mengegolkan dulu revisi RUU Komisi Yudisial yang lebih mendesak ketimbang RUU Mahkamah Agung. Sebab, rancangan undang-undang ini juga memuat soal pengawasan Komisi terhadap hakim agung dan prosedur pengangkatan hakim agung. Jika ini beres, baru dilanjutkan membenahi RUU Mahkamah Agung. ”Putusan Mahkamah Konstitusi memerintahkan Undang-Undang Komisi Yudisial segera direvisi,” kata Laica.

LRB, Rini Kustiani, Anton Aprianto, Ninin P. Damayanti, Dwi Riyanto Agustiar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus