Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NUR Irsjadi Hassan menyematkan peci hitamnya di kepala. Pada Rabu dua pekan lalu, belum lagi sidang digelar, pria 63 tahun itu sudah duduk di kursi pengunjung. Ia siap dipanggil dan duduk di kursi terdakwa.
Berkas perkara yang tebalnya sekitar lima sentimeter ia keluarkan dari dua tas kain dekat kakinya. Sebuah kotak pensil berisi alat tulis ia letakkan di atas berkas yang dipangkunya.
Pada Rabu itu, agenda sidang adalah mendengarkan keterangan saksi ahli Rudi Satrio. Namun, untuk ketiga kalinya, pakar hukum pidana Universitas Indonesia itu absen. Sidang terhadap Nur di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini pun ditunda. ”Saya ada acara lain,” kata Rudi ketika Tempo menanyakan alasan ketidakhadirannya.
Nur sendiri sudah menyiapkan sejumlah pertanyaan untuk pakar hukum ini. Ia mengharap penjelasan Rudi bisa membebaskannya dari dakwaan jaksa yang menurut dia tidak masuk akal. ”Saya ingin tahu, kenapa saya jadi terkena pasal pemerasan,” ujarnya.
Dalam surat dakwaan jaksa, mantan Direktur Pelaksana Pengendalian Pembangunan Kompleks Kemayoran itu didakwa memeras PT Dana Pensiun Perkebunan Nusantara (Dapenbun) Kota Baru Bandar Kemayoran, Jakarta. Ia dijerat Pasal 368 dan subsider Pasal 369 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ancaman pasal pemerasan ini kurungan penjara masing-masing 9 bulan dan 4 tahun.
Menurut dakwaan jaksa itu, pada Oktober 2004, Nur meminta jabatan sebagai direktur di PT Dapenbun dengan fasilitas mobil. Dua bulan kemudian sebuah mobil Kijang Innova diberikan kepada Nur. Tapi hanya mobil, bukan jabatan. Menurut jaksa, Nur mengancam akan membeberkan korupsi pejabat PT Dapenbun atas proses pembelian 70 unit rumah susun di apartemen Kemayoran jika permintaannya itu tak dipenuhi.
Proyek Kemayoran memang semerbak dengan dugaan skandal korupsi. Majalah Tempo, dalam edisi April 2006, menurunkan kongkalikong proyek Kemayoran ini. Sedangkan Nur disebut-sebut sebagai ”orang dalam” yang membocorkan kebobrokan proyek itu.
Nur memang pernah membuat laporan terperinci tentang kebusukan proyek itu. Laporan itu dikirimnya ke Badan Pemeriksa Keuangan, Menteri-Sekretaris Negara, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia juga melaporkan kasus itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ulah Nur ini membuat atasannya geram. Pada 5 Agustus 2005, ia pun ”dipensiunkan” dari jabatannya sebagai Direktur Pelaksana Pengendalian Pembangunan Kompleks Kemayoran. Nur memang mengaku kerap berselisih dengan atasannya. Ia, misalnya, lantang mengecam penjualan 70 unit apartemen ke PT Theda Pratama yang harganya di bawah nilai jual obyek pajak.
Menurut dia, penjualan itu merugikan negara Rp 9 miliar. PT Theda Pratama adalah perusahaan yang dibentuk Tek Hong Bing—pengusaha asal Jawa Timur—dengan Rizki Pratama, putra Megawati.
Nur yakin beberapa direktur di kantornya memalsukan dokumen agar tak terlacak Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Caranya dengan menghapus nilai jual obyek pajak yang mengidentifikasi kecurangan itu. Menurut Nur, ia sendiri menolak manipulasi ini. ”Saya tidak ingin masuk penjara,” katanya.
Nah, setelah jatuh dari jabatannya itulah Nur ketiban soal lain: dituduh memeras. Alfian Fatham dari PT Dapenbun-lah yang melaporkannya ke Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Menurut Nur, tuduhan terhadap dirinya adalah rekayasa. Alfian, ujarnya, pernah menawarkan dirinya jadi konsultan ahli pengelolaan lapangan golf. Saat itu Alfian menawarkan pula fasilitas mobil atas nama pribadi Nur. Ketika sampai Januari 2005 pekerjaan itu tidak ada, sebenarnya Nur berniat mengembalikan mobil tersebut. ”Namun Alfian menolak,” ujarnya. Karena itu, ia heran jika disebut memeras. Pengacara Nur, Suhana Natawilwana, menyatakan tak ada satu pun saksi yang melihat Nur memeras.
Namun jaksa Joko dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat berkukuh bahwa pihaknya memiliki bukti surat permohonan Nur menjadi konsultan ahli dan surat mobil Nur itu. ”Surat-surat mobil itu atas nama dia,” ujarnya. Siapa yang benar, sidang ini akan terus bergulir. Nur pun berkukuh. ”Ini semua rekayasa,” kata Nur. Sang pembocor kebobrokan itu kini menunggu keadilan.
Martha W. Silaban
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo