Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Kalau wage disangka celeng

Dua oknum polisi di kepolisian karangrejo, banyumas menembak kartawage yang dikira celeng, hingga mati. untuk menghapus jejak, bekas luka tembak ditoreh dan leher korban digorok. (krim)

3 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENDENGAR letusan senjati api, Ganter yang sedang men-deres (mengambil nira) tak menaruh curiga. Hutan pinus Cipane, Banyumas, itu memang sering dijadikan daerah perburuan. Namun, Ganter, 33, menjadi penasaran ketika di kejauhan tampak ada tiga sosok manusia seperti sedang membereskan binatang hasil buruan. Ia pun mendekat. Anehnya, ia malahan diusir dan bukannya dimintai tolong seperti biasanya. Lebih aneh lagi karena ketiga pemburu tadi segera berlari masuk hutan. Ganter, seperti diceritakannya kepada TEMPO pekan lalu, segera memeriksa apa yang tadi ditutupi daun pinus oleh para pemburu. Ia terkejut melihat ada sepasang kaki manusia. Memang, "binatang buruan" itu tak lain tubuh Kartadiwage, 56, pamannya sendiri. Peristiwa penembakan siang hari 12 Februari lalu itu pun segera tersebar luas di Desa Tlahap Kidul, Kecamatan Karangreja, Purbalingga. Dua oknum polisi, Kopral Dua Durrachman dan Kopral Dua Martoyo, yang diduga telah menembak korban, kini ditahan di Kepolisian Sektor Banyumas. Seorang penduduk sipil, Ratmin, yang hari itu turut berburu, sampai pekan lalu masih menghilang. Kedua petugas polisi yang sehari-hari bertugas di Kepolisian Karangreja itu, menurut sumber di Kepolisian Resort Purbalingga, "telah melakukan pelanggaran berat dan kesalahan yang sangat besar." Korban, kata sumber itu, tertembak oleh Kopral Dua Durrachman di bagian punggung dan tembus ke dada. Senjata api yang digunakan adalah senjata api laras panjang. Si penembak rupanya kaget karena yang menjadi sasaran peluru bukan binatang, melainkan manusia. Untuk menghilangkan jejak, luka di punggung dipantek dengan batang pinus dan luka di dada ditoreh dengan pisau. Leher korban yang sudah tak berdaya itu pun ikut digorok. Tindakan ini dilakukan agar korban disangka mati akibat pembunuhan dengan senjata tajam. Belum jelas apakah ketika itu korban sudah meninggal atau masih bernapas. Yang jelas, kata sumber itu, tindakan itu sama sekali tidak bisa dibenarkan. "Korban yang kena tembakan mestinya ditolong, bukan malah diorok dan dilukai." katanya. Yang disayangkan, pelaku penembakan itu justru mencoba menghapus jejak, dengan cara yang sangat sadistis. Kesalahan lain, kedua kopral polisi itu ternyata tak mempunyai ingin berburu. Sedangkan senjata api yang digunakan me'nembak diperoleh dengan cara mengelabui rekannya, yang memang berhak memegang senjata.itu. "Tersangka mengatakan meminjam karabin untuk dibersihkan. Ternyata dia gunakan untuk pergi berburu," kata sumber TEMPO. Hari itu, menurut Degad, 27, anak Kartadiwage, ayahnya sedang mencari kayu bakar. Petani yang tinggal di Desa Tlahap Kidul itu rupanya sudah mempunyai firasat buruk yang bakal menimpa dirinya. "Waktu mau pergi, Bapak merasa badannya lemas semua sampai tiduran dulu di lincak (kursi panjang dari bambu)," kata Degad kepada TEMPO. Namun, akhirnya ia pergi - bahkan untuk selamanya. Korban meninggalkan empat anak yang sudah dewasa. Ganter sendiri, yang menjadi saksi utama dalam kasus penembakan ini, melihat tiga orang pemburu sedang membereskan sesuatu, tatkala Ia beristirahat makan slang di gubuknya, di tepi hutan Cipane. "Yang dua orang berjongkok, dan yang seorang lagi memanlat pohon pinus memetiki daunnya," katanya pekan lalu kepada TEMPO. Semula ia menduga, ketiga orang itu baru saja mendapat binatang buruan. Sebab itulah ia berjalan mendekat. Di hutan Cipane, katanya, memang sering ada yang berburu. Biasanya anggota Perbakin dari Purbalingga. Dan Ganter sering diminta bantuannya menggotong binatang buruan, berupa babi hutan atau kijang. "Kalau tidak ada Ganter, Kartadiwage pasti diduga telah menjadi korban pembunuhan biasa. Beka luka-luka kena tembak hampir hilang," kata Budiono, polisi desa di Tlaha Kidul, yang mula-mula memeriksa luka korbar dengan teliti. Dan kepada Budiono, Durrachman mengakui menembal korban, ketika dijumpai esok harinya di Kepolisian Karangreja. Durrachman, 30, kepad TEMPO juga terus teran mengakui perbuatannya "Waktu sedang berburu saya mendengar suara krosak-krosak di balik semak belukar. Saya kira celeng (babi hutan) dan saya langsung menembak. Eh, tidak tahunya manusia," katanya di tahanan, pekan lalu. Ayah satu anak yang bertubuh tinggi tegap dan mengaku gemar berburu tu juga mengakui telah menoreh bekas luka tembak di tubuh korban. "Nyatanya masih tetap ketahuan, ya, bagaimana lagi," katanya pasrah. Martoyo sebaliknya. Ia tak mau memberi komentar. "Saya hanya kebetulan saja ikut berburu waktu itu," katanya. Apa betul begitu? Ia dan Durrachman kini masih terus diperiksa. Sayang, Ratmin telah raib. Keluarga korban sendiri, setelah musibah terjadi, menerima semacam "uang duka" dari pihak kepolisian sebesar Rp 100.000. Sedangkan Durrachman menambah Rp 25.000, berikut beras.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus