SEKALI waktu M. Akil, Kepala Desa Lanosangia menerima sepucuk surat tanpa alamat pengirim. Isinya menanyakan apakah Nuriyati, istri si pengirim surat, ada di desa itu? Kepala Desa di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, itu menjadi heran. Ia merasa tak pernah mengenal wanita bernama Nuriyati. Tapi, menurut warga desa, perempuan asal Bau-Bau itu memang sering muncul di desa, kasak-kusuk agar penduduk mau membongkar kubur. Wanita itu bersedia membeli mayat yang diinginkannya, dengan harga puluhan juta rupiah. Kasus pencurian mayat, yang pernah ramai lima tahun lalu, belakangan ini muncul kembali di beberapa kabupaten di Sulawesi Tenggara. Sampai pekan lalu, polisi telah menangkap belasan tersangka yang diduga membongkar kubur, mengangkut mayat, atau menjadi perantara dalam bisnis "barang antik" itu. Namun, beberapa penadah yang diduga telah menggerakkan mereka, termasuk Nuriyati, masih belum terjaring. Menurut sumber di Kepolisian Raha, ibu kota Kabupaten Muna, orang yang menginginkan mayat utuh itu cukup ia dalam beroperasi. Selain sanggup membeli sesosok mayat dengan harga sampai puluhan juta rupiah, mereka juga berjanji akan memberikan surat penghargaan. "Mayat utuh hasil galian akan diserahkan kepada pemerintah untuk disimpan dalam museum," begitu alasan mereka, seperti diceritakan seorang tersangka kepada polisi. Yang bisa dibeli dengan harga mahal memang bukan mayat sembarangan. Mayat harus masih tetap utuh. Makin tua usia mayat semakin baik. Syarat lain: kukunya mesti panjang, serta panjang mayat yang paling baik ialah yang kurang dari satu meter. Semakin lama dalam kubur, panjang mayat, konon, makin pendek. Dan bila mayat tetap utuh, karena di masa hidupnya mendiang memiliki ilmu, konon, dari ajaran tarekat tertentu. Nah, itulah mayat yang dicari. Namun, mencari mayat yang memenuhi semua persyaratan itu tidak gampang. Mayat Waene misalnya, yang digali oleh cucunya sendiri, Djabbar, dari Kampung Malona, Kecamatan Batanga, Buton, meski relatif masih utuh, panjangnya masih sekitar 150 cm. Waene meninggal dalam usia 80 tahun, Juni tahun lalu. Djabbar tergiur menjual mayat neneknya karena terkena bujukan Nuriyati, yang sanggup membeli mayat itu Rp 25 juta. Tetapi sebelum niatnya terlaksana, ia bersama La Madinun, La Rigampang, dan La Suni ditangkap polisi, Februari lalu. Beberapa tersangka lain ditangkap di pinggiran kota Raha. Mereka itu membongkar kubur Wapee, yang meninggal sekitar tahun 1962 dalam usia 22 tahun - dulu, konon, mayat ini seorang gadis nan cantik. Mayat Wapee ini ditemukan di Bau-Bau ibu kota Kabupaten Buton - dari tangan La Salimi dan Nurdin. Otak pemburu mayat di Bau-Bau, menurut informasi yang sampai ke tangan polisi, tak lain Marcus, karyawan pabrik gula Arasoe Bone. Namun, ketika di tangkap, ia menyatakan hanya orang suruhan Mustari dari Palopo, Sulawesi Selatan. Mustari ini, yang kini terus dicari, memang gencar disebut-sebut sebagai cukong ketika ramai-ramainya kasus pencurian mayat, pada 1979. Ketika itu, Saku Rajo dari Jeneponto tertangkap ketika sedang menggotong mayat Bonto Daeng Lebang. Kepada polisi ia mengaku akan menjual mayat tadi kepada Mustari, seharga Rp 1 juta. (TEMPO, 7 April 1979). Untuk keperluan apa sebenarnya mayat itu diburu dan dicari sampai kini belum jelas benar. Kabar yang sampai ke telinga polisi menyebutkan, mayat "antik" banyak dicari oleh sinse, ahli obat-obatan Cina, untuk bahan ramuan obat kuat atau obat kebal. Ada juga yang menyebut, mayat seperti itu digemari sementara turis bule, karena mungkin dianggap barang antik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini