INGAT kasus Hasse? Pengadilan Negeri Watampone, Sulawesi Selatan, pekan lalu menjatuhkan vonisnya terhadap dua terdakwa yang dituduh terlibat pembunuhan wanita itu. Kopral Satu A. Mallaniung kena 4 tahun 1 bulan 21 hari, sedangkan A. Tadjuddin 4 tahun 3 bulan 16 hari. Menurut majelis hakim pimpinan J. Masiku, "kedua terdakwa terbukti telah membujuk Tahir, La Wali, dan Abidun untuk melakukan pembunuhan terhadap wanita hamil Sumiaty alias Hasse." Vonis di atas memang terasa "aneh". Bagi terdakwa yang dihukum sampai beberapa tahun, jarang sekali hakim memberi embel-embel vonisnya dengan hitungan hari. Agaknya, hitungan bulan dan hari dicantumkan agar sesuai dengan masa penahanan yang pernah dijalani kedua terdakwa. Dengan begitu, terdakwa, yang dibebaskan dari penahanan sementara Desember 1983 lalu, tidak perlu "tekor" atau masuk penjara lagi. "Kasus Hasse" sempat menarik perhatian karena pembunuhan itu, yang terjadi 23 Maret 1979, diduga berkaitan dengan soal kursi bupati Bone. Pada bulan Maret itu, seorang gembala menemukan mayat wanita tanpa kepala terbenam di sawah, di Kampung Pinra, Kecamatan Palakka, Bone. Pada perhiasan yang dikenakan korban, ada tulisan "inakke Has" yang artinya: saya Has. Beberapa hari kemudian, kepala korban ditemukan tak begitu jauh dari badannya. Diduga, korban memang bernama Hasse alias Hasnah, anak Jumaing Daeng Mattike dari Desa Rompegading, Maros. Polisi yang melakukan penyidikan mengarah kepada penangkapan beberapa tersangka yang berbeda dengan hasil pengadilan oleh POM ABRI. Dan Bupati PB Harahap dikabarkan berdiri di balik pembunuhan itu, karena wanita yang kabarnya pernah dikencaninya itu dihawatirkan bisa menghambat kariernya. Namun, pihak POM ABRI yang juga melakukan pengusutan berkesimpulan lain: pembunuhan itu diingini Kolonel (purnawirawan) Suaib, bekas bupati Bone, yang berambisi naik lagi. Sedangkan wanita yang terbunuh, menurut versi ni, adalah Sumiaty alias Hasse, karyawati klub malam. Dan entah atas pertimbangan apa versi POMABRI inilah yang akhirnya dipakai jaksa. Majelis Hakim tampaknya tak yakin terhadap alibi Kopral (Polisi) Mallaniung, yang ketika pembunuhan terjadi sedang cuti dan berada di Tawao, Malaysia. Dalam sidang, Mallaniung menyatakan bahwa ia meninggalkan Bone pada 21 Februari 1979, dan 46 hari kemudian baru kembali. Sedangkan pemburluhan terjadi 23 Maret. Keterangannya itu dikuatkan dengan bukti berupa surat cuti dan paspor, yang cocok engan keterangannya itu. Atasan Mallaniung pun tak yakin, ia terlibat pembunuhan karena alibi tadi. "Bagaimana saya harus mengaku ikut membunuh?" katanya. Maka, ia naik banding. A. Tadjuddin memang tak punya alibi, tapi saksi-saksi Tahir, La Wali, dan Abidin, sama sekali tak memberatkannya. Ketiga orang itu menyankal bahwa mereka eksekutor yang menghabisi korban, karena dibujuk dan dijanjikan sejumlah hadiah, baik oleh Tadjuddin maupun Mallaniung. Anehnya, ketika diadili sekitar tiga tahun lalu, mereka mengaku terus terang sebagai "algojo". Karena pengakuan itu, Tahir dan La Wali divonis 17 tahun penjara, sedangkan Abidin 10 tahun. "Waktu itu saya terpaksa mengaku sebagai pembunuh karena tidak tahan siksaan," kata Tahir. Kasus Hasse ini memang ruwet dan masih memendam sejumlah teka-teki. Apalagi karena Bupati PB Harahap dan istrinya, Sitti Haniah, terbunuh oleh Kaseng - penjaga kebun cengkih keluarga itu - Februari 1982 lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini