Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mata Indar Atmanto terfokus pada layar telepon pintarnya. Pesan pendek yang masuk bertubi-tubi itu benar-benar menyita perhatian mantan Presiden Direktur PT Indosat Mega Media (IM2) tersebut. Sepanjang perjalanan, Rabu pagi dua pekan lalu, konsentrasi Indar hanya tertuju pada teleponnya itu.
Sepanjang perjalanan ke Pengadilan Tata Usaha Negara di Pulo Gebang, Jakarta Timur, yang memakan waktu hampir satu jam, ia terus berbalas pesan dengan dua anggota stafnya yang lebih awal datang ke pengadilan. "Saya membaca tanda-tanda bagus. Tapi tetap saja deg-degan," kata Indar, Kamis pekan lalu, kepada Tempo.
Indar sampai di ruang sidang menjelang tengah hari, ketika majelis hakim hampir selesai membaca putusan. Tak mau menarik perhatian, dia menyelinap dan duduk di deretan bangku paling belakang. Di akhir putusan, Indar girang bukan kepalang. Hakim PTUN mengabulkan sebagian besar gugatan Indar atas hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Begitu hakim mengetukkan palu, sejumlah koleganya yang baru Âmenyadari kehadirannya berhamburan menyalami dan memeluk Indar. Ketika meninggalkan ruang sidang, Indar kembali meminta dukungan koleganya. Katanya, "PutusÂan PTUN baru sinyal awal. Proses hukum berikutnya masih panjang."
Sejak lima bulan lalu Indar berstatus terdakwa korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Jabatannya sebagai presiden direktur juga sudah dicopot sejak lima bulan lalu itu juga. Ia terseret kasus korupsi gara-gara laporan Ketua Umum Konsumen Telekomunikasi Indonesia Denny Adrian Kusdayat ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat pada 6 Oktober 2011.
Dalam laporannya, Denny menuduh IM2 memakai frekuensi radio 2,1 GHz tanpa tender sejak 2006. Menurut Denny, karena memakai frekuensi yang tendernya didapat Indosat—induk perusahaan—IM2 lolos dari kewajiban membayar biaya awal (upfront fee) dan biaya hak penggunaan frekuensi tahunan. Negara, kata dia, akibatnya rugi sekitar Rp 3,8 triliun.
Kejaksaan Tinggi Jawa Barat lantas memeriksa sejumlah pejabat IM2, Indosat, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta perusahaan operator seluler lain. Tapi, pada 13 Januari 2012, Kejaksaan Agung mengambil alih kasus itu. Tak lama kemudian jaksa menetapkan Indar Atmanto sebagai tersangka.
Untuk menghitung kerugian negara dalam kerja sama Indosat-IM2 ini, pada 31 Januari 2012 Kejaksaan Agung meminta bantuan BPKP. Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi Eddy Mulyadi Soepardi lantas membentuk tim beranggota empat auditor. Tim ini bolak-balik ke kejaksaan, tapi tak pernah menyambangi kantor Indosat atau IM2.
Sewaktu kasus ini diusut Kejaksaan Agung, pada 20 April 2012, polisi menangkap Denny, si pelapor, di Plaza Indonesia. Menurut polisi, Denny berusaha memeras Indosat hingga Rp 30 miliar dalam kasus berbeda. Dari ruang tahanan, pria yang mengaku berprofesi sebagai pengacara itu mengaku dijebak. Toh, pada 30 November 2012, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Denny 16 bulan penjara.
Kejaksaan rupanya tak terpengaruh oleh penangkapan Denny. Kejaksaan kian bersemangat setelah BPKP menyelesaikan penghitungan kerugian negara pada 9 November 2012. Menurut BPKP, kerja sama Indosat-IM2 sepanjang 2006-2011 menyimpang dari aturan dan merugikan negara sekitar Rp 1,3 triliun.
Empat hari setelah audit BPKP keluar, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring mengirim surat ke Jaksa Agung Basrief Arief. Menurut Tifatul, kerja sama Indosat dan IM2 sudah sesuai dengan aturan. Kerja sama dengan pola yang sama, menurut Kementerian Komunikasi, juga dilakukan penyelenggara jaringan dengan ratusan penyedia jasa telekomunikasi lain.
Jaksa tak menggubris penjelasan Menteri Komunikasi. Tiga pekan kemudian, Kejaksaan Agung menetapkan Johnny Sjam, mantan Presiden Direktur Indosat, sebagai tersangka baru.
Karena penyidikan jaksa terus melaju, Indar mencoba jalur melingkar. Pada 26 Desember 2012, ia menggugat Deputi Kepala BPKP Eddy Mulyadi beserta tim auditnya ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Selain meminta pelaksanaan hasil audit BPKP ditunda, Indar meminta PTUN menyatakan hasil audit itu tidak sah. Langkah Indar menggugat BPKP secara pribadi belakangan diikuti Indosat dan IM2.
Sebagai auditor internal lembaga pemerintah, menurut Indar dan kawan-kawan, BPKP tak berwenang mengaudit perusahaan swasta seperti Indosat dan IM2. Di samping itu, Indar dan rekan-rekan mempersoalkan mekanisme audit BPKP yang tak pernah memeriksa langsung Indosat dan IM2.
Perlawanan Indar membuat jaksa justru bergerak lebih jauh. Pada 5 Januari lalu, Kejaksaan Agung mengumumkan Indosat dan IM2 sebagai tersangka. Ini untuk pertama kalinya Kejaksaan menetapkan korporasi sebagai tersangka kasus korupsi. Menurut Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, jaksa menjadikan Indosat dan IM2 sebagai tersangka karena hasil perbuatan Indar dan kawan-kawan telah menguntungkan kedua perusahaan itu.
Berkas penyidikan Indar juga lebih awal dilimpahkan ke pengadilan. Pada 14 Januari lalu, Indar menjalani sidang perdana sebagai terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam sidang yang diwarnai unjuk rasa ratusan karyawan Indosat dan IM2 itu, jaksa mendakwa Indar memperkaya diri dan korporasi dengan cara melawan hukum serta menyalahgunakan kewenangan. Jaksa menjerat Indar dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukumannya maksimal 20 tahun penjara.
Menurut jaksa, Indar melanggar aturan bersama tiga mantan Presiden Direktur Indosat: Johnny, Kaizad B. Herzee, dan Harry Sasongko. Jejak Indar terlacak dari sejumlah perjanjian kerja sama Indosat dan IM2 beserta amendemennya. Adapun tiga lainnya meneken surat perjanjian, mewakili Indosat, sesuai dengan periode jabatan mereka.
Pengacara yang ditunjuk Indosat dan IM2, Luhut M.P. Pangaribuan, menilai tuduhan jaksa kepada kliennya salah alamat. Kejaksaan, misalnya, menyebutkan IM2 menggunakan frekuensi secara bersama dengan Indosat. Padahal, dari kacamata hukum telekomunikasi, IM2 hanya memakai jaringan milik Indosat.
Menurut Luhut, kewajiban mengikuti lelang, membayar upfront fee, dan membayar biaya hak penggunaan pita frekuensi berlaku untuk Indosat sebagai penyelenggara jaringan. Adapun IM2, sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi, hanya wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi dan biaya kewajiban pelayanan universal (USO). "Indosat dan IM2 sudah melunasi kewajiban masing-masing," kata Luhut.
Tatkala sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi baru memasuki tahap pemeriksaan saksi, sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara memasuki tahap akhir. Pada 1 Mei lalu, majelis hakim PTUN yang dipimpin Bambang Heryanto mengabulkan sebagian tuntutan Indar, Indosat, dan IM2. Menurut hakim PTUN, surat Deputi Kepala BPKP tentang perhitungan kerugian negara itu tidak sah. Hakim pun meminta BPKP mencabut surat tersebut.
Erick S. Paat, kuasa hukum Indar, dalam gugatan ke PTUN, mengatakan hasil audit BPKP tak bisa lagi dipakai untuk membuktikan kerugian negara dalam perkara pidana Indosat-IM2. Bila jaksa berkukuh memakai hasil audit itu, "Mereka melawan hukum," ujar Jhon Thomson, kuasa hukum Indosat dan IM3 di PTUN.
Alih-alih menyerah, Deputi Kepala BPKP Eddy Mulyadi malah menyatakan akan mengajukan permohonan banding. Menurut dia, BPKP bukan pertama kali membantu jaksa dalam menghitung kerugian negara. Lembaganya, ucap dia, sudah menghitung kerugian negara dalam hampir 400 kasus korupsi. Beberapa di antaranya memang digugat ke pengadilan. "Tapi baru ini yang kalah," kata Eddy.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Setia Untung Arimuladi menanggapi dingin putusan PTUN itu. "Kami tak akan terpengaruh." Menurut undang-undang, jaksa bisa meminta bantuan ahli dalam menentukan kerugian negara. Ahlinya bisa BPKP atau bahkan perguruan tinggi. "Jadi proses hukum pidananya tetap jalan," ujarnya.
Erick berpendapat sebaliknya. Menurut dia, Pengadilan Tipikor mesti memperhitungkan hasil putusan PTUN itu.
Jajang Jamaludin, Putri Anindya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo