Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANG lantai satu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta penuh sesak. Pengunjung yang datang sejak pagi terus berusaha menyemangati Ricksy Prematuri, yang duduk di kursi pesakitan. Selasa tengah malam pekan lalu itu, ketika sidang hampir berÂakhir, hawa di ruangan tersebut pun terasa semakin panas. Meski menyala kencang, penyejuk udara seperti tak mampu lagi mengimbangi jumlah pengunjung yang melebihi kapasitas ruangan.
Puluhan karyawan PT Green Planet Indonesia malam itu berbaur dengan karyawan PT Chevron Pacific Indonesia dan perwakilan alumnus Institut Pertanian Bogor. Mereka datang untuk memberi dukungan kepada Ricksy, Direktur PT ÂGreen Planet. Di tengah-tengah mereka, hadir pula istri dan dua anak Ricksy. Sidang itu dimulai selewat tengah hari.
Sokongan sejawat, sahabat, dan keluarga membuat Ricksy masih sanggup melempar senyum. Malam itu vonis yang dijatuhkan majelis hakim yang diketuai Sudharmawatiningsih kepada Ricksy cukup berat. Dia dihukum lima tahun penjara dan didenda Rp 200 juta. Majelis juga mengharuskan Ricksy mengganti kerugian negara US$ 3,08 juta. "Saya sudah menduga putusannya akan seperti ini," ujar pria berperawakan tinggi kurus itu seusai sidang.
Sewaktu Ricksy keluar dari ruang sidang, sejawat dia, Herland bin Ompo, langsung menyambut dengan pelukan erat. Gurauan pun sempat meluncur dari mulut Direktur PT Sumigita Jaya yang juga menjadi terdakwa dalam kasus yang sama. "Kalau saya jadi hakim, vonisnya pasti lebih berat. Saya kan lebih gila daripada hakim," ujar Herland. Sindiran Herland disambut gelak tawa pengunjung sidang lainnya.
Herland semestinya malam itu juga divonis. Tapi lantaran hari sudah berganti tanggal—sudah lewat tengah malam—pembacaan vonisnya ditunda. Pada sidang Rabu pekan lalu itu Herland juga divonis bersalah. Dia dihukum enam tahun penjara plus denda Rp 250 juta. Hakim juga mewajibkan Herland mengembalikan uang negara US$ 6,9 juta.
Putusan hakim ini rupanya tak memuaskan jaksa. Fitri Zulfahmi, jaksa penuntut umum, langsung menyatakan banding. Alasannya, putusan majelis sangat jauh dari tuntutan jaksa. Sebelumnya, jaksa menuntut Ricksy 12 tahun penjara dan Herland 15 tahun penjara. Seperti jaksa, Herland pun menyatakan akan banding. Adapun Ricksy menyatakan dirinya masih pikir-pikir dulu.
Ricksy dan Herland terseret kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi di bekas lahan tambang PT Chevron Pacific Indonesia, yang mulai diusut Kejaksaan Agung pada 5 Oktober 2011. Proyek bioremediasi menggunakan mikrobakteri dalam tanah untuk membersihkannya dari kontaminasi limbah minyak. Semula proyek itu digarap sendiri oleh Chevron. Belakangan perusahaan tambang penghasil minyak rata-rata 357 ribu barel per hari itu menyerahkan proyek pemulihan lingkungannya kepada perusahaan rekanan.
Enam bulan setelah pengusutan, pada 12 Maret 2012, jaksa mengumumkan tujuh orang sebagai tersangka. Di samping Ricksy dan Herland, lima orang lainnya merupakan penanggung jawab proyek kilang minyak PT Chevron di Duri dan Minas, Riau. Mereka adalah Endah Rumbiyanti, Widodo, Kukuh, Alexiat Tirtawidjaja, dan Bachtiar Abdul Fatah. Kecuali Alexiat yang keburu pergi ke Amerika Serikat, enam orang tersangka langsung ditahan.
Pada 26 November tahun lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan praperadilan empat karyawan Chevron. Hakim pun membebaskan empat tersangka dari tahanan. Hakim bahkan mencabut status salah satu tersangka, Bahctiar Abdul Fatah. Berbeda dengan nasib empat karyawan Chevron, Ricksy dan Herland tetap ditahan karena tak mengajukan praperadilan.
Berkas perkara Ricksy dan Herland pun lebih cepat masuk pengadilan. Dalam sidang pembacaan vonis pekan lalu, majelis hakim rupanya sependapat dengan isi dakwaan jaksa tersebut. Menurut majelis, dua perusahaan yang dipimpin terdakwa tak menjalankan prosedur bioremediasi dengan benar. Green Planet, misalnya, dianggap hanya menguji kandungan total petroleum hydrocarbon (TPH) dalam tanah. Perusahaan itu tak menguji jenis, jumlah, dan sifat bakteri pendegradasi yang terkandung dalam tanah.
Mengutip hasil analisis saksi ahli kejaksaan, Edison Effendi, majelis hakim juga menyatakan kandungan TPH pada tanah yang diklaim telah diolah sama dengan nol persen. "Dengan kata lain, tanah tak pernah terkontaminasi minyak," ucap hakim anggota Alexander Marwata. Artinya, proyek bioremediasi yang biayanya diklaim Chevron ke pemerintah Indonesia pun ini tak pernah ada. Gara-gara proyek bioremediasi fiktif itu, menurut hakim, negara dirugikan US$ 9,98 juta atau sekitar Rp 90 miliar.
Kesimpulan hakim ini jauh berbeda dengan klaim Chevron. Sejauh ini Chevron menyatakan telah membersihkan tanah di 132 dari 300 lokasi yang tercemar minyak mentah. Diterapkan sejak 2003, teknik bioremediasi telah memulihkan lebih dari setengah juta meter kubik tanah. Tanah olahan telah dipakai untuk menghijaukan lahan 60 hektare di Riau.
Dalam pertimbangannya, hakim menyebut Green Planet dan Sumigita melanggar Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003. Kedua perusahaan tak mengantongi izin dalam menggarap proyek bioremediasi. Keputusan menteri itu merupakan petunjuk teknis Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Beracun dan Berbahaya serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sejak awal, penggunaan analisis Edison Effendi sebagai dasar untuk menghukum para terdakwa menjadi barang panas. Pihak Chevron dan dua perusahaan rekanan memprotes pemilihan Edison sebagai saksi ahli sejak kasus ini masih dalam tahap penyidikan. Menurut mereka, Edison tak layak menjadi saksi ahli. Pria yang mengaku sebagai dosen di Universitas Trisakti dan Universitas Pembangunan Negeri Surabaya dianggap memiliki konflik kepentingan.
Manajer Komunikasi Chevron Dony Indrawan mengungkapkan Edison pernah menawarkan proyek percontohan bioremediasi kepada Chevron pada 2004. Saat itu, dia membawa bendera PT Adimitra. Namun Chevron menolak Edison dan Adimitra karena harga yang terlalu mahal. "Siklus bioremediasinya juga terlalu lama," ujar Dony.
Lalu, pada 2011, Edison pernah mewakili PT Putra Riau Kenari dalam tender bioremediasi Chevron. PT Putra Riau kalah dalam penawaran, lagi-lagi antara lain karena menyodorkan harga terlalu tinggi. Menurut pengacara Herland, Dion Pongkor, Putra Riau menyodorkan harga US$ 100 per meter kubik. Sedangkan Sumagita berani menawarkan harga US$ 60.
Dalam persidangan pada 25 Maret lalu, Edison dicecar anggota majelis hakim Sofialdi soal obyektivitas kesaksian dia. Namun Edison berkelit bahwa dirinya bukan bagian dari Adimitra at aupun Putra Riau. Edison mengaku hanya menawarkan mikrobakteri miliknya kepada Adimitra. Soal Adimitra menawarkan kepada Chevron, kata Edison, "Itu bukan urusan saya."
Adapun di Putra Riau, Edison mengaku hanya ditunjuk sebagai konsultan ahli. Dia tetap berkukuh ketika pengacara Ricksy, Najib Aly Girsam, mengajukan bukti surat pemberian kuasa Putra Riau kepada Edison. Dalam surat itu, Putra Riau menunjuk Edison untuk mewakili perusahaan tersebut dalam seluruh proses lelang: dari pendaftaran, pengambilan dokumen, penawaran harga, hingga rapat-rapat bersama Chevron.
Menurut ahli hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Eddy O.S. Hiariej, hakim harus mengabaikan keterangan saksi ahli yang tak obyektif. "Ahli yang terlibat konflik kepentingan tidak boleh ikut serta dalam perkara," kata Eddy dalam sidang pada 19 April lalu.
Kuasa hukum Ricksy dan Herland juga mempermasalahkan hasil uji petik yang dilakukan Edison. Kesimpulan yang dibuat Edison dianggap tak valid karena pengujian dilakukan sebulan setelah pengambilan sampel tanah.
Dalam dokumen uji petik versi Edison memang disebutkan, pengetesan dilakukan pada 14 Juni 2012, sedangkan pengambilan contoh tanah berlangsung pada 9 April 2012. "Itu melewati batas waktu dua pekan seperti diatur keputusan menteri," ujar Najib.
Kejanggalan lain yang terungkap, uji petik versi Edison hanya dilakukan di laboratorium darurat Kejaksaan Agung. Laboratorium dadakan itu tak memiliki sertifikasi dari Kementerian Lingkungan Hidup. "Kesahihan hasilnya diragukan," kata Najib.
Dalam persidangan, sejumlah tuduhan jaksa kepada Green Planet dan Sumigita juga disanggah Masnellyarti Hilman, saksi ahli Kementerian Lingkungan Hidup yang diundang jaksa. Dalam sidang pada 27 Maret lalu, Deputi IV Kementerian Lingkungan itu mengatakan proyek bioremediasi Chevron sudah sesuai dengan keputusan menteri. Batas standar tanah tercemar yang diperbolehkan untuk diolah, misalnya, adalah di bawah 15 persen, bukan 7,5 -15 persen seperti dakwaan jaksa.
Menurut Masnellyarti, Green Planet dan Sumigita juga tak bisa dipermasalahkan karena menggarap proyek bioremediasi tanpa izin. Masnellyarti mengutip Pasal 40 ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999. Pasal itu menyebutkan yang harus memiliki izin adalah pemilik lokasi bioremediasi. Artinya, yang harus mengantongi izin itu Chevron. Karena Chevron sudah punya izin itu, pihak ketiga yang mengerjakan proyek bioremediasi tak perlu punya izin lagi.
Putusan hakim sebenarnya tak bulat. Salah seorang hakim, Sofialdi, mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut Sofialdi, Green Planet dan Sumigita tak harus memiliki izin. Yang harus memiliki izin adalah Chevron. Sofialdi pun menilai hasil analisis Edison tak bisa dipakai sebagai alat bukti, karena saksi jaksa itu terlibat konflik kepentingan. Tapi beda pendapat Sofialdi ini tak mampu membelokkan arah vonis yang digiring dua temannya itu. Maka, dengan setumpuk bukti dan saksi ahli itu, Ricksy dan Herland tetap dinyatakan bersalah.
Febriyan, Linda Hariani
Tender Proyek Berujung Bui
Menang tender proyek bioremediasi Chevron, petinggi dua perusahaan rekanan akhirnya masuk bui.
2011
Juni
PT Green Planet dan PT Sumigita Jaya berhasil mendapat tender proyek bioremediasi Chevron. Mereka mengalahkan PT Putra Riau Kemari, yang diwakili Edison Effendi, dan sejumlah perusahaan lain.
5 Oktober
Kejaksaan Agung mengeluarkan surat perintah penyelidikan kasus dugaan korupsi pengadaan proyek bioremediasi.
2012
8-9 Februari
Rombongan penyidik Kejaksaan Agung mengunjungi lokasi bioremediasi Chevron di Riau. Dalam rombongan terlihat Edison Effendi.
16 Maret
Hasil penyidikan Kejaksaan Agung menyatakan proyek bioremediasi fiktif. Tujuh orang dinyatakan sebagai tersangka.
9-13 April
Penyidik Kejaksaan Agung kembali mengambil sampel tanah di Riau. Edison kembali ikut dalam rombongan.
14 Juni
Kejaksaan Agung menguji sampel tanah dengan bantuan Edison. Hasil uji petik menyatakan hasil pemeriksaan sampel tanah bioremediasi negatif.
26 September
Enam dari tujuh tersangka kasus dugaan ditahan setelah menjalani pemeriksaan.
10 November
Kejaksaan menerima hasil audit BPKP yang menyebutkan adanya kerugian negara dalam proyek ini.
18 November
Empat pegawai Chevron (tersangka) mengajukan gugatan praperadilan.
26 November
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan sebagian gugatan praperadilan karyawan Chevron.
11 Desember
Kejaksaan Agung melimpahkan kasus bioremediasi ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
20 Desember
Kasus bioremediasi Chevron mulai disidangkan.
2013
26 April
Herland dituntut 15 tahun penjara dan Ricksy Prematuri 12 tahun penjara.
7 Mei
Majelis hakim menjatuhkan vonis lima tahun penjara dan denda Rp 200 juta kepada Ricksy. Hakim pun meminta Ricksy mengembalikan kerugian negara US$ 3,08 juta.
8 Mei
Majelis hakim memvonis Herland enam tahun penjara dan denda Rp 250 juta. Hakim juga meminta Herland mengembalikan kerugian negara US$ 6,9 juta.
Mereka terpidana, terdakwa, dan tersangka:
- Ricksy Prematuri, Direktur PT Green Planet Indonesia. Status: terpidana.
- Herland bin Ompo, Direktur PT Sumigita Jaya. Status: terpidana.
- Kukuh Kertasafari, koordinator tim penanganan isu sosial dan lingkungan Sumatera Light South PT Chevron Pacific Indonesia. Status: terdakwa, masih menjalani persidangan.
- Widodo, Field Construction Representative Sumatera Light South PT Chevron Pacific Indonesia. Status: terdakwa, masih menjalani persidangan.
- Endah Rumbiyanti, Manajer Lingkungan Sumatera Light North dan Sumatera Light South PT Chevron Pacific Indonesia. Status: terdakwa, masih menjalani persidangan.
- Alextiat Tirtawidjaja, mantan General Manager PT Chevron Pacific Indonesia. Status: tersangka. Belum menjalani pemeriksaan karena sedang berada di Amerika Serikat menemani suaminya yang menjalani pengobatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo