Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kandas di Pangkalan Kerinci

Ahli bubur kertas asal Kanada, Richard Constantine van Lee, mendekam di penjara Pekanbaru, Riau. Dihukum karena menyalin informasi perusahaan ke perangkat penyimpan pribadi.

2 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Duduk di pojok ruangan sempit memanjang, pasangan suami-istri itu berdesakan dengan lusinan orang lain. Meski terhalang deretan orang, keduanya tak sulit dicari. "Hanya saya orang berkulit putih yang dipenjara di sini," kata Richard Constantine van Lee di ruang tunggu depan kantin Lembaga Pemasyarakatan Pekanbaru, Riau, Selasa dua pekan lalu.

Di sampingnya, duduk menempel Maria Nieves Navarro, istrinya. Maria terus menggenggam erat tangan sang suami. Larut dalam perasaan masing-masing, mereka terperangah ketika Tempo datang dan menyapa. Tapi, beberapa detik kemudian, keduanya langsung ramah. Mereka menawarkan teh panas yang katanya bisa dipesan.

"Saya ingin bebas," pria yang akrab disapa Rick itu memulai cerita. Di usianya yang menginjak 63 tahun, Rick berencana pulang ke Vancouver, Kanada. "Saya terus menua dan mulai sakit-sakitan." Di Kanada, menurut dia, pelayanan kesehatannya lebih bagus, sementara jaring pengaman sosial lebih memadai.

Rick telah berkarier di industri bubur kertas hampir 40 tahun. Jabatan terakhirnya adalah direktur teknik di Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL). Perusahaan yang berkantor pusat di Singapura itu berada di bawah bendera Raja Garuda Enterprise milik Sukanto Tanoto.

Selama enam bulan dalam setahun Rick bertugas di Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), anak perusahaan APRIL, di Pangkalan Kerinci, Pelalawan, sekitar 70 kilometer dari Pekanbaru. Selebihnya, Rick bekerja di kantor untuk APRIL di Cina dan Brasil.

Awal Desember lalu, vonis hakim Pengadilan Negeri Pelalawan mengubah jalan hidup Rick. Dia menjadi penghuni sel seluas 2 x 3 meter, bersama terpidana kasus narkotik asal Malaysia. "Ini titik nadir dalam perjalanan hidup saya," ujar Rick.

l l l

Rick tak menyangka keputusannya pada awal Mei 2011 akan menjadi awal malapetaka. Saat itu, dia mengajukan pengunduran diri kepada manajemen APRIL. Rick meminta kontrak tahunan sebagai direktur, yang berakhir 31 Agustus 2011, tidak diperpanjang.

Setelah melayangkan surat pengunduran diri, Rick mulai mengalami hal-hal yang tidak biasa. Awalnya, Rick dicurigai bakal pindah ke perusahaan pesaing. Lalu, pada 31 Mei 2011, salah seorang Direktur RAPP, Mulia Nauli, mendatangi Rick di ruang kerjanya.

Mulia meminta Rick menyerahkan laptop inventaris kantor serta dua hard disk eksternal dan satu flash disk milik Rick. Alasannya, perusahaan ingin memeriksa apakah ada data perusahaan yang disimpan atau dikirim melalui peralatan itu.

Beberapa hari kemudian, Rick menerima pesan dari pimpinan APRIL agar tidak masuk kantor. Rick diminta tetap di rumah, yang menyatu dengan kompleks kantor dan pabrik RAPP. Tapi itu bukan saran untuk istirahat. Soalnya, selama dua pekan kemudian, ada saja petugas RAPP dan APRIL yang menanyakan berbagai hal kepada Rick.

Upaya membujuk Rick bertahan di perusahaan pun tetap jalan. Perusahan menawari Rick berkantor di Singapura. Tapi Rick menolak tawaran itu. "Tawaran mereka sangat buruk," kata Rick.

Tak mempan dibujuk, pergerakan Rick terus diawasi. Saat Rick jalan-jalan mengitari kompleks, setiap pagi hari, misalnya, ada saja petugas keamanan yang menguntitnya. Rumah kosong yang berselang satu rumah dengan tempat tinggal Rick menjadi markas dadakan petugas keamanan RAPP. "Saya betul-betul dikontrol," kata Rick.

Pada saat yang sama, perusahaan mulai menarik mobil dinas dan sopir yang melayani Rick. Ini benar-benar merepotkan Rick dan istrinya. Soalnya, jarak rumah dinas ke pintu gerbang kompleks RAPP hampir tiga kilometer. "Kami dipersilakan memakai mobil pribadi," ujar Rick.

Tapi Rick tak bisa mencari mobil sewaan. Setiap kali hendak keluar, Rick terbentur aturan baru perusahaan: semua pekerja asing tak boleh meninggalkan kompleks RAPP tanpa izin.

Suatu hari, misalnya, Rick mencoba meminjam sepeda milik pembantunya untuk mengambil uang di anjungan tunai mandiri di luar kompleks RAPP. Di pintu gerbang, Rick diminta kembali. Alasan petugas, tak aman bagi Rick bila keluar dari kompleks dengan mengayuh sepeda. "Sejak saat itu, kami menyimpulkan dia ditahan secara ilegal," kata R. Andika Yoedistira, kuasa hukum Rick, dari kantor pengacara O.C. Kaligis.

Pihak RAPP menyangkal pengakuan Rick. Menurut penasihat hukum RAPP, Hinca I.P. Pandjaitan, sebelum ditahan polisi, Rick diizinkan tetap tinggal di rumah dinas. Rick juga dibebaskan beraktivitas seperti biasa. Perusahaan pun masih menyediakan kendaraan dan pengemudi khusus untuk melayani Rick sampai kontraknya berakhir.

Rick balik membantah klaim Hinca. Kalau bebas ke luar kompleks, "Mengapa saya harus menunggu sampai dijemput dan ditahan polisi?" ujar Rick.

l l l

Atas nama RAPP, Mulia Nauli melaporkan Rick ke Kepolisian Resor Pelalawan pada 2 Juni 2011. Mulia menuduh Rick memindahkan informasi elektronik perusahaan ke dalam perangkat penyimpan data milik pribadi secara ilegal. Menurut Hinca, RAPP khawatir pemindahan data itu akan merugikan perusahaan dan karyawan lain yang masih bekerja di RAPP.

Polisi bergerak cepat. Sepekan kemudian, polisi memanggil Rick dengan status tersangka. Di dalam surat panggilan juga tercantum sangkaan pencurian data perusahaan.

Polisi menjerat Rick dengan Pasal 32 dan 48 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ancaman hukuman maksimalnya adalah 8 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar. "Ini kasus ITE pertama di Riau," kata Wakil Kepala Polres Pelalawan Komisaris Jon Wesly di kantornya.

Meski telah dipanggil polisi, Rick tak mudah meninggalkan kompleks RAPP. Kuasa hukum sampai meminta polisi tidak menyalahkan Rick bila tak bisa memenuhi panggilan. "Jangan klien kami dianggap mangkir," kata Timothy J. Inkiriwang, kuasa hukum Rick lainnya.

Polisi lantas menahan Rick pada 4 Juli 2011. Di sel tahanan polisi, Rick terkena stroke ringan. Dia mengalami depresi berat. Sempat curiga Rick berpura-pura sakit, polisi akhirnya merujuk Rick ke Rumah Sakit Umum Daerah Pangkalan Kerinci. Karena peralatan di situ tidak lengkap, Rick dirujuk ke Rumah Sakit Bhayangkara Pekanbaru.

Atas permintaan Rick dan kuasa hukumnya, pada 28 Juli 2011, Polres Pelalawan mengirim Rick ke Rumah Sakit Pusat Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur. Di rumah sakit itu, Rick yang berbaring lemah sempat diborgol ke tempat tidur.

Istri Rick dan pengacara memprotes tindakan polisi. Kata mereka, Rick tak mungkin melarikan diri. Soalnya, empat polisi berjaga di dalam dan di luar ruang rawat Rick. Tapi polisi Pelalawan berkukuh pemborgolan itu prosedur baku. Borgol baru dilepas keesokan harinya, ketika pemimpin Rumah Sakit Polri menyatakan pengamanan seperti itu tak perlu.

Tak puas dengan ulah polisi Pelalawan, kuasa hukum Rick mengirimkan dua surat ke Markas Besar Kepolisian RI. Mereka meminta perlindungan hukum atas kliennya, sekaligus meminta penyidikan diambil alih Jakarta. Menanggapi laporan itu, Polri mengirim dua tim secara terpisah ke Riau. Tim pertama dari Badan Reserse Kriminal Polri. Tim kedua dari Divisi Hukum Polri.

Tim audit legal dari Divisi Hukum Polri terjun ke Pekanbaru dan Pelalawan pada 22-23 Agustus 2011. Tim pimpinan Komisaris Besar R. Sigit Triardjanto itu melaporkan temuannya kepada Kepala Polri Timur Pradopo pada 9 November 2011.

Dalam laporan tertulisnya, tim audit Polri menyimpulkan polisi lokal melewatkan sejumlah prosedur pengusutan. Bolong-bolong antara lain ada pada tahap penyelidikan, penetapan tersangka, serta penyitaan dan pengelolaan barang bukti.

Polres Pelalawan, misalnya, tidak pernah menyelidik, tapi langsung menyidik kasus Rick. Penetapan Rick sebagai tersangka pun tak melalui gelar perkara. "Itu dapat mengurangi nilai profesionalisme, obyektivitas, dan transparansi penyidikan," demikian salah satu poin kesimpulan itu.

Wakil Kepala Polres Jon Wesly membenarkan kedatangan tim audit dari Jakarta. Tapi dia mengaku tidak tahu bahwa penyidikan kasus Rick dianggap tidak profesional. "Buktinya, jaksa tetap melanjutkan kasusnya ke pengadilan," ujar John.

Jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Pelalawan, Furqonsyah Lubis, mengatakan proses pemberkasan kasus Rick berjalan lancar-lancar saja. Jaksa hanya sekali meminta polisi melengkapi berkas kasus. Karena semuanya aman, jaksa lantas melimpahkan kasus Rick ke Pengadilan Negeri Pelalawan.

l l l

Di Pengadilan Negeri Pelalawan, persidangan kasus lumayan panjang: sampai 16 kali sidang. Pada sidang perdana, 21 September 2011, jaksa mendakwa Rick memindahkan data dari server perusahaan ke dua hard disk eksternal dan satu flash disk milik pribadi. Menurut jaksa, Rick bersalah karena mengabaikan pemberitahuan—berisi larangan menyalin dan mengubah data—yang otomatis muncul di layar saat komputer terhubung ke server.

Dari sekian banyak data yang disalin Rick, jaksa merujuk dua file berjudul "Acacia Crassicarpa 4 & 5 Years" dan "Acacia Extractives". Kedua file itu berisi dokumen presentasi (PowerPoint) tentang hasil penelitian seputar pohon akasia yang bisa dipanen pada usia 4-5 tahun.

Rick dan kuasa hukumnya mengajukan sejumlah keberatan. Rick berkukuh tidak melanggar hukum. Dia menyimpan data di hard disk eksternal karena masih menjabat direktur. "Lain halnya kalau saya menyimpan data itu setelah keluar," ujar Rick.

Rick pun mengaku menyalin data untuk kepentingan perusahaan. Dia membuat backup data di hard disk untuk berjaga-jaga bila data di laptop perusahaan rusak. Selain itu, Rick kerap memerlukan data tersebut saat presentasi di kantor APRIL di Cina dan Brasil.

Rick mengaku telah melakukan hal yang sama selama enam tahun bekerja di APRIL. Bagian teknologi informasi perusahaan mengetahuinya. Begitu pula atasan langsung Rick, A.J. Devanesan, CEO APRIL di Singapura. "Mengapa saat saya mau keluar baru dipersoalkan?" ujar Rick.

Mewakili RAPP, Hinca kembali menyangkal anggapan Rick. Menurut dia, tidak ada kaitan antara pengunduran diri Rick dan laporan kepada polisi. "Di perusahaan mana pun," katanya, "ada konsekuensi bila karyawan melanggar hukum."

Saksi ahli yang dihadirkan pihak terdakwa, Muzakir, mengatakan kasus penggandaan data oleh Rick semestinya tidak masuk ranah pidana. Pengajar hukum pidana di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, ini berpendapat, sebagai pemegang user name dan password, Rick berwenang mengakses server. Kalaupun dianggap melanggar aturan internal perusahaan, Rick semestinya tidak dikriminalkan. "Itu kasus administratif," kata Muzakir. Sanksinya bisa teguran sampai pemecatan.

Tapi keberatan tim pengacara dan keterangan ahli tak membuat jaksa mengendurkan sikap. Pada sidang 24 November 2011, jaksa menuntut Rick dihukum satu tahun penjara dan denda Rp 100 juta. "Semua keberatan pengacara dan saksi ahli telah kami jawab di persidangan," kata jaksa Furqonsyah.

Akhirnya, pada sidang ke-16, 2 Desember 2011, majelis hakim yang dipimpin Lusiana Amping memvonis Rick bersalah. Hakim menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada tuntutan jaksa: tiga tahun penjara dan denda Rp 100 juta.

Hakim menggelar sidang putusan hanya satu jam setelah jaksa menyampaikan tanggapan terakhir atas pembelaan tim pengacara. "Putusan keluar begitu cepat," kata pengacara Rick, Rico Pandeirot. "Jangan-jangan putusan sudah lama disiapkan."

Satu suara dengan pengacaranya, Rick menyatakan naik banding, meski tak begitu yakin Pengadilan Tinggi Pekanbaru akan meringankan hukumannya. "Saya tidak punya pilihan lain. Yang pasti, saya bukan penjahat," ujar Rick.

Jajang Jamaludin, Jupernalis Samosir


Terjepit Pajak Sendiri

DUA perusahaan ini kerap muncul di media massa: Asian Agri Group dan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Asian Agri bergerak di industri perkebunan kelapa sawit, sedangkan RAPP di industri pengolahan kayu dan kertas. Ada lagi kesamaannya: mereka satu induk di Raja Garuda Mas milik taipan Sukanto Tanoto. Perusahaan-perusahaan itu muncul di media karena dihujani tudingan melakukan pembalakan liar, dan ada karyawannya yang menjalani sidang di berbagai pengadilan.

Sidang paling anyar adalah kasus penggelapan pajak yang diduga dilakukan Suwir Laut alias Liu Che Sui, 50 tahun. Bekas Tax Manager Asian Agri Cabang Medan ini duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia didakwa terlibat penggelapan pajak Asian Agri dengan modus hedging, management fee, dan transfer pricing. Hasil audit internal laporan keuangan 14 anak usaha Asian Agri Group sejak 2002 hingga 2005 menyimpulkan sedikitnya Rp 1,2 triliun tidak disetor ke negara.

Majelis hakim sudah menggelar sidang sejak awal 2011. Hingga pertengahan Desember lalu, agenda persidangan baru sampai di penuntutan. Suwir didakwa melanggar Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang perpajakan. "Klien kami dituntut tiga tahun penjara," kata pengacara Suwir, Mohammad Assegaf, kepada Tempo. Nota pembelaan Suwir baru akan dibacakan pada pertengahan Januari ini.

Berbagai kasus yang dijalani Asian Agri dan RAPP kerap berlangsung menarik. Dalam kasus Suwir, misalnya, untuk pembacaan penuntutan saja, hakim harus tiga kali menunda sidang. Alasan jaksa beragam, dari surat tuntutan yang belum siap hingga jaksa harus mengikuti pelatihan.

Suara miring pun berhamburan. Ada pula wacana mengenai perlunya memeriksa jaksa yang menangani kasus Asian Agri, karena mereka dianggap bermain mata. Kejaksaan membela diri. "Berbeda dengan penipuan dan penggelapan biasa, perkara Suwir ini lebih rumit," kata juru bicara Kejaksaan Agung, Noor Rachmad.

Seolah latah, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan lamban menangani kasus pajak Asian Agri lainnya, yakni penyelewengan pajak yang diduga dilakukan Linda Rahardja dan Eddy Lukas. Penyidik pegawai negeri di Direktorat Jenderal Pajak tak kunjung menyerahkan berkas pemeriksaan ke Kejaksaan Agung sebagai tanda kasus siap disidangkan. Padahal kasus ini sudah disidik sejak 2007 dan telah 16 kali pula berkas pemeriksaan bolak-balik antara Direktorat Jenderal Pajak dan Kejaksaan.

Kondisi itu berbanding terbalik dengan kasus yang menimpa Vincentius Amin Sutanto, atasan Suwir saat keduanya masih aktif di Asian Agri. Vincent divonis sebelas tahun penjara karena membobol uang Asian Agri senilai Rp 28 miliar lewat modus pencucian uang dan pemalsuan surat. Asian Agri yang melaporkan Vincent. Dari Vincent-lah kasus pajak Asian Agri terkuak, dan salah satunya kasus yang menimpa Suwir.

Menjerat Suwir tampaknya bakal tak mudah. Assegaf mengatakan sudah menyiapkan banyak kartu agar kliennya bebas. Dia tak mau menyebutkan siapa seharusnya yang paling bertanggung jawab.

Assegaf bahkan menganggap kasus Suwir dan kasus pajak Asian Agri lainnya tak seharusnya masuk ke pengadilan. Alasannya, "Kasus pajak bukan wilayah pidana," katanya.

Mustafa Silalahi


Jalan Terjal Tuan Direktur

Pernah menjadi eksekutif di berbagai perusahaan bubur kertas dunia, perjalanan Richard Constantine van Lee sementara berujung di ruang pengap di Lembaga Pemasyarakatan Pekanbaru, Riau. "Ini titik nadir dalam perjalanan hidup saya," kata pria kelahiran Polandia, 63 tahun silam, itu.

1 September 2006
Rick van Lee bergabung dengan Raja Garuda Enterprise sebagai Direktur Teknik Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL). Selama enam bulan dalam setahun, Rick berkantor di Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), anak perusahaan APRIL, di Pangkalan Kerinci, Pelalawan, Riau.

2 Mei 2011
Rick mengirimkan e-mail pengunduran diri kepada manajemen APRIL/RAPP.

31 Mei 2011
RAPP menyita laptop inventaris yang biasa dipakai Rick serta dua hard disk eksternal dan satu flash disk milik Rick. Sejak itu, Rick tidak diizinkan meninggalkan kompleks RAPP tanpa dikawal petugas.

2 Juni 2011
Mulia Nauli melaporkan Rick ke Kepolisian Resor Pelalawan.

9 Juni 2011
Polres Pelalawan memanggil Rick dengan status tersangka.

30 Juni 2011
Polres Pelalawan menyita laptop, dua hard disk eksternal, dan satu flash disk dari perusahaan (bukan langsung dari tangan tersangka), lalu menyerahkan kembali bukti itu ke perusahaan.

4 Juli 2011
Polres Pelalawan memeriksa dan menahan Rick.

11 Juli 2011
Kuasa hukum Rick meminta perlindungan hukum atas kliennya dan meminta pemindahan penyidikan kasus ke Markas Besar Kepolisian RI.

27 Juli 2011
Badan Reserse Kriminal Polri menurunkan tim ke Riau. Penyidikan oleh Polres Pelalawan dinilai belum maksimal.

28 Juli 2011
Polres Pelalawan mengirimkan Rick ke Rumah Sakit Pusat Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur. Rick dirawat (dibantarkan) di Jakarta selama lima pekan.

8 Agustus 2011
Kuasa hukum Rick kembali melaporkan kasus Rick ke Divisi Hukum Mabes Polri.

22-23 Agustus 2011
Divisi Hukum Mabes Polri mengirimkan tim legal audit ke Pekanbaru dan Pangkalan Kerinci. Tim menyimpulkan ada prosedur penyelidikan dan penyidikan yang dilewati.

24 Agustus 2011
Polres Pelalawan mencabut Rick dari Rumah Sakit Polri dan membawanya ke Pelalawan. Dalam perjalanan, Rick sempat jatuh pingsan.

25 Agustus 2011
Polisi menyerahkan Rick dan barang bukti ke Kejaksaan Negeri Pelalawan.

12 September 2011
Jaksa menitipkan Rick di Lembaga Pemasyarakatan Pekanbaru, Riau. Jaksa melimpahkan berkas Rick ke Pengadilan Negeri Pelalawan.

24 November 2011
Jaksa menuntut Rick dihukum satu tahun penjara dan denda Rp 100 juta.

2 Desember 2011
Hakim Pengadilan Negeri Pelalawan menghukum Rick tiga tahun penjara dan denda Rp 100 juta.

Mereka yang Berperan


Penyidik
- Inspektur Polisi Dua Boy Marudut Tua
- Brigadir Indra Irana
- Brigadir Bertoni Yusuf Sitompul Kepala Polres Pelalawan: Ajun Komisaris Besar Ari Rachman Nafarin

Penuntut Umum
- Furqonsyah Lubis
- Banu Laksamana
- Ate Quesyini Kepala Kejaksaan Negeri Pelalawan: Isrofi

Hakim
- Lusiana Amping (Ketua)
- Riko Sitanggang
- Sangkot Tobing Ketua Pengadilan Negeri Pelalawan: Dwi Winarko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus