Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jarum jam baru menunjukkan pukul setengah delapan pagi, tapi kesibukan sudah meruap di lantai sembilan Menara Utara Gedung Sampoerna Strategic Square. Sejumlah pria berbalut kemeja batik atau jas terlihat mondar-mandir. Di kantor PT Perusahaan Pengelola Aset, yang terletak di kawasan bisnis, Jalan Sudirman, Jakarta, Jumat dua pekan lalu digelar pertemuan penting. "Dua versi, bahasa Indonesia dan Inggris. Ada yang belum saya paraf," kata seorang pria dengan langkah tergesa sambil membawa dokumen.
Pagi itu dilakukan penandatanganan perjanjian restrukturisasi utang PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama. Komitmen pembayaran utang dituangkan dalam bentuk master restructuring agreement—mirip jenis perjanjian yang dibuat Badan Penyehatan Perbankan Nasional semasa krisis moneter 1998. Perjanjian itu akan menjadi payung hukum pelunasan utang Grup Tuban Petro kepada pemerintah Indonesia.
Sebetulnya penandatanganan perjanjian itu molor dari target semula akhir Agustus lalu. Rupanya perundingan berlangsung alot sehingga baru kelar akhir Desember. "Perundingan memakan waktu panjang karena melibatkan banyak pihak," kata Direktur Utama Trans-Pacific Honggo Wendratno setelah meneken perjanjian.
Trans-Pacific merupakan anak perusahaan PT Tuban Petrochemical Industries. Anak usaha lain adalah PT Polytama Propindo dan PT Petro Oxo Nusantara. Pabrik aromatik yang berlokasi di Tanjung Awar-awar, Tuban, Jawa Timur, itu menunggak utang hampir US$ 2 miliar atau sekitar Rp 18 triliun. Sebagian besar berupa pinjaman kepada pemerintah Indonesia, termasuk kepada PT Pertamina serta Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas.
Menteri Keuangan, misalnya, adalah pemilik surat utang bergaransi senilai Rp 3,26 triliun dan mandatory convertible bonds sebesar US$ 4,19 juta yang diterbitkan Tuban Petro. Untuk jaminan utang ini, Honggo—pemilik PT Silakencana Tirtalestari, yang menguasai 30 persen saham Tuban Petro—memberikan jaminan pribadi alias personal guarantee.
Adapun utang kondensat Tuban Petro kepada BP Migas tercatat US$ 180 juta. Sedangkan tunggakan kepada Pertamina untuk product delivery instrument (PDI) sebesar US$ 406 juta dan utang atas pengiriman kondensat Senipah senilai US$ 183 juta. Semua utang itulah yang ditata ulang mekanisme pembayarannya.
Trans-Pacific mendapatkan komitmen pembiayaan dari Deutsche Bank dan sponsor sekitar US$ 1 miliar. Pertengahan April lalu, Anshu Jain, perwakilan bank terbesar di Jerman itu, datang ke Jakarta. Jain bertemu dengan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa. Menurut Hatta, Deutsche Bank tertarik berinvestasi hingga US$ 1 miliar di kilang Trans-Pacific Tuban.
RESTRUKTURISASI utang ini ibarat bantal empuk bagi Trans-Pacific. Honggo—yang juga pernah tercatat sebagai obligor di zaman Badan Penyehatan Perbankan Nasional—tetap dipertahankan sebagai direktur utama di perusahaan tersebut.
Melalui paket penyelamatan ini, Trans-Pacific mendapatkan kepastian pasokan kondensat 40-50 ribu barel per hari dari BP Migas. Sedangkan produknya berupa mogas pasti dibeli oleh Pertamina. "Ini fasilitas. Bisa menimbulkan kecemburuan pelaku usaha lain," kata Satya W. Yudha, anggota Komisi Energi dan Sumber Daya Mineral Dewan Perwakilan Rakyat. Satu-satunya yang bisa membatalkan hanya bila Kejaksaan atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan berpendapat perjanjian itu merugikan negara.
Hujan fasilitas itu agaknya tak lepas dari kepiawaian Honggo merekrut sejumlah pejabat tinggi pemerintah menjadi direksi dan komisaris di Grup Tuban Petro. Direktur Utama Tuban Petro Amir Sambodo, misalnya, sempat menjadi staf khusus Menko Perekonomian Hatta Rajasa. Tiga pejabat Kementerian Keuangan, yaitu Direktur Jenderal Kekayaan Negara Hadiyanto, Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Mulia P. Nasution, dan Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Rahmat Waluyanto, juga menjadi komisaris di kelompok usaha tersebut. Auditor Utama Badan Pemeriksa Keuangan Ilya Avianti juga pernah menjadi komisaris Tuban Petro.
Sumber Tempo di Badan Pemeriksa Keuangan mengatakan Ilya sedang diperiksa oleh pengawas internal karena menjadi komisaris di Tuban Petro. "Ada kemungkinan terjadi pelanggaran kode etik." Berdasarkan aturan, sumber tadi melanjutkan, anggota dan auditor BPK dilarang menjadi komisaris di perusahaan yang terkait dengan keuangan negara. Tidak diizinkan pula menjadi komisaris di perusahaan yang memiliki hubungan bisnis dengan badan usaha milik negara. Ilya tidak bersedia menjelaskan persoalan itu. "Saya bukan komisaris lagi," jawabnya singkat.
Restrukturisasi utang Trans-Pacific dibagi menjadi dua tahap. Pertama, cicilan surat utang bergaransi dibayar tunai. Tuban Petro akan menebus empat surat utang yang akan jatuh tempo sampai 2013, senilai Rp 1,07 triliun. Akibatnya, kepemilikan pemerintah di Tuban Petro akan menyusut, dari 70 menjadi 22 persen.
Perhitungan itu didasarkan pada penilaian terhadap 59,9 persen saham Trans-Pacific yang dimiliki Tuban Petro. Sisa tagihan pemerintah akan ditutup dari kas Polytama dan Petro Oxo. Akan dicicil pula tagihan BP Migas sebesar US$ 100 juta tunai. Kekurangan sekitar US$ 80 juta akan diselesaikan melalui penerbitan standby letter of credit.
Direktur Manajemen Risiko Pertamina M. Afdal Bahaudin menjelaskan, Pertamina akan mendapatkan tunai US$ 300 juta atas utang PDI. Sisanya, sekitar US$ 100 juta, diselesaikan dengan menerbitkan letter of credit siaga. Adapun tagihan utang atas suplai kondensat Senipah akan dibereskan dengan skema jual-beli mogas.
Rencananya, Pertamina akan membeli mogas yang dihasilkan Trans-Pacific sebesar 50 ribu barel per hari selama 10 tahun sesuai dengan harga pasar. Pada awal lima tahun pertama, Trans-Pacific akan menerbitkan letter of credit senilai US$ 60 juta. Sisanya, sekitar US$ 120 juta, dipenuhi dengan letter of credit untuk lima tahun kedua. Pertamina meminta bunga LIBOR plus 3 persen untuk piutang kondensat ini.
Ketika berunding, Honggo mengusulkan pembayaran utang kepada Pertamina dikaitkan dengan harga minyak mentah. Namun Afdal menolak lantaran volatilitas harga terlalu tinggi. "Saya tidak mau terpancing ke arah sana," ujarnya. Pertamina tidak mau mengikuti polaritas karena itu berarti akan mengulang kegagalan restrukturisasi sebelumnya. "Jika berkomitmen bayar utang, ya, bayar saja. Enggak peduli apakah nanti harga naik atau turun."
Direktur Utama Perusahaan Pengelola Aset Boyke Mukijat menjelaskan, pembayaran tunai, penerbitan letter of credit siaga, dan LC pertama harus diselesaikan setelah perjanjian restrukturisasi berlaku. Pemerintah menargetkan, dalam waktu 75 hari setelah penandatanganan, perjanjian dinyatakan efektif.
Afdal menambahkan, duit tunai, letter of credit siaga, dan LC tahap pertama harus cair pada semester pertama 2012. Kemudian sebelum lima tahun pertama berakhir, atau sebelum memasuki tahun keenam, LC kedua harus sudah diterbitkan. "Kalau tidak, akan kami minta," ujarnya.
Apabila Trans-Pacific gagal menerbitkan LC kedua bagi Pertamina, ada tiga mekanisme yang bisa ditempuh. Pertama, menukar piutang tersebut sebagai pembayaran atas transaksi mogas atau produk lain yang bisa diterima Pertamina. Bila tak ada kesepakatan atas kedua alternatif tersebut, Pertamina berhak mengeksekusi saham Honggo di Tuban Petro sebesar 30 persen. "Jadi tidak bisa langsung men-default," kata Afdal.
Pilihan ini cukup aneh karena mesin uang grup itu sesungguhnya ada di Trans-Pacific. Menurut Afdal, dalam skema restrukturisasi yang melibatkan Deutsche Bank, Trans-Pacific menjadi entitas tersendiri yang tidak bisa disentuh oleh kreditor lain. Sebagai peminjam, Deutsche Bank mengikatnya kuat-kuat. Namun Honggo membantah ihwal eksekusi saham ini. "Enggak ada. Belum pernah dibicarakan opsi pengambilalihan saham," katanya.
Dalam perjalanan restrukturisasi utang itu, pada tahun keenam, Pertamina tinggal sendirian berhadapan dengan Tuban Petro. Urusan utang perusahaan itu dengan PPA dan BP Migas sudah beres. "Deg-degan sih pasti. Enggak mungkin restrukturisasi itu bisa zero risk. Yang penting bagaimana memitigasi risiko," ujar Afdal.
Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan hanya bisa berharap perjanjian restrukturisasi itu nanti tidak gagal di tengah jalan. "Capek mengurus ini. Waktu dan tenaga direksi bisa digunakan untuk mengerjakan hal lain yang lebih berguna."
Retno Sulistyowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo