Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANJIR yang menimpa warga Ibu Kota pada awal Februari lalu meninggalkan kenangan untuk Hartoyo. Saat itu, Toyo, begitu pria 32 tahun ini disapa, baru beberapa minggu tiba di Jakarta. Ia dan teman-teman satu komunitas gay-nya lantas terjun menjadi relawan di wilayah banjir seperti Kalibata dan Otto Iskandardinata (Otista). Di sana ia ikut mengepak dan menyelamatkan barang-barang warga. ”Ternyata saya masih berguna bagi orang lain,” ujarnya.
Sejenak, Toyo bisa melepaskan beban yang dideritanya. Peristiwa yang dialaminya di Aceh awal tahun kemarin membuatnya geram sekaligus terpukul. ”Saya menuntut kasus pelecehan terhadap saya diselesaikan,” katanya.
Pada awal Maret lalu, Toyo kembali ke Aceh untuk memonitor kasusnya. Selama di Jakarta, ia juga melaporkan peristiwa yang dialaminya itu ke Markas Besar Polri.
Peristiwa itu terjadi pada awal Januari silam. Saat itu, pukul 21.30, Toyo usai mandi dan merebahkan tubuhnya di ranjang kamar kosnya yang terletak di atas kedai kopi Pesona di Desa Lamlagang, tiga kilometer utara Banda Aceh. Tiga bulan sudah alumnus Universitas Syiah Kuala, Aceh, asal Medan ini kos di situ. Sehari-hari ia bekerja di Yayasan Matahari, lembaga swadaya masyarakat yang aktif mengangkat isu seputar perempuan dan kaum minoritas.
Saat matanya hampir terpejam, pintu kamarnya diketuk orang. Bobby, demikian saja kita sebut ”kekasihnya” itu, datang. Toyo menyambut hangat. ”Kami lalu bermesraan,” katanya. Ketika itulah, pintu kamarnya didobrak dari luar. Dua pria, satu di antaranya dikenalnya sebagai pekerja kedai Pesona, merangsek masuk. Pria itu sebelumnya pernah ditegur Toyo lantaran memutar VCD di kamarnya tanpa izin.
Kedua pria itu langsung menghajar Bobby dan Hartoyo. Barang-barang di kamarnya diobrak-abrik. Lalu keduanya diseret turun. Di sana mereka juga menjadi sasaran amukan sejumlah orang. ”Rumah untuk mencari makan kau kotori,” ujar salah seorang menghujat.
Kedua gay berdiri gemetaran. Orang-orang yang mengerumuninya—dan juga memukulinya—berdebat bakal diapakan ”dua sejoli” itu. Dibawa ke kantor polisi atau dikirim ke waliyatul hisbah (WH) alias polisi syariah. ”Kalau ke WH kita malu karena nanti masuk koran,” ujar seseorang. Akhirnya mereka mengontak polisi. Sekitar pukul 01.30 dini hari, sejumlah polisi datang menjemput Hartoyo dan Bobby. Keduanya diangkut ke Polsek Banda Raya.
Nasib mereka ternyata bak lepas dari mulut harimau masuk mulut buaya. Mula-mula mereka diperintahkan menanggalkan semua baju dan tinggal bercelana kolor. Lalu, bak, buk..., sekitar tujuh polisi ramai-ramai menghajar keduanya hingga babak-belur.
Adegan berikutnya membuat keduanya syok. Mereka disuruh bertelanjang bulat. ”Barang kau kecil,” salah seorang mengejek Hartoyo. Lalu, seorang polisi menodongkan senjata laras panjangnya ke Hartoyo. Ia memerintahkan Hartoyo melakukan adegan syur dengan Bobby.
Penganiayaan itu baru berakhir menjelang pagi. Saat itu, keduanya disuruh berjongkok dan disemprot air. Lalu, episode ”pesta jahanam” para penegak hukum itu pun ditutup dengan perintah untuk Bobby agar, astaga, mengencingi kepala Hartoyo.
Baru keduanya kemudian dilempar ke dalam sel. Keduanya dilarang menghubungi siapa pun. Menjelang siang seorang rekannya di Yayasan Matahari datang. Polisi melepas Hartoyo dan Bobby setelah keduanya meneken surat pernyataan. Bunyinya, antara lain, ”Jika melakukan perbuatan itu sekali lagi, bersedia dituntut menurut hukum yang berlaku....”
PENGALAMAN seram yang dialami Hartoyo lantas meledak dan jadi buah bibir para aktivis LSM di Aceh. Para penggiat LSM menuntut Kepala Polda Aceh mengambil tindakan atas ulah aparat Polsek Banda Raya yang dianggap kelewat batas. Hartoyo juga melaporkan kasus ini ke Polda Aceh.
Kapolda Aceh Inspektur Jenderal Bachrumsyah Kasman langsung bereaksi. ”Saya akan mengusut kasus ini,” ujarnya. Beberapa hari setelah peristiwa itu, sejumlah polisi Polsek Banda Raya diperiksa. Menurut Kapolda, selain terancam sanksi pemecatan, mereka juga akan diajukan ke pengadilan umum. ”Sekarang tersangka penganiayaan itu sudah empat orang,” ujar Kepala Polisi Kota Besar Banda Aceh Komisaris Zulkarnaen.
Tapi rupanya ada masalah lain yang dihadapi Hartoyo. Berbeda dengan dirinya, Bobby rupanya emoh bersaksi. Bobby bahkan seperti lenyap dari Aceh. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Aceh, yang selama ini mendampingi kedua orang itu, kini kehilangan alamat Bobby. ”Kami kehilangan kontak dengan dia,” ujar Fuadi, pengacara LBH Aceh. Menurut Hartoyo, sejak meninggalkan Polsek Banda Raya, ”pacarnya” ini baru sekali meneleponnya. ”Dia mengancam mau bunuh diri kalau dipublikasikan,” kata Toyo.
Padahal Hartoyo membutuhkan keterangan Bobby. Juga polisi. Menurut Komisaris Zulkarnaen, polisi memerlukan keterangan Bobby untuk menguji silang pengakuan Toyo dan para polisi Polsek Banda Raya. ”Misalnya, pengakuan Hartoyo ketika diminta memperagakan bagaimana berhubungan,” kata Zulkarnaen. ”Padahal, menurut pengakuan aparat Polsek Banda Raya, mereka tidak pernah menyuruh hal itu,” sambung Zulkarnaen. Jika saksi yang dibutuhkan tak muncul, ujung cerita kasus ini bisa jadi bengkok.
LBH Aceh memang waswas jika kasus ini kelak mentok di meja hijau lantaran terbentur soal saksi. Di Lamlagang, sejumlah orang yang disebut Hartoyo menganiaya dirinya juga mengangkat bahu, menyatakan tak tahu apa pun soal penangkapan Hartoyo dan Bobby. Mustari A. Wahab, keuchik (kepala desa) Lamlagang, saat ditanya kasus ini hanya menjawab pendek. ”Masyarakat menjaga lingkungannya. Mereka menolak orang yang melanggar agama,” katanya. Mustari mengaku tak kenal Hartoyo.
Suara senada diucapkan Hanafiah, pemilik kedai kopi Pesona. Katanya, saat penggerebekan terhadap ”sejoli sesama jenis” itu, ia sedang di rumahnya. ”Rumah saya jauh dari warung dan saya tidak tahu apa-apa,” kata Hanafiah.
Jika semuanya menyatakan ”tidak tahu apa-apa”, yang dikhawatirkan Hartoyo bisa menjadi kenyataan. Kasus ini masuk ”lemari es” atau sekadar diproses dari sisi ”masalah indisipliner”. ”Berhenti di situ dan tidak berlanjut ke pengadilan,” ujarnya. Nyatanya, sampai kini ”pria kenes” ini belum mendapat panggilan apa pun lagi dari Polda Aceh.
Kurie Suditomo, Adi Warsidi (Banda Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo