Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dedy Djamaluddin Malik
DUKUNGAN Indonesia atas resolusi Dewan Keamanan PBB dalam kasus nuklir Iran telah menuai kecaman masif semua kalangan. Maka, wajar bila DPR RI menyambutnya dengan hak interpelasi, sebuah hak bertanya yang langsung harus dijawab Presiden. Saking sensitifnya isu ini, penanda tangan interpelasi—sepanjang sejarah DPR periode 2004–2009—mencapai jumlah tertinggi: 260-an. Apa alasan kawan-kawan DPR memakai hak interpelasi?
Pertama, dukungan Indonesia terhadap Resolusi 1747 atas nuklir Iran telah menyinggung rasa keadilan publik dan bersikap diskriminatif. Di balik alasan DK PBB menjatuhkan resolusi bukanlah karena Iran menutup informasi kepada Badan Atom Internasional, IAEA, melainkan karena sikap curiga dan permusuhan Amerika Serikat beserta sekutunya terhadap Iran.
Rasa permusuhan inilah yang kemudian membuat institusi PBB menjadi diskriminatif dan tidak adil terhadap salah satu anggotanya, Iran. Jadilah PBB alat hegemonik Barat untuk mengucilkan Iran. Bila alasannya Negeri Mullah itu menutup diri dari hak IAEA untuk tahu, Israel pun harusnya dapat sanksi PBB, sebab hingga sekarang Israel tidak membuka program nuklirnya kepada publik dunia. Tapi, Amerika dan sekutunya, juga PBB, tak mempersoalkannya karena Israel adalah sekutu dekat Amerika.
Kedua, dalam kondisi struktur global yang timpang, sebagaimana ditunjukkan dalam institusi PBB yang didominasi kepentingan Amerika, posisi Indonesia lebih memihak negara-negara adidaya yang bisa bertindak dengan menghalalkan segala cara, yakni menindas dan sering bertindak diskriminatif. Ketika posisi negara-negara berkembang atau terbelakang ”terancam” oleh kekuatan-kekuatan besar dan membutuhkan solidaritas dan dukungan semua pihak, justru peran dan posisi Indonesia tidak berada di kaum yang lemah.
Ketiga, sikap Indonesia yang mendukung Resolusi 1747 telah membuka jalan bagi usaha aneksasi Iran oleh negara anggota tetap PBB. Sekarang Angkatan Laut Amerika sudah mendekati Teluk, Inggris juga telah meningkatkan aktivitas militernya di daerah perbatasan Iran. Bayangkan bila Iran menjadi Irak kedua. Korban manusia akan berjatuhan, harta dan benda hancur. Maka, Indonesia harus siap bertanggung jawab secara moral, politik, dan kemanusiaan.
Keempat, dukungan Indonesia terhadap resolusi PBB juga tidak memperhatikan situasi kebatinan masyarakat muslim Indonesia. Ini terbukti dengan banyaknya reaksi para pemimpin Islam seperti KH Hasyim Muzadi dan Din Syamsuddin yang mewakili ormas-ormas Islam. Masyarakat muslim merasa terluka dengan sikap politik luar negeri kita yang tidak konsisten dan secara substansial keluar dari UUD 45 yang harus menjaga perdamaian dunia.
Kelima, sikap Indonesia yang mendukung PBB telah mengucilkan Iran yang punya hubungan kultural yang dekat dengan umat Islam Indonesia. Dan di tengah pengasingan itu, lewat dubesnya, Iran berkata lirih, ”Pemerintah Indonesia telah melukai badan dan hati kami.” Sungguh keluhan yang menyentuh rasa kemanusiaan kita.
Pertanyaannya, layakkah Indonesia masih disebut bertumpu pada politik bebas aktif? Ini secara substansial telah melanggar UUD 45 yang mengamanatkan: ”Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Interpelasi DPR yang sudah didukung 200 lebih anggota ingin menyatakan bahwa dukungan Indonesia terhadap resolusi PBB diduga telah melenceng dari substansi amanah UUD 45.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo