Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jarum itu bertabur bagai hujan. Tak beraturan. Duduk tenang, dengan posisi seperti meditasi, tangan kanan F.X. Harsono mendekap dada, tangan kiri menengadah di atas lutut. Matanya memejam. Bibirnya terkatup. Ia seolah merasakan rasa perih, nyeri dan menyerap kesakitan yang ada. Jarum itu menembus kupu-kupu.
Potret diri itu adalah sebuah pernyataan pribadi. F.X. Harsono, 58 tahun, selama ini dikenal sebagai perupa yang selalu merespons persoalan sosial secara satir. Karya-karya instalasinya berisi gugatan. Rentangnya luas dari masalah pembunuhan sampai pencemaran ekologi.
Masih ingat bagaimana suatu hari dalam sebuah performance pada 1998, ia berjalan ke Alun-Alun Utara Yogya membawa gergaji listrik. Layaknya birokrat. Pakaiannya necis. Mengenakan jas dan pantalon. Rambut kelimis. Tapi, seperti kalap dan muak, Harsono menggergaji dua kursi kayu dengan agresif. Pementasan itu begitu destruktif. Potongan kayu terlempar ke sana-sini.
Pameran bertajuk Titik Nyeri ini masih berbicara tentang masalah sosial. Namun terlihat ada peralihan pada karya terbaru Harsono. Ia tidak menyuarakan jeritan masyarakat di luar tapi lebih melongok dalam dirinya. Ia berbicara tentang rasa takut personal. Tentang trauma dirinya sebagai minoritas Tionghoa. Ini bukanlah sebuah persoalan yang tak baru, tetapi ia menyajikannya dengan halus.
Menurut Harsono, kesadaran itu muncul belakangan ini. ”Perasaan itu terpendam, saat Orde Baru,” katanya. Menurut dia, pada zaman lalu itu ia ingin mendahulukan tragedi-tragedi sosial. Karya pertamanya berhubungan dengan minoritas yang dipamerkan di CP Bienale Jakarta pada 2003. Saat itu ia menampilkan foto diri tubuhnya tergeletak, terbelah sebuah jarum.
Semua ini, menurut Harsono, ada hubungannya dengan masa kecilnya di Blitar, Jawa Timur. Ia lahir di sana dan berdiam di sebuah gang kecil bernama Gang Tjoe Tin. Di gang itu terdapat sekitar 22 rumah petak milik tuan tanah bernama Oei Tjoe Tin yang disewakan kepada keluarga keturunan Cina.
Harsono ingat, setiap hari menjelang sore, ia selalu dilanda rasa takut. Ia dan kawan-kawannya yang lain otomatis masuk rumah, tak berani bermain di luar karena anak pribumi kampung sebelah pada jam tersebut melalui kampung Tjoe Tin dan sering mengejek. ”Kami diolok-olok, Cina-Cina,” tuturnya. Harsono ingat, ia dan kawan-kawannya sering dilempari kerikil. Ia juga ingat bagaimana ia selalu waswas bila bersepeda melewati kampung sebelah. Perasaan ini, menurut Harsono, tak bisa terhapus, terbawa terus sampai masuk ke bawah sadar.
Tema inilah yang diolah dalam karya-karya terbarunya. Meski mengusung diskriminasi, Harsono sama sekali tak menampilkan idiom Tionghoa seperti atribut lampion, naga, atau dupa. Problem yang disajikan Harsono bukanlah pencarian identitas. ”Ini bukan masalah pencarian tradisi, saya sendiri sama sekali tak tahu budaya Cina.”
Yang menarik adalah bagaimana Harsono menjelajahi jarum sebagai simbol perasaan bahaya itu. Dalam karya-karyanya, Harsono dikenal sering menampilkan ”alat kekerasan”. Ia pernah menyuguhkan sepucuk senapan, rantai, pisau, gergaji, dan topeng-topeng terbakar hingga berhasil membawa pengunjung kepada suasana kegentingan yang konkret. Kali ini, meski Harsono menggunakan benda tajam, suasana yang muncul metaforik. Runcing jarum bergerak antara menyentuh dan tak menyentuh….
Tengok instalasi Ancaman yang merefleksikan tragedi pemerkosaan Mei. Ia menggantung sebuah manekin tanpa kepala bergaun pengantin putih. Di atas manekin itu Harsono menggantung 20 jarum besi yang besar, seolah jarum-jarum itu hendak melesat menghunjam. Namun berhenti mengawang, ujung lancipnya tak menyentuh sasaran. Justru karena itu, terciptalah sebuah efek dramatis.
Lihat karya lainnya yang menggunakan tawon dan kupu-kupu. Ratusan tawon kecil-kecil ditempel rapi di dinding, tubuhnya ditusuk serangkaian jarum pentul kecil. Ini juga dilakukan pada puluhan kupu-kupu yang sayapnya elok campuran kuning hitam. Tusukan yang begitu cermat pada makhluk-makhluk alit itu seolah menyimbolkan bagian hati terdalam yang teraniaya inci demi inci. Apakah itu Anda bayangkan sebagai ketidakberdayaan?
”Ya, itu lambang bagi minoritas yang rapuh, lemah untuk tindakan pelecehan,” kata Harry kepada Tempo.
Perhatikan juga bagaimana cara Harsono mempresentasikan dirinya sendiri dalam menghadapi jarum. Harsono menampilkan posisi meditasi. Pada kanvas lain ia menampilkan dirinya merentang tangan seperti sebuah salib. Posisi-posisi yang pasrah.
Ia mengakui banyak seniman masa kini yang bergumul dalam masalah identitas, menggunakan diri sendiri untuk titik tolak karya. Tersebutlah seniman Cina Fang Lijun, yang pernah datang ke Jakarta merefleksikan sisi gelap Cina. Ia malah menyajikan aneka ekspresi potret tertawa yang seolah menjadi katarsis atau terapi atas penderitaan.
Trauma Harsono agaknya tak dimanifestasikan ke arah itu. Ia malah memiliki gagasan untuk menusuk wajahnya sendiri dengan jarum. ”Saya bertanya pada novelis Putu Oka Sukanta, apabila muka saya ditusuk jarum, sakit atau tidak.” Putu Oka Sukanta adalah seorang akupunktur. Namun itu tidak diwujudkan oleh Harsono. Sebagai gantinya tiga buah patung kepala ditorehnya dengan jarum.
Sebelum mengadakan pameran ini, Harsono memotret berbagai pose dan ekspresi dirinya, mulai dari raut berang, berteriak, kecewa, sampai muak. Harsono melacak ulang reaksi kegamangan yang pernah ia alami. ”Tapi akhirnya yang saya pilih sikap yang rela atas kenyataan,” katanya . Sebuah ekspresi wajah yang sumeleh; menerima kesakitan yang mengeram dengan sikap tubuh dengan penghayatan doa. Ekspresi ini yang kemudian direka-reka dengan teknik cetak digital.
Pada 1998 Harsono mengeluarkan seri ”prangko” Republic Indochaos. Karya yang pernah dipamerkan di museum Singapura itu menyajikan kolase foto huru-hara dan korban militer. Dalam salah satu prangko ia menyelipkan doa Bapa Kami, Dan ampunilah kesalahan kami, seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami…. Ia mengaku saat itu dalam dirinya terjadi konflik antara perasaan kemarahan dan memaafkan.
Dalam pameran ini tak ada teks doa seperti itu. Kini karya Harsono lebih menonjolkan sebuah ”rasa pengampunan”.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo