Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jaksa main peras, itu sudah sering terdengar. Yang jarang terdengar adalah seorang jaksa pemeras kena batunya gara-gara korban melawan. Inilah yang terjadi pada Jaksa Syamsul Alam dari Kejaksaan Negeri Surabaya. Buntutnya, pekan lalu, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur M. Huzaini, atasan Syamsul, bertindak cepat. Setelah mendengar laporan pemerasan itu, dia memutasi Syamsul ke pos yang tidak menangani perkara. "Jaksa kayak gini enggak bisa dipercaya. Harus ditempatkan di tempat yang tidak banyak kasus dan tidak membahayakan," kata Huzaini.
Huzaini bertindak keras setelah mendengar laporan Andi Achmadi, korban pemerasan. Andi adalah terdakwa kasus penggelapan tanah. Pada 15 Maret 2004, aparat Kepolisian Resor Kota Surabaya menangkap Andi atas tuduhan menilap tanah milik Agus Bintoro senilai Rp 2 miliar. Polisi pun memproses kasus ini, lalu melimpahkan berkas perkaranya ke Kejaksaan Negeri Surabaya.
Gentar dengan ancaman hukuman yang bakal diterima, Andi berusaha main belakang dengan mengontak Jaksa Syamsul melalui seorang perantara. "Kebetulan, kami (Andi dan Syamsul) sama-sama dari Makassar. Siapa tahu mau bantu," kata Andi.
Tentu tak ada bantuan gratis, apalagi untuk urusan uang Rp 2 miliar. Jaksa Syamsul kemudian memasang "tarif bantuan" sebesar Rp 400 juta—seperlima uang yang digelapkan Andi. Terkejut mendengar ongkos yang begitu besar, apalagi dia tak punya uang, Andi hanya diam. Melihat Andi tak menjawab tawaran, Jaksa Syamsul menurunkan ongkos "bantuan" menjadi Rp 200 juta. Janjinya, kata Andi, dia akan langsung bebas setelah sidang. Pokoknya, akan diatur bahwa vonis akan sesuai dengan masa penahanan.
Masih merasa bahwa Rp 200 juta terlalu besar, Andi mencoba menawar ke angka Rp 75 juta. "Itu pun uang pinjaman teman," katanya. Ternyata Jaksa Syamsul setuju. Ia berjanji, Andi akan dituntut 10 bulan, dan putusannya 5 bulan penjara.
Sayang, janji tinggal janji. Ternyata, saat sidang pembacaan tuntutan, jaksa menuntut Andi hukuman 4 tahun penjara. Dan akhir Juli lalu, vonis hakim turun: Andi dihukum 3 tahun penjara, bukan 5 bulan penjara seperti janji Jaksa Syamsul.
Merasa ditipu, Andi pun memberontak. Ia mengirim surat ke Jaksa Agung Muda Pengawasan di kantor Kejaksaan Agung Jakarta, ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Kejaksaan Negeri Surabaya, dan beberapa media massa di Surabaya. Laporan inilah yang ditanggapi Kepala Kejaksaan Tinggi Huzaini. Ia segera menugasi Asisten Pengawasan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Dondy K. Soedirman, menyelidiki laporan itu. "Benar-benar keterlaluan si Syamsul. Jaksa kayak gini memang perlu dicopot," kata Huzaini.
Hanya dalam hitungan hari, Jaksa Syamsul dimutasi ke Seksi Pengawasan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Namun, saat Tempo mencari Jaksa Syamsul di tempat yang baru, mejanya kosong. "Ia tak pernah nongol," kata seorang staf sekretariat kantor Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Menurut Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya A.F. Darmawan, kasus Jaksa Syamsul kini sedang ditangani oleh Asisten Pengawasan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. "Jika ternyata Syamsul Alam tak terbukti memeras, dia akan dikembalikan ke Kejaksaan Negeri Surabaya. Tapi, jika terbukti, sanksinya terserah pimpinan," katanya. Syamsul sendiri berkali-kali membantah telah melakukan pemerasan. "Enggak benar saya memeras," katanya. Ketika Tempo menghubungi rumah Syamsul melalui telepon, seorang perempuan menyebut suaminya sedang tidur dan tak mau melayani wartawan.
Lain Surabaya, lain lagi yang terjadi di Kediri. Di kota tahu ini, tuduhan melakukan pemerasan jatuh ke Ketua Pengadilan Negeri Kediri Nuzuardi. Adalah Slamet Riyadi alias Sie Phin Tjing yang melaporkan Hakim Nuzuardi kepada Ketua Muda Bidang Pengawasan Mahkamah Agung karena merasa diperas. Dalam laporannya, Slamet, 53 tahun, menyebut Nuzuardi memerasnya senilai Rp 38 juta. Uang sebesar itu, kata Slamet, untuk tiket pesawat, renovasi rumah, dan proses kepindahan Nuzuardi dari Garut, Jawa Barat, ke Kediri, Jawa Timur.
Sudiman Sidabuke, kuasa hukum Slamet, menyebut bahwa kasus ini berawal dari tuduhan korupsi terhadap kliennya. Alkisah, 11 tahun silam, Slamet dengan bendera perusahaan PT Maju Rubber Industri mendapat kredit Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Kediri sebesar Rp 140 miliar. Belakangan, pembayaran kredit macet. BRI kemudian melaporkan Slamet ke lembaga penyelesaian utang dan piutang negara (PUPN) Malang.
Belum lagi selesai urusan antara Slamet dan PUPN, Kejaksaan Negeri Kediri campur tangan. Aset Slamet senilai Rp 140 miliar berupa mesin dan sebelas kendaraan disita. Kejaksaan juga menyita mesin lain yang tak ikut dijaminkan. Tidak hanya itu. Slamet dan Kepala BRI Kediri, Ukar, diseret menjadi tersangka kasus korupsi.
Merasa dirugikan, Slamet memperkarakan "kelebihan" penyitaan itu dengan menggugat kejaksaan secara perdata ke Pengadilan Negeri Kota Kediri. Pengadilan kemudian memerintahkan agar kejaksaan mengembalikan aset Slamet yang disita. Tapi kejaksaan menolak. Saat proses hukum berjalan, aset Slamet yang masih dalam sitaan kejaksaan dinyatakan hilang dicuri orang.
Belum lagi perkara kehilangan ini tuntas, kejaksaan kembali menahan Slamet. Berkas Slamet kemudian dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri. Pelimpahan perkara inilah yang kemudian dipersoalkan Sudiman, kuasa hukum Slamet. Sudiman beralasan, pelimpahan itu tidak sah karena semua kejadian berlangsung di wilayah hukum PN Kota Kediri, bukan PN Kabupaten Kediri. Sudiman kemudian mengajukan eksepsi dan majelis hakim mengabulkannya. Apa lacur, meski hakim memenangkan Slamet, kejaksaan tetap tak mau mengembalikan aset yang disita.
Slamet pun menggugat kejaksaan. Di pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding, Slamet menang. Hakim kemudian memerintahkan agar kejaksaan mengembalikan barang-barang Slamet yang disita plus ganti rugi. Sedangkan dalam kasus pidana korupsinya sendiri, Slamet dihukum 9 bulan penjara.
Atas vonis itu, Slamet naik banding, dan diterima Pengadilan Tinggi Jawa Timur. Artinya, Slamet bebas dari kasus korupsi. Begitu pun, kejaksaan tetap tak mau menyerahkan aset yang disita. Belakangan, aset itu malah diserahkan ke Bringin Life Insurance. Alasannya, Slamet punya utang kepada perusahaan tersebut.
Waktu terus berjalan. Pada akhir Desember 2003, Ketua PN Kediri berganti dari Madya ke Nuzuardi. Slamet kemudian berupaya "melobi" Ketua PN Kediri yang baru. Tentu dia berharap dengan lobi ini perkaranya segera beres dan asetnya yang disita kejaksaan bisa kembali.
Lagi-lagi, tak ada bantuan gratis. Menurut Slamet, ia harus "menyervis" Nuzuardi sebesar Rp 38 juta. Uang itu, kata Slamet, untuk tambahan biaya proses perpindahan Nuzuardi dari Garut ke Kediri, termasuk biaya menginap di hotel, dan sebagainya. "Semua rincian pengeluaran itu plus bukti pembelian ada," kata Sudiman.
Uang telanjur keluar, nyatanya aset Slamet tak kunjung kembali. Merasa ditipu, Slamet mengadu ke Mahkamah Agung. "Tapi hingga saat ini juga belum ada tanggapan," kata Sudiman. Nuzuardi sendiri sudah membantah menerima uang dari Slamet. "Demi Allah, Mas, saya tidak pernah menerima sepeser pun," katanya kepada Tempo.
Ia mengaku memang pernah bertemu dengan Slamet di Hotel Novotel Surabaya. Saat itu, ia dikenalkan oleh Kepala Panitera PN Kediri, Catur Wahyu. "Karena saya baru pindah tugas dari PN Garut ke PN Kediri, saya tak tahu kalau Slamet lagi tersandung masalah. Setahu saya, dia pengusaha," ujar Nuzuardi. Setelah itu, kata Nuzuardi, ia tak pernah lagi bertemu dengan Slamet. "Cuma sekali bertemu dan saya tak pernah menerima uangnya," katanya.
Fenomena korban "menyanyi" karena dirugikan aparat penegak hukum, menurut advokat senior Trimoelja D. Soerjadi, hanyalah pucuk gunung es. "Karena praktek-praktek negatif seperti itu dianggap sudah biasa," kata Trimoelja.
Nah, untuk memberantas praktek miring para aparat penegak hukum, menurut Trimoelja, atasan mereka harus memberikan teladan. "Atasan juga harus bersih," ujarnya. Agar mereka jera, kata pembela dalam kasus terbunuhnya Marsinah ini, hukuman seharusnya bukan hanya sanksi administratif berupa mutasi atau pemecatan. "Mereka juga harus diseret ke pengadilan dan dihukum."
Jika sang "pagar" dihukum, tentu saja si "tanaman" yang mencoba-coba menyuap harus pula dihukum.
Ahmad Taufik, Sunudyantoro, Kukuh S. Wibowo, Dwidjo U. Maksum (Jawa Timur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo