Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAJAH tirus Agian Isna Nauli Siregar, 33 tahun, kosong tanpa ekspresi. Sebuah selang untuk mengalirkan makanan dipasang ke lubang hidung kirinya. Saat Tempo menjenguknya di Unit Pelayanan Khusus Stroke (UPKS) Suparjo Rustam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Kamis lalu, pupil matanya terlihat sempat bereaksi terhadap cahaya. Suaminya, Panca Satrya Hasan Kesuma, yang mencoba mengajaknya bicara, hanya mendapat respons suara-suara tak jelas dari mulutnya. Agian berada dalam kondisi vegetative state, kondisi mirip tumbuhan yang hanya bisa melakukan respons bila ada stimulus.
Kamis itu, Agian persis 27 hari tergolek di UPKS Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Sebelumnya, selama 38 hari ia dirawat di Rumah Sakit PMI Bogor. Ia terkena serangan stroke akibat hipertensi yang menyebabkan kerusakan batang otak, saraf otak, serta otak bagian kiri dan kanan. ”Untuk bisa mengenali saya lagi, paling tidak butuh waktu 6-12 bulan. Tak tega saya melihatnya,” ujar Hasan, yang menikahi Agian sepuluh tahun silam. Menurut dia, biaya rawat inap dan obat-obatan di rumah sakit pelat merah itu setiap harinya sekitar Rp 1 juta. ”Saat ini saya sudah berutang sekitar Rp 60 juta,” ia menambahkan.
Atas dasar faktor-faktor itulah Hasan, sebagai warga Bogor, mengajukan usulan di depan anggota DPRD Bogor agar istrinya disuntik mati (eutanasia) oleh negara, Jumat dua pekan silam. ”Kalau hak hidup istri saya sudah tak bisa dijamin oleh negara, lebih baik ia tak menderita berkepanjangan,” ujar Hasan, yang mendapat dua anak dari Agian, yaitu Ditya Putera Mahardhika, 9 tahun, dan Raygie Attila Nurullah Kesuma, yang lahir pada 20 Juli 2004. Proses kelahiran Raygie lewat operasi caesar yang dilakukan pihak Rumah Sakit Islam Bogor itulah yang diyakini Hasan sebagai awal penderitaan istrinya (lihat Dia Tak Pernah Koma).
Usulan ”mencabut nyawa” istri tentu saja bukan usulan biasa. Maka, soal ini pun segera bergulir menjadi isu kontroversial. Maklum, dunia kedokteran Indonesia selama ini tak mengenal konsep yang berasal dari gabungan dua kata Yunani itu (eu-thanatos, secara harfiah: kematian yang mudah dan anggun).
Sejauh ini hanya Belanda yang secara terbuka melakukan praktek eutanasia dengan mendefinisikannya sebagai ”penghentian hidup secara sengaja oleh orang lain atas permintaan yang jelas (eksplisit) dari orang yang ingin mati itu” (Netherlands State Commission on Euthanasia). Artinya, eutanasia harus diminta oleh penderita, paling tidak melalui surat wasiat, dan bukan oleh orang lain meski dari keluarga sekalipun. Batasan ini jelas diterapkan karena bukan tidak mungkin si penderita sebetulnya tak ingin hidupnya diakhiri. ”Lain ceritanya kalau si penderita sadar. Misalnya penderita kanker akut dan dia merasakan sakit luar biasa, dia bisa minta eutanasia,” kata ahli saraf Salim Haris.
Jika kondisi penderita tidak lagi punya harapan hidup, misalnya karena batang otaknya sudah mati, tutur Salim Haris, dokter harus menginformasikan hal itu kepada keluarganya. Dengan demikian, keluarga diberi pilihan apakah akan meneruskan pengobatan atau menyetopnya. Istilah ini disebut kontrak. Jika pilihannya adalah menyetop, pemberian obat-obatan kepada pasien akan diturunkan sehingga jantungnya bekerja sendiri dan lama-lama akan berhenti.
Menurut ahli forensik dan eutanasia Budi Sampurno, ada dua tipe eutanasia, yakni eutanasia aktif dan eutanasia pasif. Yang pertama dilakukan dengan sengaja melalui suatu tindakan agar pasien meninggal. Sedangkan yang kedua tidak dilakukan tindakan apa pun sampai pasien itu meninggal dunia. ”Keduanya tidak diperbolehkan di Indonesia,” ujar Budi tegas.
Tapi, pandangan berbeda disampaikan oleh ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji. Ia menyarankan agar keluarga Hasan mengajukan permintaan untuk eutanasia ke kantor pengadilan negeri setempat. Artinya, bila pengadilan negeri setempat menyetujui saran itu, tindakan eutanasia secara legal bisa dilakukan.
Dukungan serupa dilontarkan Iskandar Sitorus, Ketua LBH Kesehatan, yang akan menurunkan delapan orang pengacara untuk membantu Hasan. ”Hasan membongkar hal-hal yang tidak diatur oleh negara. Selama permintaan itu masih belum dijawab, berarti ada pembiaran,” katanya. Iskandar mengaku tidak bisa menerima logika kalangan yang berpendapat bahwa, bila eutanasia dilakukan, berarti terjadi pelanggaran pidana berupa penghilangan nyawa yang dilakukan oleh Hasan. ”Di mana logikanya?” ujar Iskandar. ”Wong, dia meminta negara yang melakukan suntik mati itu. Berarti bukan dia yang melakukan penghilangan nyawa, kan?”
Bagaimana bila DPRD Bogor tak menerima permintaan Hasan? ”Maka, seharusnya presiden lebih berani mengambil inisiatif,” ujarnya tegas.
Konon, menurut pengakuan Hasan sendiri, bahkan dalam keadaan gering seperti sekarang, istrinya tetap melaksanakan haknya sebagai warga negara dengan memilih pada pemilu putaran kedua 20 September lalu, ketika petugas TPS keliling di lingkungan RSCM menghampiri istrinya. Siapa yang menusuk? ”Saya sendiri. Tapi saya kan tahu keinginan istri saya,” kilah Hasan, yang memilih Susilo Bambang Yudhoyono. Agak jauh panggang dari api, memang, bagaimana logika penggunaan hak suara itu berdampak pada harus ikut bertanggungjawabnya seorang presiden (baru) pada tindakan medis seperti eutanasia.
Yang jelas, peluang untuk melakukan eutanasia itu sudah ditampik oleh Ketua Ikatan Dokter Indonesia, Farid Anfasa Moeloek, dengan mengedepankan rambu-rambu legal seperti KUHP atau sumpah dokter yang spiritnya lebih pada keinginan untuk mengobati dan menyembuhkan. ”Tinggal kesabaran dari pihak keluarga dan kasih sayang suaminya,” kata Moeloek.
Akmal Nasery Basral, Eni Saeni, Muhamad Fasabeni, Danto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo