AJARANNYA bernama Tarekat Samaniyah Qudri Khalwatiyah. Kejaksaan
di Medan kini melarangnya. Bahkan guru besarnya, Ibnu Kaster
Azhar Sagala (47 tahun), ditangkap karena dituduh melanggar
Undang-Undang Perkawinan: mengawini gadis di bawah umur. Tuduhan
bisa makin gawat lagi.
Apalagi menurut Agus Salim Nasution, Kepala Seksi PAKEM
(Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) Kejaksaan Tinggi
Sum-Ut, "tarekat ajaran Ibnu Kaster itu menyesatkan umat Islam."
Misalnya, kata Agus Salim minggu lalu, Ibnu Kaster mengaku
"Mahdi." Mengaku menerima wahyu dari Tuhan, kepada 300-an
pengikutnya Sang Mahdi meramalkan, dunia segera kiamat.
Dan hanya Ibnu yang bisa menyelamatkan para pengikutnya dengan
jalan memberinya "hikmah". Caranya mudah saja setiap hari
mereka bergantian menciumi tengkuk, tangan, pusar serta telapak
kaki Ibnu Kaster. Maka rumahnya di Desa Telukbakung, 60-an km
dari Medan, setiap lepas Maghrib ramai dikunjungi orang-orang
yang mempercayainya. Hal itu sudah berjalan aman selama 10
tahun.
Sampai awal Februari lalu, Ramingan (48 tahun), petani dari Desa
Tanjungselamat, mengadukan guru tarekat itu kepada polisi.
Soalnya, anak gadis Ramingan yang menuntut ilmu kepada sang
guru, kena noda.
Sejak enam bulan lalu, Nuraini (14 tahun), indekos di rumah Ibnu
Kaster melanjutkan sekolah SMP di kata itu. Dua teman
sekelasnya, Fatmawati dan Armawati, juga mondok di situ. Siti
Rabiyah (47 tahun), istri Ibnu, adalah guru bahasa Inggris
mereka di sekolah.
Di sekolah itu pula, SMP Negeri Tanjungpura, Ibnu Kaster sebagai
wakil direktur. Dia memang orang disegani di kota kecil itu.
Lelaki yang senang berpakaian necis ini, kuliah di Fakultas
Ushuluddin, Universitas Alwasliyah, di Pangkalanbrandan (kota
kecamatan tak jauh dari Tanjungpura), pernah pula menuntut ilmu
Tarekat dari Kiai Mansyur di Lubukpakam (Deli Serdang).
Atas saran pamannya, murid tarekat Ibnu Kastr, Nuraini juga
belajar tarekat. "Harapan paman agar saya jadi perempuan
terdidik," kata Nuraini berkisah kemudian.
Maka setiap usai salat Maghrib, bersama murid-murid lainnya
yang menyesaki rumah berukuran 5 x 12 meter itu, Nuraini
berzikir 180 kali. Acara dilanjutkan menciumi bagian-bagian
tubuh sang guru. Anehnya, seperti diakui Nuraini, "pusar guru
itu berbau harum." Terkadang, acara diisi berbagai petuah.
misalnya bila sang Mahdi baru kedatangan wahyu.
Pagi hari, 12 Desmber tahun kemarin. Nuraini siap berangkat ke
sekolah. Tiba-tiba sang guru memanggil lewat seorang pembantunya
bernama Syafrul. Gadis itu pun menghadap -- seperti biasa harus
pakai kain sarung dan tutup kepala. Di loteng rumah, tempat
biasa zikir, Ibnu Kaster menunggu. Duduk bersimpuh di atas
permadani kuning, berjubah warna merah hati, guru itu, seperti
kata Nuraini kepada TEMPO, "nampak berwibawa sekali."
Mereka hanya berdua di situ. Setelah duduk bersimpuh, sang guru
menyuruhnya memejamkan mata. Ketika itulah ia mendengar suara
mantera dibisikkan. Tiba-tiba saja Nuraini merasa ingin menikah
dengan guru itu. Entah mengapa, tapi itulah cerita si Nur, dia
menurut ketika tangan kanannya digenggam. Juga ketika disuruh
ikut melafalkan apa yang dibacakan Guru Ibnu. "Selesai. Kita
sudah melakukan nikah batin," kata Ibnu tiba-tiba sambil
melepaskan tangan muridnya.
"Sepuluh tahun belajar tarekat, baru kali ini aku temui murid
suci seperti kau," kata Ibnu seperti diceritakan Nuraini.
Nuraini tak mengerti dan bingung apa yang dimaksud nikah batin.
Habis "upacara" dia bergegas ke sekolah. Terlambat -- padahal
hari itu ujian. Payahnya lagi, katanya, wajah Ibnu Kaster
terbayang-bayang terus. Sampai di sini belum apa-apa. Toh
dirumah, walau sudah jadi "istri batin" sang guru, Nuraini tidur
sendiri.
Tapi seminggu kemudian, Ibnu cekcok dengan istrinya. Rabiyah
mudik ke rumah orang tuanya di Lubukpakam. Pukul 24.00 Nur
dipanggil guru ke loteng "Aku gila menikahi kau, tapi ini
perintah Tuhan," kata Ibnu. Gadis berkulit kuning dan terkenal
sebagai bunga SMP Tanjungpura itu masih bingung. Tapi semuanya
terjadi malam itu.
Seminggu kemudian, lewat orang kepercayaannya, Ibnu mengirim
surat kepada ayah Nuraini di desa. Isinya melamar Nuraini.
Ramingan terkejut. Tapi lebih banyak curiga. Sebab dalam surat
dikatakan pernikahan wajib dilaksanakan karena wahyu. Ayah itu
lalu ke kantor polisi.
Sepasukan polisi dibantu anggota Koramil hendak menangkapnya.
Ibnu Kaster membangkang. Wahyu, katanya, melarang dia turun dari
loteng selama enam bulan. Tapi petugas mana mau tahu? Dengan
paksa mereka menyeretnya turun.
Di rumah penjara Tanjungpura, Ibnu berkata kepada TEMPO: "Saya
tak mau buka mulut. Apa pun saya bilang, masyarakat sudah
menghukum saya. Tunggu sajalah pengadilan."
Nyonya Siti Rabiyah menyesal. Gara-gara ia minggat dari rumah,
katanya. musibah terjadi. Nyonya itu menyalahkan para murid
suaminya, yang katanya menghasut, sehingga rumah tangganya
berantakan. "Murid-murid bapak benci pada saya," katanya.
Mengapa? Boleh jadi, karena dia suka pakai celana ketat dan
merokok, tak cocok menjadi "Ummi" (panggilan untuk nyonya
pemimpin tarekat itu).
Murid-murid itu, katanya lagi, berhasil mempengaruhi guru untuk
mencari ummi baru. "Saya kena kup dan terpaksa minggat dari
sini," kata sang nyonya. Setelah suaminya masuk bui dan
perguruan tarekatnya dilarang, semua murid menghilang. "Mereka
takut ditangkap," kata Siti Rabiyah, nyonya beranak lima itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini