KORAN Mandala (Bandung) mendadak laris. Harga ecerannya naik
dari Rp 125 menjadi Rp 500. Orang sengaja mencarinya karena
berita penyerangan kantor Komando Sektor Kepolisian Kota
(Kosekta) 8606 di Cicendo, Bandung.
Penyerbuan oleh sekelompok orang bersenjata api itu menewaskan
tiga anggota Polri. Di Bandung hanya koran hanya koran
itulah yang memberitakannya pada 1 Maret. Sementara di Medan
hanya Sinar Indonesia Baru (SIB) yang menyiarkannya. Juga
laris.
Tapi di Jakarta tak satu pun koran berani memberitakan
penyerangan (pukul 01.00, 11 Maret) atas Kosekta Cicendo, karena
Kopkamtib sehari sebelumnya memberikan keterangan off the
record. Pangkopkamtib Laksamana Sudomo meminta pers menunda
memberitakannya untuk memberi kesempatan aparat keamanan melacak
dengan baik.
Tentu saja kedua koran itu dianggap lancang. Akibatnya, sesudah
menerima laporan Kopkamtib, Sukarno SH, Dirjen Pembinaan Pers
dan Grafika, melayangkan peringatan keras terakhir kepada
keduanya. Mandala dan SIB disebutnya melanggar Pasal 5 Kode
Etik Jurnalistik -- soal berita off the record. Dan karena
pemberitaan di kedua koran itu, demikian Laksamana Sudomo,
operasi pengejeran terhadap kelompok penyerang terpaksa
dihentikan dan diubah.
Krisna Harahap SH, 39 tahun, Pemimpin Redaksi Mandala, pekan
lalu "dipinjam" Laksusda Jawa Barat untuk ditanya. Ia baru saja
lulus penataran P-4 di Bandung, bahkan termasuk sepuluh
terbaik. Ia berpendapat bahwa kalau peristiwa tersebut tidak
ditulis, masyarakat akan tetap mengetahuinya, "malah akan
menimbulkan desas-desus yang mcrugikan." Dengan anggapan itu,
rapat redaksi Mandala rupanya memutuskan memuat berita
penyerangan Kosekta Cicendo yang diketahuinya benar terjadi.
Himbauan Kopkamtib, katanya, belum terdengar waktu itu.
SIB menerima laporan konferensi pers Laksamana Sudomo -- yang
off the record -- tentang peristiwa itu berikut foto dari
korespondennya di Jakarta. Gerhard Mulia Panggabean, 52 tahun,
Pemimpin Redaksinya, beranggapan bahwa kejadian tersebut boleh
dimuat. Sesungguhnya aparat keamanan setempat sudah
memperingatkan agar ia tidak menyiarkannya.
Sebelum suatu peristiwa sempat disiarkan pers, seperti
penyerangan Kosekta Cicendo, Kopkamtib segera menyelenggarakan
konperensi pers. Segala penjelasan di situ biasanya tidak untuk
disiarkan.
Walau Mandala dan SIB jelas hanya menyajikan fakta, Kopkamtib
tetap berang. Laksamana Sudomo bahkan menganggap kedua koran itu
telah membocorkan rahasia militer.
Anggapan demikian tentu masih bisa diperdebatkan. Sebelum
peristiwa Kosekta Cicendo, pemberitaan pers juga pernah
dilarang atas pembunuhan massal di Jember dan kerusuhan rasial
di Solo dan Semarang. Kopkamtib mengaitkan pemberitaan semacam
itu dengan masalah SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan).
Bila suatu peristiwa dilihat dengan pendekatan keamanan, sering
pers takut menuliskannya.
Yang sering jadi soal, adakalanya pers dianggap membahayakan
keadaan bila memuat suatu peristiwa 'rawan'. Laksusda Sumatera
Utara, misalnya, pernah melarang koran setempat menyiarkan
kejadian terbunuhnya seorang pencuri getah karet di Kabupaten
Deli Serdang tahun lalu. Masalahnya dianggap sangat rawan karena
pencuri itu ditembak oknum ABRI yang menjaga perkebunan itu.
Aturan Main
Sensur preventif semacam itu sudah biasa buat pers Indonesia.
Dalam diskusi lasalah Kebebasan Pers Indonesia yang
diselenggarakan TEMPO (11 Maret), soal itu jadi perhatian Prof.
Oemar Seno Adji SH. Bekas Ketua Mahkamah Agung itu berpendapat
sesungguhnya pemerintah (Kopkamtib) tidak boleh melakukan sensur
preventif terhadap suatu pemberitaan. Hal itu jelas dipaparkan
dalam Pasal 4 UU Pokok Pers No. 11 tahun 1966.
Tapi aparat keamanan sesungguhnya sering mengajak pers Indonesia
melakukan sensur preventif dalam menangani peristiwa rawan. Pers
Inggris, misalnya, punya aturan main untuk hal itu, disebut
Defence notice arrangement. Dengan pegangan aturan di bidang
keamanan itu, pihak departemen pertahanan sering meminta pers
Inggris, antara lain, untuk tidak menyiarkan suatu kejadian yang
menyangkut rahasia militer.
Pers di Amerika Serikat juga punya semacam kode etik demikian
sekalipun tidak dijabarkan dalam bentuk D-notice arrangement.
Dalam beberapa peristiwa yang menyangkut rahasia militer aturan
main itu sudah terbukti efektif. Mendiang Presiden John Kennedy,
misalnya, pernah (1961) berhasil meminta wartawan setempat
supaya tidak menyiarkan rencana penyerbuan pasukan anti-Castro
ke Kuba. Invasi lewat Teluk Babi (Bay of Pigs) itu direncanakan
oleh CIA dan gagal.
Tapi pers AS pernah juga tidak tunduk pada permintaan Departemen
Pertahanan, ketika diam-diam Washington merencanakan mengangkat
kapal selam nuklir Soviet yang tenggelam di dasar suatu
lautan. Pers AS menganggap operasi Glomar Explorer -- nama kapal
milik jutawan almarhum Howard Hughes yang dipakai untuk itu --
tidak termasuk klasifikasi rawan. Anggapan itu semakin kuat
ketika Soviet tidak memberikan reaksi atas operasi itu setelah
disiarkan pers AS.
Bagaimana pers Indonesia? Tanpa pegangan semacam D-notice
arrangement, aparat keamanan di pusat dan daerah sudah sering
meminta pers menahan diri. Sedang pers Indonesia sering
bersikap sebagai pendengar dan patuh saja. Maklumlah.
Sementara itu sehubungan dengan peristiwa peneguran SIB dan
Mandala, PWI (21 Maret) mengeluarkan Pernyataan Keprihatinan. Di
situ PWI menyesalkan tindakan kedua anggotanya yang tidak
menghormati pesan off the record (tidak untuk disiarkan).
Selanjutnya PWI juga menghimbau pers agar menaati Kode Etik
Jurnalistik dan menjunjung tinggi keterangan off the record
maupun background info yang dikeluarkan sumber berita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini