Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Yang laris setelah dihimbau

Koran mandala & sinar indonesia baru mendapat peringatan keras dari dirjen ppg karena memuat berita yang berdasarkan keterangan off-the-record dari kopkamtib mengenai peristiwa cicendo. (md)

28 Maret 1981 | 00.00 WIB

Yang laris setelah dihimbau
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KORAN Mandala (Bandung) mendadak laris. Harga ecerannya naik dari Rp 125 menjadi Rp 500. Orang sengaja mencarinya karena berita penyerangan kantor Komando Sektor Kepolisian Kota (Kosekta) 8606 di Cicendo, Bandung. Penyerbuan oleh sekelompok orang bersenjata api itu menewaskan tiga anggota Polri. Di Bandung hanya koran hanya koran itulah yang memberitakannya pada 1 Maret. Sementara di Medan hanya Sinar Indonesia Baru (SIB) yang menyiarkannya. Juga laris. Tapi di Jakarta tak satu pun koran berani memberitakan penyerangan (pukul 01.00, 11 Maret) atas Kosekta Cicendo, karena Kopkamtib sehari sebelumnya memberikan keterangan off the record. Pangkopkamtib Laksamana Sudomo meminta pers menunda memberitakannya untuk memberi kesempatan aparat keamanan melacak dengan baik. Tentu saja kedua koran itu dianggap lancang. Akibatnya, sesudah menerima laporan Kopkamtib, Sukarno SH, Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika, melayangkan peringatan keras terakhir kepada keduanya. Mandala dan SIB disebutnya melanggar Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik -- soal berita off the record. Dan karena pemberitaan di kedua koran itu, demikian Laksamana Sudomo, operasi pengejeran terhadap kelompok penyerang terpaksa dihentikan dan diubah. Krisna Harahap SH, 39 tahun, Pemimpin Redaksi Mandala, pekan lalu "dipinjam" Laksusda Jawa Barat untuk ditanya. Ia baru saja lulus penataran P-4 di Bandung, bahkan termasuk sepuluh terbaik. Ia berpendapat bahwa kalau peristiwa tersebut tidak ditulis, masyarakat akan tetap mengetahuinya, "malah akan menimbulkan desas-desus yang mcrugikan." Dengan anggapan itu, rapat redaksi Mandala rupanya memutuskan memuat berita penyerangan Kosekta Cicendo yang diketahuinya benar terjadi. Himbauan Kopkamtib, katanya, belum terdengar waktu itu. SIB menerima laporan konferensi pers Laksamana Sudomo -- yang off the record -- tentang peristiwa itu berikut foto dari korespondennya di Jakarta. Gerhard Mulia Panggabean, 52 tahun, Pemimpin Redaksinya, beranggapan bahwa kejadian tersebut boleh dimuat. Sesungguhnya aparat keamanan setempat sudah memperingatkan agar ia tidak menyiarkannya. Sebelum suatu peristiwa sempat disiarkan pers, seperti penyerangan Kosekta Cicendo, Kopkamtib segera menyelenggarakan konperensi pers. Segala penjelasan di situ biasanya tidak untuk disiarkan. Walau Mandala dan SIB jelas hanya menyajikan fakta, Kopkamtib tetap berang. Laksamana Sudomo bahkan menganggap kedua koran itu telah membocorkan rahasia militer. Anggapan demikian tentu masih bisa diperdebatkan. Sebelum peristiwa Kosekta Cicendo, pemberitaan pers juga pernah dilarang atas pembunuhan massal di Jember dan kerusuhan rasial di Solo dan Semarang. Kopkamtib mengaitkan pemberitaan semacam itu dengan masalah SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan). Bila suatu peristiwa dilihat dengan pendekatan keamanan, sering pers takut menuliskannya. Yang sering jadi soal, adakalanya pers dianggap membahayakan keadaan bila memuat suatu peristiwa 'rawan'. Laksusda Sumatera Utara, misalnya, pernah melarang koran setempat menyiarkan kejadian terbunuhnya seorang pencuri getah karet di Kabupaten Deli Serdang tahun lalu. Masalahnya dianggap sangat rawan karena pencuri itu ditembak oknum ABRI yang menjaga perkebunan itu. Aturan Main Sensur preventif semacam itu sudah biasa buat pers Indonesia. Dalam diskusi lasalah Kebebasan Pers Indonesia yang diselenggarakan TEMPO (11 Maret), soal itu jadi perhatian Prof. Oemar Seno Adji SH. Bekas Ketua Mahkamah Agung itu berpendapat sesungguhnya pemerintah (Kopkamtib) tidak boleh melakukan sensur preventif terhadap suatu pemberitaan. Hal itu jelas dipaparkan dalam Pasal 4 UU Pokok Pers No. 11 tahun 1966. Tapi aparat keamanan sesungguhnya sering mengajak pers Indonesia melakukan sensur preventif dalam menangani peristiwa rawan. Pers Inggris, misalnya, punya aturan main untuk hal itu, disebut Defence notice arrangement. Dengan pegangan aturan di bidang keamanan itu, pihak departemen pertahanan sering meminta pers Inggris, antara lain, untuk tidak menyiarkan suatu kejadian yang menyangkut rahasia militer. Pers di Amerika Serikat juga punya semacam kode etik demikian sekalipun tidak dijabarkan dalam bentuk D-notice arrangement. Dalam beberapa peristiwa yang menyangkut rahasia militer aturan main itu sudah terbukti efektif. Mendiang Presiden John Kennedy, misalnya, pernah (1961) berhasil meminta wartawan setempat supaya tidak menyiarkan rencana penyerbuan pasukan anti-Castro ke Kuba. Invasi lewat Teluk Babi (Bay of Pigs) itu direncanakan oleh CIA dan gagal. Tapi pers AS pernah juga tidak tunduk pada permintaan Departemen Pertahanan, ketika diam-diam Washington merencanakan mengangkat kapal selam nuklir Soviet yang tenggelam di dasar suatu lautan. Pers AS menganggap operasi Glomar Explorer -- nama kapal milik jutawan almarhum Howard Hughes yang dipakai untuk itu -- tidak termasuk klasifikasi rawan. Anggapan itu semakin kuat ketika Soviet tidak memberikan reaksi atas operasi itu setelah disiarkan pers AS. Bagaimana pers Indonesia? Tanpa pegangan semacam D-notice arrangement, aparat keamanan di pusat dan daerah sudah sering meminta pers menahan diri. Sedang pers Indonesia sering bersikap sebagai pendengar dan patuh saja. Maklumlah. Sementara itu sehubungan dengan peristiwa peneguran SIB dan Mandala, PWI (21 Maret) mengeluarkan Pernyataan Keprihatinan. Di situ PWI menyesalkan tindakan kedua anggotanya yang tidak menghormati pesan off the record (tidak untuk disiarkan). Selanjutnya PWI juga menghimbau pers agar menaati Kode Etik Jurnalistik dan menjunjung tinggi keterangan off the record maupun background info yang dikeluarkan sumber berita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus