Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Setelah bercerai, Aelyn Halim tidak pernah bisa bertemu lagi dengan putrinya.
Pengadilan telah memutuskan hak asuh anak diberikan kepada Aelyn Halim.
Putusan pengadilan seperti tidak memiliki kekuatan.
SETELAH bercerai, Aelyn Halim nyaris tidak pernah bertemu dengan putri semata wayangnya. Buah hatinya itu dibawa oleh mantan suaminya meski pengadilan telah memutuskan hak asuh anak berada di tangan Aelyn. “Saya tidak lagi tahu kondisi AG (anaknya) saat ini," ujar Aelyn melalui sambungan telepon, 7 Maret 2024. Mantan suami dan keluarganya benar-benar telah memutus akses komunikasi antara Aelyn dan putrinya. “Benar-benar tidak boleh bertemu.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aelyn pernah berupaya menemui anaknya beberapa kali, tapi selalu dihalang-halangi. Begitu juga ketika dia ingin sekadar mengantar makanan kesukaan putrinya itu. Bahkan Aelyn pernah dilaporkan ke polisi oleh si mantan suami atas tuduhan penganiayaan. Namun, dalam persidangan di Pengadilan Jakarta Selatan, hakim menilai tuduhan terhadap Aelyn tidak terbukti, sehingga dia dibebaskan dari segala dakwaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pemohon yang terdiri atas lima ibu dalam sidang pengujian Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1946 (KUHP 1946) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2 November 2023. mkri.idHumas/Ifa. Humas/Fauzan
Kemudian, pada 6 Februari 2022, Aelyn secara kebetulan bertemu dengan anaknya di pusat belanja Plaza Senayan. Aelyn berniat untuk menghampiri, tapi dicegah oleh mantan suaminya yang saat itu bersama orang tuanya. “Saya diserang dan dikeroyok oleh tiga orang itu yang merupakan mantan mertua dan mantan suami saya," ujar Aelyn. “Saya ini pemegang hak asuh, tapi saya dibeginikan.”
Belakangan, pengalaman-pengalaman yang buruk itu membuat Aelyn sering menumpahkan perasaan di media sosial. Dari sanalah ia bertemu dengan perempuan-perempuan yang senasib. Mereka pun membuat jejaring. Topik yang mereka bahas seputar perjuangan untuk mendapatkan hak asuh anak.
Sebagian besar anggota jejaring itu memiliki pengalaman yang sama dengan Aelyn. Mereka mendapatkan hak asuh anak berdasarkan putusan pengadilan. Namun putusan itu seperti tidak memiliki kekuatan. Sebab, faktanya, mereka sama sekali tidak bisa bertemu dengan sang buah hati yang dibawa oleh mantan suami.
Sama seperti Aelyn, sejumlah ibu pernah melaporkan eks suami masing-masing ke polisi atas dugaan penculikan anak menurut Pasal 330 ayat 1 KUHP. Namun laporan itu tidak pernah memberikan hasil yang diinginkan. Bahkan tidak jarang laporan itu justru ditolak karena polisi menilai anak dibawa oleh ayah kandung.
Atas dasar itulah perkumpulan ibu ini menggagas untuk mengajukan uji materiil Pasal 330 ayat 1 KUHP itu ke Mahkamah Konstitusi. Mereka adalah Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani. Menurut Aelyn, uji materi terhadap Pasal 330 ayat 1 untuk memperjelas frasa “barang siapa”.
Adapun bunyi dari Pasal 330 ayat 1 adalah, “Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Karena dari pengalaman ibu-ibu ini yang juga memiliki hak asuh anak secara sah, mereka menganggap ada unsur pidana jika anak diambil begitu saja oleh ayah atau ibunya sendiri. “Sebenarnya berlaku kepada siapa saja yang memang umurnya sudah dikatakan dewasa, yang bisa mempertanggungjawabkan akibat hukum,” kata Aelyn.
Sebelum ke Mahkamah Konstitusi, Aelyn dan teman-teman telah berkonsultasi ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia, tapi hasilnya tidak memuaskan. Langkah uji materiil di Mahkamah Konstitusi ini dilakukan demi hadirnya kepastian hukum untuk penindakan tindak pidana yang dimaksudkan.
Kuasa hukum para pemohon yang terdiri atas lima ibu, Virza Roy Hizzal, dalam sidang pengujian Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1946 (KUHP 1946) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2 November 2023. mkri.id/Humas/Fauzan
Jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan gugatan, Aelyn berharap anaknya bisa kembali ke pangkuan dia secara utuh. Dampaknya pun supaya ada peran negara untuk memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak asuh anak maupun pemenuhan hak anak korban perceraian orang tua.
Sampai saat ini, Aelyn Halim beserta penggugat lainnya pun merasa tidak memiliki petunjuk lain untuk memperjuangkan hak mereka. Cara yang dilakukan saat ini pun tinggal melalui uji materiil dan terus menyuarakan hak di media sosial maupun di media massa. “Kami ini bingung, mau minta tolong ke mana lagi,” kata Aelyn.
Sisca Siagian, pengacara Aelyn cs, mengatakan Pasal 330 ayat 1 KUHP tidak memberi kepastian hukum atas hak asuh anak yang sudah dimiliki pemohon. Meski lima kliennya itu sudah melaporkan eks suami masing-masing ke polisi, justru laporannya tidak diproses sesuai dengan aturan. “Kepolisian dan kejaksaan kurang komitmen dan konsisten dalam pengimplementasian normatifnya. Poin gol kami adalah kepastian hukum,” kata Sisca di Mahkamah Konstitusi, Rabu lalu.
M. FAIZ ZAKI | ADE RIDWAN YANDWIPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo