HUTAN Talang Merah di kaki Bukit Kaba telah berubah jadi ladang pembantaian. Seorang gadis kecil, Susilowaty, 3 tahun, telentang pingsan bersimbah darah dekat pondok kebun kopi. Kepalanya luka, lehernya patah tampak bekas dipukul dan dicekik. Ada juga bercak darah pada vaginanya. Jinur, 62 tahun, nenek korban, dan Srinawati, ibu Susi, yang karena haus, semula berniat minum ke pondok, menjerit melihat pemandangan tragis itu. Keduanya meraung-raung hingga sejumlah pekebun pada ketinggian 1.600 meter dari permukaan laut itu datang berhamburan. Tindakan cepat pun dilakukan. Maklum nadi Susi masih berdenyut. Tapi, begitu diusung dan tiba di Desa Sosokan Taba yang berjarak 10 km, gadis kecil itu mengembuskan napas terakhir. Esoknya, 2 Januari 1991, anak semata wayang janda Srinawati itu dikuburkan. Polres Rejanglebong, Bengkulu, memang agak kelabakan menangani kasus pembunuhan ini. Selain mayat korban sudah dimakamkan dan tak sempat divisum, juga tak seorang saksi mata pun yang melihat pembantaian itu. Hanya keterangan Jinur dan Srinawati yang bisa dijadikan petunjuk. Menurut kedua perempuan ini, pagi itu mereka meninggalkan korban di pondok dan pergi menyiangi tanaman kopi. Susi ditemani Didi, 17 tahun, dan Anto, 10 tahun (bukan nama sebenarnya), yang memang sudah biasa bermain bersama. Maklum, orangtua mereka bertetangga kebun. Tetapi, ketika Jinur mendapati cucunya tengah sekarat, Didi dan Anto tak lagi kelihatan, "Siapa lagi jika bukan mereka yang membunuhnya?" ujar Jinur kepada TEMPO. Jinur bahkan menduga Susi lebih dahulu diperkosa sebelum dibunuh dengan bukti bercak darah pada kemaluannya. Petunjuk itu semakin meyakinkan karena hingga 13 Januari lalu, Didi dan Anto tak lagi pernah kelihatan di Desa Sosokan Taba. Itulah sebabnya polisi menyatakan kedua anak itu sebagai buron. "Menghilangnya mereka memperkuat dugaan merekalah pelakunya," kata Kapolres Rejanglebong, Letkol. Suryawan, kepada TEMPO, di Bengkulu. Menurut penduduk setempat, kedua tersangka yang masih sepupu itu terkenal nakal. Suka berkelahi dengan teman sebayanya. Juga kerap "panjang tangan" menjarah apa saja yang mereka temukan. Tetapi Mustofa, ayah Anto, menyangkal jika anaknya dan keponakannya, Didi, dituduh sebagai pembunuh Susi. "Mana mungkin anak sekecil itu berani membunuh?" katanya pada TEMPO. Bahkan soal diburu polisi itu juga dibantahnya. Ia mengaku keduanya ada di tempat itu. "Cuma sekarang lagi bermain-main di kebun kopi," katanya. Namun, Kapolres menganggap keterangan Mustofa cuma karangan. Mustofa sendiri, kepada polisi, mengaku tidak tahu anaknya berada di mana. Jadi, menurut Suryawan, kemungkinan sang ayah berbohong, dan menyembunyikan anaknya. Menurut sejumlah penduduk, sejak kejadian itu keduanya tak lagi pernah kelihatan. Padahal, meskipun tinggal bersama orangtuanya di kebun kopi, biasanya sesekali mereka muncul juga ke desa. Jarak kebun kopi dengan Sosokan Taba sejauh 10 km dan melewati jalan setapak pula. Adakah kemungkinan kedua orangtua tersangka menyembunyikan anak mereka? Suryawan tak mau memastikan begitu karena "relatif banyak kemungkinan bisa terjadi," katanya pada TEMPO. Yang jelas, Suryawan bertekad menemukan kedua buron cilik itu. Kedua anak yang dicurigai itu memang tak pernah bersekolah. Mereka dibesarkan pada lingkungan perbukitan kopi yang terkenal keras. Soalnya, adakah mereka pelakunya dan berani bertindak sekejam itu belum tentu juga. Bersihar Lubis (Bengkulu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini