SEJARAH peradilan pidana, pekan-pekan ini, mencatat sebuah kasus kejahatan jenis baru: penyadapan telepon. Di persidangan terpisah Pengadilan Negeri Jakarta Barat, empat orang terdakwa: M. Yasir Rangkuti karyawan PT Inti Indorayon Utama (IIU), dan tiga orang oknum Perumtel -- Yohanes V. Tri Sutanto, Munadjat, serta Suhartoyo dituduh telah menyadap pembicaraan telepon di kantor dan di rumah Direktur Bank Tani Nasional Wibowo Ngaserin. Kasus ini terhitung menarik perhatian masyarakat, hingga persidangannya selalu padat pengunjung. Mungkin karena jenis kejahatan ini terbilang canggih, dan sulit dibayangkan orang awam. "Sampai sekarang, saya jadi alergi jika ngomong lewat telepon. Sekarang kalau nelpon, saya bicara putus-putus dan pakai bahasa sandi, takut disadap," ujar Wibowo Ngaserin, 41 tahun. Persidangan kasus unik itu semakin menarik karena disebutt-sebutnya nama bekas Gubernur DKI Jakarta, Tjokropranolo. Terdakwa Yasir, 44 tahun, misalnya, menurut dakwaan Jaksa M. Daud, membujuk epala Subseksi RCM Dinas Pelayanan Perumtel Jakarta-Kota Yohanes agar tidak takut, karena penyadapan itu atas suruhan Tjokropranolo -- salah seorang komisaris Bank Tani Nasional. Penyadapan itu, tambah Yasir, semata-mata hanya untuk kepentingan perusahaan dan tak ada sangkut pautnya dengan masalah politik. Menurut Jaksa M. Daud, proyek penyadapan itu digarap komplotan Yasir sejak Januari 1988 sampai April 1988. Selama itu, setidaknya mereka berhasil merekam pembicaraan lewat telepon, baik di kantor maupun di rumah Wibowo, hingga mencapai jumlah sekitar 600 buah kaset. Untuk kelancaran proyek itu, Yasir memberi imbalan sebesar Rp 400 ribu sebulan kepada Yohanes. Setelah mendapat "order" tersebut Yohanes memerintahkan Munadjat, bawahannya di sentral otomat Jakarta-Kota, untuk merekam segala pembicaraan melalui tiga nomor telepon di kantor Wibowo, Bank Tani Nasional, di Jalan Roa Malaka, Jakarta Barat. Sementara itu, untuk penyadapan lewat dua nomor telepon di rumah Wibowo, Jalan Pluit Selatan VIII Nomor 8, Jakarta Utara, Yohanes menugaskannya kepada Suhartoyo, bawahannya disentral telepon Pluit. Hasilnya: sekitar 248 buah kaset rekaman. Untuk Munadjat, muisalnya, Yohanes memberikan honor Rp 425 ribu. Cara kerja mereka, maklum karyawan Perumtel, memang rapi. Bahkan alat perekam teleponnya, dikabarkan, cukup canggih dan sensitif. Derit bunyi pintu pun terekam di situ. "Alat perekamnya otomatis. Jika telepon dimatikan, rekamannya mati sendiri," kata Wibowo. Setiap dua hari sekali, kata jaksa, kaset-kaset rekaman itu diserahkan Yohanes dan dua bawahannya -- kepada Yasir, melalui seseorang bernama Slamet. Begitu kaset hasil penyadapan itu diserahkan kepada Slamet, ketiga oknum Perumtel itu segera akan mengontak Yasir melalui starco dengan memberi sandi: keroncong sudah diterima. Selanjutnya, kaset itu diserahkan Yasir kepada Tjokropranolo atau Eddy Kusumah di kantor PT IIU. Sebetulnya pada Januari 1988 Wibowo sudah mencium ulah penyadap itu. Ketika itu ia mendapat informasi melalui telepon dari seseorang bernama Johny, konon, masih sanak keluarga Sukanto Tanoto, Komisaris Utama Bank Tani Nasional. Menurut Johny -- yang mengaku sakit hati kepada Sukanto -- telepon di kantor dan rumah Wibowo disadap seseorang. Semua kaset hasil rekaman telepon itu tersimpan di rumah Sukanto, di Jalan Tomang Raya, Jakarta Barat. Beberapa hari kemudian Wibowo menerima kiriman bukti, dua kaset rekaman pembicaraannya di telepon, juga dari Johny. Antara Wibowo dan Sukanto, sejak September 1987, memang ada pertikaian -- sekitar pemilikan saham di Bank Tani Nasional -- yang berlarut-larut sampai ke meja hijau. Pihak Wibowo menuduh Sukanto, yang juga komisaris PT IIU, komisaris United City Bank (UCB), dan sejumlah perusahaan lainnnya, hendak "mencaplok" Bank Tani Nasional. Sebaliknya, pihak Sukanto menuding Wibowo tak becus mengurus bank itu. Wibowo pun segera melacak informasi Johny tadi. Untuk itu ia meminta bantuan Yason Suryana, rekannya di PT Kartika Abef Pratama. Bak intel, pada hari-hari berikutnya Yason memata-matai gerak-gerik Yasir dan ketiga oknum Perumtel tadi dalam melaksanan proyek tersebut. Kepada TEMPO, Yason juga mengaku beberapa kali melihat Slamet menyerahkan kaset-kaset rekaman itu kepada Yasir, di halaman Masjid Istiqlal. Berdasarkan itu semua, pada 25 April 1988 Wibowo melapor ke Mabes Polri. Yasir dan komplotannya pun digulung. Di sidang, komplotan itu dijaring Jaksa M. Daud dengan senjata tua: Undang-undang antikorupsi, selain juga pasal penyuapan, dan tuduhan telah membuka rahasia orang lain. Dalam perkara itu, sebanyak 25 kaset rekaman telepon dijadikan barang bukti. Dua kaset, yang berasal dari Johny, diantarkan sendiri oleh Wibowo ke penyidik, 15 buah dari Tjokropranolo, 3 buah dari para terdakwa, selebihnya disita dari kantor Yohanes. Wibowo menduga bahwa kejahatan itu berlatar belakang perselisahan bisnis antara dia dan Sukanto bersama Tjokropranolo di pihak lain. Yang jelas, "Selama itu, saya juga heran, kok Sukanto tahu semua gerak-gerik dan rencana saya. Misalnya, saya mau rapat atau mau pergi ke Singapura. Yang lebih gila, seorang calon penerima kredit Rp 200 juta di Bank Tani Nasional jadi pindah ke UCB," kata Wibowo, yang memperkirakan penyadapan itu sudah berlangsung sejak April 1987. Sementara itu, Yohanes, 34 tahun, mengaku hanya melakukan penyadapan sebanyak 15 buah kaset saja. "Tapi merekam itu 'kan memang tugas saya sehari-hari. Hanya saja kemudian datang Yasir, yang meminta rekaman itu. Saya ini cuma dikorbankan oleh Yasir," kata pegawai Perumtel sejak Desember 1977 itu. Tentang Tjokropranolo, lelaki berperawakan kecil dan berkumis tipis itu hanya berkata, "Beliau juga dikorbankan, seakan menjadi backing komplotan Yasir.Happy S, Sri Pudyastuti, dan Priyono BS (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini