DUA minggu di Jakarta bagi ke 106 guru teladan yang mengikuti
pemilihan tingkat nasional, tentu menyibukkan. Tapi juga
sekaligus menyenangkan. Dibawa keliling ibukota negara, ke Taman
Mini dan Ancol misalnya, guru-guru yang sudah berhasil menjadi
teladan di tingkat propinsi itu juga sempat diterima langsung
oleh Presiden dan beberapa Menteri. Belum hadiah-hadiah yang
terus membanjir. Mulai dari yang berbentuk barang seperti
pakaian, sampai kepada uang yang masing-masing menerima tak
kurang dari Rp 250 ribu. Sementara bagi pemenang tingkat
nasional (tiga orang masing-masing tingkat SD, SLTP dan SLTA)
hadiah itu masih ditambah dengan tiket Jakarta - Tokyo pulang
pergi berikut uang saku selama sepuluh hari di Jepang. Luar
biasa. Sehingga memang, pengalaman mereka semanjak tiba di
Jakarta, " Agustus yang lalu, "seperti mimpi saja", ujar seorang
guru. Begitu pula "pengalaman saya selama 14 hari di Jakarta,
melebihi pengalaman hidup saya selama 14 bulan bahkan 14 tahun",
ujar guru lain yang memberi sambutan mewakili teman-temannya
pada acara malam perpisahan, 19 Agustus kemarin di gedung P&K,
Senayan.
Berbeda dengan acara pemilihan guru teladan tahun-tahun
sebelumnya, maka pada pemilihan yang kelima kalinya ini tidak
terbatas hanya untuk guru-guru sekolah negeri. Kali ini selain
guru-guru umum swasta diturut-sertakan, guru-guru madrasah pun
baik yang negeri maupun swasta tidak ketinggalan. Menurut
catatan yang ada pada panitia, dari seluruhnya itu selain
guru-guru umum negeri terdapat juga sekitar 11 guru madrasah
dan 12 guru swasta lainnya baik dari sekolah umum maupun sekolah
asuhan agama yang lain. Belum termasuk tiga orang guru dari
Timor Timur yang statusnya dalam pemilihan itu sebagai peninjau.
Dan dari 106 guru yang mewakili 27 propinsi itu (masing-masing
propinsi empat guru yang mewakili tingkat SD, SLTP, SLTA dan SD
Swasta/Madrasah --kecuali Bali dan Timor Timur yang hanya
mengirim tiga guru) lebih dari separohnya adalah Kepala Sekolah
di sekolahnya masing-masing. Di dalam persyaratan untuk
mengikuti pemilihan guru teladan memang tidak dicantumkan adanya
ketentuan harus Kepala Sekolah. Namun agaknya, bapak-bapak
inilah yang lebih banyak punya kesempatan untuk jadi pemenang.
Barangkali karena golongan ini punya banyak kelebihan. Misalnya
masa kerja ataupun unsur dedikasi. Tapi yang jelas bentuk hadiah
lainnya untuk guru teladan berupa percepatan kenaikan tingkat
dua tahun lebih cepat dari ketentuan yang berlaku
(tingkat-tingkat propinsi dan kabupaten masing-masing satu
setengah dan satu tahun) tentu ingin juga dimiliki oleh
guru-guru lain. Termasuk guru-guru teladan dari kelompok sekolah
swasta. Kenapa hadiah itu cuma untuk guru teladan negeri saja?
"Untuk guru teladan swasta sedang difikirkan bentuk hadiahnya",
ujar seorang pejabat.
Kalau para guru teladan kebanjiran hadiah, maka tidak demikian
halnya dengan pelajar teladan. Kelompok pemuda berumur antara 17
sampai 19 tahun dan duduk di bangku kelas satu atau dua SLTA
itu, hadir di Jakarta memang bukan untuk diseleksi lagi sebagai
pela- jar teladan tingkat nasional. Tugasnya hanyalah untuk
mengibarkan bendera pusaka (duplikat) pada perayaan 17 Agustus
di [stana. Untuk tugas yang tidak ringan itu, ke 54 pelajar yang
mewakili 27 propinsi itu dapat juga hadiah-hadiah kecil.
Setidak-tidaknya hadiah kebanggaan. Dan hasil pemilihannya tahun
ini nampaknya lebih jujur dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya karena konon pelajar yang dikirim kebanyakan anak
pejabat. Tahun ini selain memang hal itu masih ada -- seperti M.
Ramli Malawat anak Bupati Halmahera Tengah di Maluku -- terdapat
juga Elly Sufiati Hartika anak Ahmad Kasim tukang reparasi radio
dari Bandung.
Tapi kenapa masih juga disebut "pelajar teladan" bukan "pemuda
teladan"? Sebab bahwa yang diambil untuk pasukan pengerek
bendera itu seluruhnya para pelajar, memang benar. Tapi mereka
bukanlah pelajar teladan hasil pemilihan (cuma sampai tingkat
propinsi) dalam forum yang didasarkan pada kepandaian di
sekolah. Maklumlah pelajar untuk pasukan pengerek bendera itu,
selain sudah tentu dinilai unsur kepintarannya di sekolah, juga
dikenakan syarat lain seperti harus berbadan sehat tidak cacad
jasmaniah dan rohaniah, serta tingginya untuk putera dan puteri
masing-masing minimal 165 dan 150 cm. Sedangkan pelajar teladan
hasil pemilihan yang berdasarkan kepandaian di sekolah
(dilaksanakan oleh Kanwil P&K, sedangkan pelajar teladan
pengerek bendera memang Kanwil P&K turut melaksanakan, tapl
gubernur yang memutuskan) belum tentu memiliki persyaratan
tersebut. Karena itu seperti tahun lalu misalnya di antara
pelajar pengerek bendera itu hanya ada dua orang yang
benar-benar pelajar teladan. Karena itu untuk membedakan
keduanya, sudah sejak tahun lalu pihak P&K mengusulkan agar
pelajar pengerek bendera itu disebut saja pemuda teladan.
Namun tahun ini, walaupun Menteri Sjarif Thajeb sudah menyebut
para pelajar pengerek bendera itu sebagai pemuda teladan,
penggunaan istilah itu belum seragam. "Mungkin persoalan yang
sepele", ujar seorang guru SLTA, "namun kita harus fikirkan juga
perasaan pelajar teladan yang sebenarnya yang kebetulan tidak
terpilih sebagai pengerek bendera. Nanti tentu akan timbul
pertanyaan: yang pelajar teladan itu dia atau temannya yang
kebetulan terpilih ke Jakarta". Sementara Kolonel Mohamad Said,
Direktur Pembinaan Generasi Muda dari P&K yang menjadi Ketua
Panitia Pelaksana Pengibaran Bendera Pusaka tahun ini pun, belum
bisa menyelesaikan persoalan itu. "Kita tertumbuk pada tingkat
yang lebih tinggi di atas departemen", katanya. Sehingga seorang
pejabat lain di direktorat itu mengusulkan agar istilah pelajar
teladan yang diberikan pada pemilihan pelajar terpandai di
sekolah diganti dengan istilah bintang pelajar. "Kita mengalah
saja", katanya pelan. Maksudnya, biarlah pasukan pengerek
bendera itu tetap pakai istilah pelajar teladan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini