Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Yang Teladan, Juga Swasta

160 guru teladan tingkat propinsi seluruh Indonesia mengikuti pemilihan tingkat nasional di jakarta. Mereka dari sekolah negeri, swasta dan madrasah. untuk paskibraka seleksi akan diperketat.

4 September 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA minggu di Jakarta bagi ke 106 guru teladan yang mengikuti pemilihan tingkat nasional, tentu menyibukkan. Tapi juga sekaligus menyenangkan. Dibawa keliling ibukota negara, ke Taman Mini dan Ancol misalnya, guru-guru yang sudah berhasil menjadi teladan di tingkat propinsi itu juga sempat diterima langsung oleh Presiden dan beberapa Menteri. Belum hadiah-hadiah yang terus membanjir. Mulai dari yang berbentuk barang seperti pakaian, sampai kepada uang yang masing-masing menerima tak kurang dari Rp 250 ribu. Sementara bagi pemenang tingkat nasional (tiga orang masing-masing tingkat SD, SLTP dan SLTA) hadiah itu masih ditambah dengan tiket Jakarta - Tokyo pulang pergi berikut uang saku selama sepuluh hari di Jepang. Luar biasa. Sehingga memang, pengalaman mereka semanjak tiba di Jakarta, " Agustus yang lalu, "seperti mimpi saja", ujar seorang guru. Begitu pula "pengalaman saya selama 14 hari di Jakarta, melebihi pengalaman hidup saya selama 14 bulan bahkan 14 tahun", ujar guru lain yang memberi sambutan mewakili teman-temannya pada acara malam perpisahan, 19 Agustus kemarin di gedung P&K, Senayan. Berbeda dengan acara pemilihan guru teladan tahun-tahun sebelumnya, maka pada pemilihan yang kelima kalinya ini tidak terbatas hanya untuk guru-guru sekolah negeri. Kali ini selain guru-guru umum swasta diturut-sertakan, guru-guru madrasah pun baik yang negeri maupun swasta tidak ketinggalan. Menurut catatan yang ada pada panitia, dari seluruhnya itu selain guru-guru umum negeri terdapat juga sekitar 11 guru madrasah dan 12 guru swasta lainnya baik dari sekolah umum maupun sekolah asuhan agama yang lain. Belum termasuk tiga orang guru dari Timor Timur yang statusnya dalam pemilihan itu sebagai peninjau. Dan dari 106 guru yang mewakili 27 propinsi itu (masing-masing propinsi empat guru yang mewakili tingkat SD, SLTP, SLTA dan SD Swasta/Madrasah --kecuali Bali dan Timor Timur yang hanya mengirim tiga guru) lebih dari separohnya adalah Kepala Sekolah di sekolahnya masing-masing. Di dalam persyaratan untuk mengikuti pemilihan guru teladan memang tidak dicantumkan adanya ketentuan harus Kepala Sekolah. Namun agaknya, bapak-bapak inilah yang lebih banyak punya kesempatan untuk jadi pemenang. Barangkali karena golongan ini punya banyak kelebihan. Misalnya masa kerja ataupun unsur dedikasi. Tapi yang jelas bentuk hadiah lainnya untuk guru teladan berupa percepatan kenaikan tingkat dua tahun lebih cepat dari ketentuan yang berlaku (tingkat-tingkat propinsi dan kabupaten masing-masing satu setengah dan satu tahun) tentu ingin juga dimiliki oleh guru-guru lain. Termasuk guru-guru teladan dari kelompok sekolah swasta. Kenapa hadiah itu cuma untuk guru teladan negeri saja? "Untuk guru teladan swasta sedang difikirkan bentuk hadiahnya", ujar seorang pejabat. Kalau para guru teladan kebanjiran hadiah, maka tidak demikian halnya dengan pelajar teladan. Kelompok pemuda berumur antara 17 sampai 19 tahun dan duduk di bangku kelas satu atau dua SLTA itu, hadir di Jakarta memang bukan untuk diseleksi lagi sebagai pela- jar teladan tingkat nasional. Tugasnya hanyalah untuk mengibarkan bendera pusaka (duplikat) pada perayaan 17 Agustus di [stana. Untuk tugas yang tidak ringan itu, ke 54 pelajar yang mewakili 27 propinsi itu dapat juga hadiah-hadiah kecil. Setidak-tidaknya hadiah kebanggaan. Dan hasil pemilihannya tahun ini nampaknya lebih jujur dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya karena konon pelajar yang dikirim kebanyakan anak pejabat. Tahun ini selain memang hal itu masih ada -- seperti M. Ramli Malawat anak Bupati Halmahera Tengah di Maluku -- terdapat juga Elly Sufiati Hartika anak Ahmad Kasim tukang reparasi radio dari Bandung. Tapi kenapa masih juga disebut "pelajar teladan" bukan "pemuda teladan"? Sebab bahwa yang diambil untuk pasukan pengerek bendera itu seluruhnya para pelajar, memang benar. Tapi mereka bukanlah pelajar teladan hasil pemilihan (cuma sampai tingkat propinsi) dalam forum yang didasarkan pada kepandaian di sekolah. Maklumlah pelajar untuk pasukan pengerek bendera itu, selain sudah tentu dinilai unsur kepintarannya di sekolah, juga dikenakan syarat lain seperti harus berbadan sehat tidak cacad jasmaniah dan rohaniah, serta tingginya untuk putera dan puteri masing-masing minimal 165 dan 150 cm. Sedangkan pelajar teladan hasil pemilihan yang berdasarkan kepandaian di sekolah (dilaksanakan oleh Kanwil P&K, sedangkan pelajar teladan pengerek bendera memang Kanwil P&K turut melaksanakan, tapl gubernur yang memutuskan) belum tentu memiliki persyaratan tersebut. Karena itu seperti tahun lalu misalnya di antara pelajar pengerek bendera itu hanya ada dua orang yang benar-benar pelajar teladan. Karena itu untuk membedakan keduanya, sudah sejak tahun lalu pihak P&K mengusulkan agar pelajar pengerek bendera itu disebut saja pemuda teladan. Namun tahun ini, walaupun Menteri Sjarif Thajeb sudah menyebut para pelajar pengerek bendera itu sebagai pemuda teladan, penggunaan istilah itu belum seragam. "Mungkin persoalan yang sepele", ujar seorang guru SLTA, "namun kita harus fikirkan juga perasaan pelajar teladan yang sebenarnya yang kebetulan tidak terpilih sebagai pengerek bendera. Nanti tentu akan timbul pertanyaan: yang pelajar teladan itu dia atau temannya yang kebetulan terpilih ke Jakarta". Sementara Kolonel Mohamad Said, Direktur Pembinaan Generasi Muda dari P&K yang menjadi Ketua Panitia Pelaksana Pengibaran Bendera Pusaka tahun ini pun, belum bisa menyelesaikan persoalan itu. "Kita tertumbuk pada tingkat yang lebih tinggi di atas departemen", katanya. Sehingga seorang pejabat lain di direktorat itu mengusulkan agar istilah pelajar teladan yang diberikan pada pemilihan pelajar terpandai di sekolah diganti dengan istilah bintang pelajar. "Kita mengalah saja", katanya pelan. Maksudnya, biarlah pasukan pengerek bendera itu tetap pakai istilah pelajar teladan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus