KEBATINAN atau kejawen, kini secara resmi disebut "Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa". Dan secara resmi pula dinyatakan
sebagai bukan agama. Apalagi agama baru. Presiden Soeharto
sendiri pernah menghimbau agar para penghayat (begitu sebutan
bagi pemeluk Kepercayaan) kembali ke induk agama masing-masing.
Dalai pidato RAPBN depan DPR 8 Januari lalu Presiden menegaskan
bahwa Kepercayaan merupakan "bagian dari kebudayaan nasional
kita, yang merupakan budaya yang hidup dan dihayati oleh
sebagian bangsa kita." Itulah sebabnya, berbeda dari tahun
anggaran sebelumnya, kini anggaran untuk kepercayaan dipisahkan
dari sektor agama, masuk sub sektor kebudayaan.
Maka Senin siang 5 Pebruari lalu Menteri P&K Daoed Joesoef pun
melantik Arymurthy, 57 tahun -- sekjen Sekretariat Kerjasama
Kepercayaan itu sebagai Direktur Direktorat Pembinaan Penghayat
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ditempatkan di bawah
Direktorat Jenderal Kebudayaan, direktorat baru ini mengemban 4
fungsi: merumuskan kebijaksanaan teknis pembinaan penghayat
Kepercayaan sesuai dengan kebijaksanaan Ditjen Kebudayaan
menyelenggarakan penyusunan, penilaian, pengendalian materi dan
program pembinaan penghayat Kepercayaan menyelenggarakan
bimbingan, penyuluhan serta melaksanakan publikasi dan
dokumentasi pelaksanaan kegiatan pembinaan.
Dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR 7 Pebruari lalu, Daoed
Joesoef yang menyebut Kepercayaan sebagai "warisan dan kekayaan
rohani rakyat" juga mengungkapkan program pembinaan Kepercayaan
yang "diarahkan kepada pembinaan budi luhur." Di dalamnya
tercakup "pembinaan sikap taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
rasa hormat terhadap agama yang dianut para penghayat, sehingga
makin kuat rasa keagamaannya."
Sawito
Daoed Joesoef sendiri pekan lalu kepada TEMPO menjelaskan bahwa
sesuai dengan sifatnya, Kepercayaan masuk Departemen P&K.
"Kepercayaan itu adalah kebudayaan kita yang paling elementer
seperti halnya sifat toleransi. Sebelum agama-agama besar datang
kemari, Kepercayaan sudah ada di sini," kata Daoed. Tapi yang
nampaknya menarik dari kecerangan Menteri P&K itu adalah ini:
"Pembinaan itu untuk mencegah jangan sampai mereka membuat
semacam agama, tapi membina budi pekerti yang luhur. "
Bagaimana pembinaan budi pekerti itu dalam praktek? Menteri
sendiri belum bisa memberi keterangan. "Sedang diusahakan
pengumpulan bahan-bahannya, misalnya dari cerita-cerita kuno,"
katanya. Yang pasti, tidak akan merupakan mata pelajaran
tersendiri di sekolah. "Pelajaran budi pekerti sudah terkandung
dalam berbagai macam pelajaran seperti Civics, Pendidikan Moral
Pancasila, dan sebagainya," kata Menteri Daoed. Jadi
budi-pekerti yang macam mana yang sesuai dengan Kepercayaan?
Barangkali profil Arymurthy sendiri bisa menjelaskan.
Lahir di Demak 57 tahun lalu, sarjana ekonomi UI (1957) ini
pensiunan pegawai tinggi Direktorat Jenderal Pajak. Sejak kecil
mengaku banyak menderita batin, antara lain "tak sempat
mendapat air susu ibu sendiri." Tahun 1946 untuk pertama kali
Arymurthy mengenal dunia kebatinan lewat Suryopremono, seorang
"guru" Paguyuban Sumarah di Magelang.
Kepribadiannya sendiri agak unik sejak kecil mendapat pendidikan
Belanda (sekolah ELS di Pemalang dan HBS di Semarang), ia juga
mengaku tak pernah belajar kebudayaan Jawa. "Membaca huruf Jawa
pun saya tidak bisa," katanya akhir pekan lalu di rumahnya,
kawasan Kebayoran, Jakarta. Mengaku tak pernah membaca buku-buku
kebatinan, Arymurthy tak pernah berguru kecuali sekali saja di
tahun 1946 itu. "Saya mengalaminya sendiri, menghayati sendiri,"
tuturnya.
Ajaran Sumarah sederhana: sujud menyerah bulat-bulat dengan
penuh kelmanan tanpa perantara kepada Tuhan. Caranya? Dengan
mengheningkan cipta. "Bukan sekedar mengheningkan cipta tapi
disertai dengan manembab, keimanan," kata Arymurthy. Tapi
waktunya tidak bisa ditentukan, melainkan sak selaning nyambut
karyo (kalau ada waktu).
Mungkin mengejutkan. Tapi alasan Arymurthy: "Untuk manembah,
jangan karena terpaksa." Fisik pun dipersiapkan. "Kalau semua
tugas-tugas fisik sudah selesai, barulah kita bersiap manembah.
Sebab fisik pun hendaknya mendapatkan haknya," katanya. Itu tak
berarti setiap saat tidak ingat kepada Tuhan. "Setiap saat, kita
harus eling (ingat) kepadaNya," ia menegaskan.
Dengan selalu eling itulah, Arymurthy -- mengaku pernah
mendapat wangsit tahun 1958 -- bisa menjaga keseimbangan hidup.
"Saya tidak ketularan serakah meskipun kesempatan selalu
terbuka," ujarnya. Pernah menjadi sekretaris Wakil Menteri
Pertama Bidang Keuangan di zaman Bung Karno, ketika masih
berdinas di Ditjen Pajak, ada orang yang katanya gagal
menyuapnya. "Orang itu keluar masuk pintu ruang kerja saya tapi
akhirnya keluar lagi. Sebab saya selalu eling dan minta
perlindungan Tuhan," tuturnya.
Sampai saat ini Arymurthy tidak punya catatan jumlah aliran
kepercayaan dan para penghayatnya. "Di luar kepala, ya sekitar
70 buah, kebanyakan di pulau Jawa. Di Sumatera juga ada satu
dua," katanya. Dalam pembinaannya nanti, adakah Kepercayaan juga
berdakwah? "Dakwah?" tanya Arymurthy. "Ya kalau diterima, kalau
tidak bagaimana? Nanti malah dituduh kita menggurui," tambahnya.
Justru sikap 'diam' itu, menurutnya merupakan ciri khas
Kepercayaan. "Dan pernahkah kita menankis kecaman-kecaman?
Lebih baik mawas diri dari pada menuding-nuding seperti misalnya
Sawito itu. Sawito sendiri bukan anggota SKK," katanya pula.
Daoed Joesoef juga berpendapat, "justru kekuatan para penghayat
Kepercayaan karena mereka diam, tidak berdakwah. Tapi orang toh
datang kepada mereka."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini