GEREJA Katolik bergetar di Amerika Selatan. Pernyataan Paus
Johannes Paulus II di Puebla, Meksiko, akhir bulan lalu belum
reda gemanya. Apa yang disebut "theologi pembebasan" secara tak
langsung terkena oleh kecaman pemimpin tertinggi umat Katolik
itu, dalam sebuah pidato yang mungkin paling dinanti-nantikan
sejak ia bertahta. Dan di Amerika Selatan, kecaman itu langsung
menyudutkan sebagian para rohaniawan Katolik setempat. Merekalah
yang selama ini mencoba untuk menggabungkan tugas keagamaan
dengan kegiatan politik melawan kemiskinan dan penindasan.
"Sebuah pidato yang mengecewakan," tulis harian terkemuka
Amerika The New York Times tentang ucapan Paus di konperensi
para uskup Amerika Latin. Sejumlah paderi menyatakan
ketidak-setujuan mereka. Doa semata-mata, kata mereka, tidak
cukup. Para rohaniawan harus berbuat lebih, tak cuma sekedar
menciptakan suatu iklim kerohanian untuk melaksanakan perbaikan
masyarakat.
Bagi sebagian rohaniawan Katolik penganut "theologi pembebasan"
di Amerika Latin, berbuat lebih dari sekedar berdoa bisa berarti
macam-macam. Ada yang ikut gerakan pendesak landrefonn, seperti
para paderi di Honduras. Ada yang membentuk koperasi di kalangan
orang Indian, seperti di Ekuador. Atau bersuara keras melawan
penggencetan hak-hak warganegara yang terjadi di Brazilia, Chili
dan El Salvador. Di samping itu, ada yang dengan sadar ikut
dalam perlawanan bersenjata terhadap kediktatoran.
Permulaannya sebenarnya terjadi di Kuba. Kemenangan revolusi
Kuba di tahun 1959 menyebabkan sejumlah perlawanan menyebar ke
banyak penjuru Amerika Latin, terutama terhadap pemerintahan
yang anti-komunis dan didukung Amerika -- yang kebanyakan memang
berbentuk rezim militer yang represif. Gereja Katolik juga
mengalami akibatnya. Selama itu, Gereja di Amerika Latin
cenderung bekerja-sama dengan penguasadan melihat para
guerrilleros kiri dengan kecemasan anti Marxis. Namun kemiskinan
yang meluas, ketidak-adilan sosial dan keterpojokan rakyat kecil
bagaimana pun mengusik hati sebagian rohaniawan.
Angin Baru Vatikan?
Dan ke situlah dengan suburnya tumbuh benih yang disebarkan oleh
"Che" Guevarra. Dalam sebuah pesan yang termashur kepada
orang-orang Katolik, tokoh revolusi Kuba itu berseru:
"Orang-orang Kristen harus memilih revolusi, sekali dan untuk
seterusnya, dan ini khususnya di benua kita, di mana iman
Kristen demikian pentingnya di kalangan rakyat banyak." Menurut
"Che", hanya bila umat Kristen (Katolik) berani memberikan
"kesaksian revolusioner" sepenuh hati, maka revolusi Amerika
Latin akan tak teralahkan. "Sebab," kata Guevarra menggelitik
rasa bersalah para paderi, "sampai sekarang mereka membiarkan
ajaran mereka menjadi alat kaum reaksioner."
Panggilan telah diserukan, dan di antara yang datang ialah
Pastor Camilio Torres. Di tahun 1965 ia menggabungkan diri
dengan guerrilleros dengan keyakinan bahwa perjuangan
revolusioner adalah konsekwensi dari hukum-utama kekristenan:
mencinta sesama manusia. Ia pun berhenti mempersembahkan misa,
agar dapat "mencintai sesamanya di lapangan ekonomi dan
pertentangan sosial."
Rohaniawan Kolumbia itulah tokoh utama theologi baru yang
revolusioner itu. Dalilnya di tahun 1966 agaknya jadi salah satu
dasar "theologi pembebasan." Dengan bertolak dari analisa
mengenai situasi sosial-ekonomi, theologi pembebasan harus
mencoba menemukan praksis politik dan praksis pastoral baru
dalam - "terang iman". Hasilnya: ia bertentangan dengan kalangan
penguasa gereja institusionil di Amerika Selatan.
Namun 28 Maret 1967, para paderi kiri itu seakan-akan
mendapatkan angin baru dari Vatikan. Paus Paulus VI dalam
ensiklik Populorum progressio (tentang kemajuan bangsa-bangsa)
mengatakan: "Kita harus memandang situasi sekarang dengan
prihatin dan berusaha melenyapkan ketidak-adilan dari muka
bumi." Dan setahun kemudian, Oktober 1968, majelis wali gereja
Amerika Latin bertemu di Mendellin. Para uskup, baik yang
progresif maupun yang konservatif berembuk di kota itu. Desakan
kuat dari kalangan awam dan para imam akhirnya mendorong para
uskup itu mengeluarkan pernyataan yang menyenangkan kalangan
progresif: "Sejauh ini Amerika Latin berada dalam situasi
ketidakadilan, yang dapat dinamakan kekerasan yang dilembagakan,
karena struktur-struktur yang ada memperkosa hak-hak yang paling
asasi."
Bahasa revolusioner seperti itu nampaknya menunjukkan betapa
"theologi pembebasan" makin berada di atas angin. Demikianlah di
Santiago, Chili. ketika negeri itu masih di bawah pemerintahan
Allende yang kiri April 1972, diselenggarakan "Kongres Kristen
Amerika-Latin ke-I Untuk Sosialisme." Di sana Uskup Mendez Arceo
dari Guernavaca berkata: " Untuk dunia yang masih terkebelakang,
tidak ada jalan keluar lain selain sosialisme." Di sana pula
orang berbicara tentang aliansi antara kekristenan dan Marxisme
-- dan hendak mencapai suatu "theologi politik."
Dari pertemuan di Santiago itu pula dapat dibaca sebuah
pernyataan bersama yang bagi orang luar memang cukup mengejutkan
-- saking saratnya ia dengan bahasa revolusioner Marxis. Kata
"perjuangan klas" membayang hampir di setiap alinea. Marxisme
dipuji sebagai pemberi analisa yang efektif. CIA dikutuk, begitu
pula Departemen Luar Negeri AS. Dan "jalan tengah" ke arah
pemecahan masalah sosial dianggap gagal. Sistem sosialisme
adalah tujuan satu-satunya.
Berada di Atas Persaingan
Maka barangkali melihat semua ini, sokongan dari Vatikan
terhadap gerakan ini semakin berkurang. Pidato Paus Johannes
Paulus II di Puebla itu merupakan gong yang menentukan --
setelah orang menduga-duga apa gerangan pendapat sang Bapa Suci
tentang "theologi pembebasan". Gereja, kata Paus, ingin berada
di atas sistem-sistem yang bersaingan. Betapapun besarnya
penderitaan atau kesengsaraan yang diderita manusia, kekerasan
bukanlah jalan untuk masa depan yang lebih baik. Juga permainan
kekuasaan dan sistem politik bukan jalan kebenaran.
Namun apapun kata Paus, bagi para penganjur "theologi
pembebasan" pertanyaannya masih tetap: Bagaimana mereka dapat
mengurus kebutuhan rohaniah gembalaannya yang kehilangan hak dan
terbengkalai, tanpa mereka ikut melenyapkan kondisi
sosial-politik dari keterjepitan itu? Sebuah pertanyaan yang
baik, kata tajuk Tle New York Times. Namun di penghujung
dasawarsa 1970-an, Paus Johannes Paulus II mungkin bisa juga
mengajukan pertanyaan yang baik: penderitaan karena kemiskinan
dan kesewenang-wenangan memang begitu parah di banyak bagian di
Amerika Latin, tapi adakah Marxisme akan membawa pembebasan?
Paus Johannes Paulus II, orang Polandia itu, pasti bilang tidak.
Setidaknya "Che" Guevarra sudah tak ada lagi dan Kuba -- bahkan
di mata seorang komunis dari Beijing dan Pangeran Sihanouk --
kini lebih nampak sebagai agen Uni Soviet yang tak lagi
membedakan mana "pembebasan" dan mana ekspansi di negeri miskin
Afrika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini