Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Paus Di Puebla Dan Kebebasan

Dalam konperensi para uskup amerika latin di puebla, Meksiko. Paus Johannes Paulus II mengecam rohani awan katolik penganut theologi pembebasan. Mereka menggabungkan tugas keagamaan dengan politik. (ag)

17 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEREJA Katolik bergetar di Amerika Selatan. Pernyataan Paus Johannes Paulus II di Puebla, Meksiko, akhir bulan lalu belum reda gemanya. Apa yang disebut "theologi pembebasan" secara tak langsung terkena oleh kecaman pemimpin tertinggi umat Katolik itu, dalam sebuah pidato yang mungkin paling dinanti-nantikan sejak ia bertahta. Dan di Amerika Selatan, kecaman itu langsung menyudutkan sebagian para rohaniawan Katolik setempat. Merekalah yang selama ini mencoba untuk menggabungkan tugas keagamaan dengan kegiatan politik melawan kemiskinan dan penindasan. "Sebuah pidato yang mengecewakan," tulis harian terkemuka Amerika The New York Times tentang ucapan Paus di konperensi para uskup Amerika Latin. Sejumlah paderi menyatakan ketidak-setujuan mereka. Doa semata-mata, kata mereka, tidak cukup. Para rohaniawan harus berbuat lebih, tak cuma sekedar menciptakan suatu iklim kerohanian untuk melaksanakan perbaikan masyarakat. Bagi sebagian rohaniawan Katolik penganut "theologi pembebasan" di Amerika Latin, berbuat lebih dari sekedar berdoa bisa berarti macam-macam. Ada yang ikut gerakan pendesak landrefonn, seperti para paderi di Honduras. Ada yang membentuk koperasi di kalangan orang Indian, seperti di Ekuador. Atau bersuara keras melawan penggencetan hak-hak warganegara yang terjadi di Brazilia, Chili dan El Salvador. Di samping itu, ada yang dengan sadar ikut dalam perlawanan bersenjata terhadap kediktatoran. Permulaannya sebenarnya terjadi di Kuba. Kemenangan revolusi Kuba di tahun 1959 menyebabkan sejumlah perlawanan menyebar ke banyak penjuru Amerika Latin, terutama terhadap pemerintahan yang anti-komunis dan didukung Amerika -- yang kebanyakan memang berbentuk rezim militer yang represif. Gereja Katolik juga mengalami akibatnya. Selama itu, Gereja di Amerika Latin cenderung bekerja-sama dengan penguasadan melihat para guerrilleros kiri dengan kecemasan anti Marxis. Namun kemiskinan yang meluas, ketidak-adilan sosial dan keterpojokan rakyat kecil bagaimana pun mengusik hati sebagian rohaniawan. Angin Baru Vatikan? Dan ke situlah dengan suburnya tumbuh benih yang disebarkan oleh "Che" Guevarra. Dalam sebuah pesan yang termashur kepada orang-orang Katolik, tokoh revolusi Kuba itu berseru: "Orang-orang Kristen harus memilih revolusi, sekali dan untuk seterusnya, dan ini khususnya di benua kita, di mana iman Kristen demikian pentingnya di kalangan rakyat banyak." Menurut "Che", hanya bila umat Kristen (Katolik) berani memberikan "kesaksian revolusioner" sepenuh hati, maka revolusi Amerika Latin akan tak teralahkan. "Sebab," kata Guevarra menggelitik rasa bersalah para paderi, "sampai sekarang mereka membiarkan ajaran mereka menjadi alat kaum reaksioner." Panggilan telah diserukan, dan di antara yang datang ialah Pastor Camilio Torres. Di tahun 1965 ia menggabungkan diri dengan guerrilleros dengan keyakinan bahwa perjuangan revolusioner adalah konsekwensi dari hukum-utama kekristenan: mencinta sesama manusia. Ia pun berhenti mempersembahkan misa, agar dapat "mencintai sesamanya di lapangan ekonomi dan pertentangan sosial." Rohaniawan Kolumbia itulah tokoh utama theologi baru yang revolusioner itu. Dalilnya di tahun 1966 agaknya jadi salah satu dasar "theologi pembebasan." Dengan bertolak dari analisa mengenai situasi sosial-ekonomi, theologi pembebasan harus mencoba menemukan praksis politik dan praksis pastoral baru dalam - "terang iman". Hasilnya: ia bertentangan dengan kalangan penguasa gereja institusionil di Amerika Selatan. Namun 28 Maret 1967, para paderi kiri itu seakan-akan mendapatkan angin baru dari Vatikan. Paus Paulus VI dalam ensiklik Populorum progressio (tentang kemajuan bangsa-bangsa) mengatakan: "Kita harus memandang situasi sekarang dengan prihatin dan berusaha melenyapkan ketidak-adilan dari muka bumi." Dan setahun kemudian, Oktober 1968, majelis wali gereja Amerika Latin bertemu di Mendellin. Para uskup, baik yang progresif maupun yang konservatif berembuk di kota itu. Desakan kuat dari kalangan awam dan para imam akhirnya mendorong para uskup itu mengeluarkan pernyataan yang menyenangkan kalangan progresif: "Sejauh ini Amerika Latin berada dalam situasi ketidakadilan, yang dapat dinamakan kekerasan yang dilembagakan, karena struktur-struktur yang ada memperkosa hak-hak yang paling asasi." Bahasa revolusioner seperti itu nampaknya menunjukkan betapa "theologi pembebasan" makin berada di atas angin. Demikianlah di Santiago, Chili. ketika negeri itu masih di bawah pemerintahan Allende yang kiri April 1972, diselenggarakan "Kongres Kristen Amerika-Latin ke-I Untuk Sosialisme." Di sana Uskup Mendez Arceo dari Guernavaca berkata: " Untuk dunia yang masih terkebelakang, tidak ada jalan keluar lain selain sosialisme." Di sana pula orang berbicara tentang aliansi antara kekristenan dan Marxisme -- dan hendak mencapai suatu "theologi politik." Dari pertemuan di Santiago itu pula dapat dibaca sebuah pernyataan bersama yang bagi orang luar memang cukup mengejutkan -- saking saratnya ia dengan bahasa revolusioner Marxis. Kata "perjuangan klas" membayang hampir di setiap alinea. Marxisme dipuji sebagai pemberi analisa yang efektif. CIA dikutuk, begitu pula Departemen Luar Negeri AS. Dan "jalan tengah" ke arah pemecahan masalah sosial dianggap gagal. Sistem sosialisme adalah tujuan satu-satunya. Berada di Atas Persaingan Maka barangkali melihat semua ini, sokongan dari Vatikan terhadap gerakan ini semakin berkurang. Pidato Paus Johannes Paulus II di Puebla itu merupakan gong yang menentukan -- setelah orang menduga-duga apa gerangan pendapat sang Bapa Suci tentang "theologi pembebasan". Gereja, kata Paus, ingin berada di atas sistem-sistem yang bersaingan. Betapapun besarnya penderitaan atau kesengsaraan yang diderita manusia, kekerasan bukanlah jalan untuk masa depan yang lebih baik. Juga permainan kekuasaan dan sistem politik bukan jalan kebenaran. Namun apapun kata Paus, bagi para penganjur "theologi pembebasan" pertanyaannya masih tetap: Bagaimana mereka dapat mengurus kebutuhan rohaniah gembalaannya yang kehilangan hak dan terbengkalai, tanpa mereka ikut melenyapkan kondisi sosial-politik dari keterjepitan itu? Sebuah pertanyaan yang baik, kata tajuk Tle New York Times. Namun di penghujung dasawarsa 1970-an, Paus Johannes Paulus II mungkin bisa juga mengajukan pertanyaan yang baik: penderitaan karena kemiskinan dan kesewenang-wenangan memang begitu parah di banyak bagian di Amerika Latin, tapi adakah Marxisme akan membawa pembebasan? Paus Johannes Paulus II, orang Polandia itu, pasti bilang tidak. Setidaknya "Che" Guevarra sudah tak ada lagi dan Kuba -- bahkan di mata seorang komunis dari Beijing dan Pangeran Sihanouk -- kini lebih nampak sebagai agen Uni Soviet yang tak lagi membedakan mana "pembebasan" dan mana ekspansi di negeri miskin Afrika.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus