Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Nasib jempol gadis cilik

Deborah Beru Barus, 12, dituduh mencuri perhiasan milik Awet Beru Ginting, tetangganya di tanah Karo, Sum-ut. Ia ditampar & ditendang polisi ketika ditanyai. Namun ia tak mengaku. Ayahnya menolak damai.

1 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEBORAH beru Barus, 12 tahun, pelajar kelas VI SD Negeri Daulu, dulunya lincah. Kini ia sering linglung. Bocah warga Desa Daulu, Kecamatan Tigapanah, Tanah Karo, Sumatera Utara, itu bahkan gemetar dan segera bersembunyi tatkala melihat polisi, atau disapa orang yang belum dikenalnya. "Gara-gara ia pernah ditangkap polisi," desah Kebun Barus, ayah Deborah. Itu kejadian pertengahan Desember tahun lalu. Berawal dari Awet beru Ginting. Sepulang dari ladang, Awet terkejut melihat gelang dan cincin emasnya, 27 gram, raib dari sisipan dinding kayu kamarnya. Ia ingat, tadi berpapasan dengan Deborah. Anak itu akan mencuci piring ke kali dan, katanya, terkejut melihatnya. "Gelagatnya mencurigakan," tutur Awet. Di rumah, dua anaknya mengaku Deborah tadi singgah. Alasannya, mencari uang logam Rp 50 -- miliknya yang menggelinding ke situ. Maklum, rumah kayu mereka berdempetan. Mendengar itu, Awet kontan menuding Deborah. Meski si bocah menyanggah, ditambah tangisan waktu ditanyai orangtuanya, Edi Purba -- suami Awet -- melabraknya. Petani sayur ini menghardik dan mengancam akan melaporkan ke polisi. Sambil menjerit, Deborah lari ke rumahnya dan membongkar lemarinya agar diperiksa. Saat itu mulai malam. Edi malah membawanya ke Polsekta Brastagi, 10 km dari rumah mereka. Pengaduan Edi diproses. Awalnya Sertu Zulkifli menanyai anak itu dengan halus. Deborah menampik tuduhan itu. Zulkifli menyeretnya masuk sel plus tamparan dan tendangan di pinggul. Namun, yang meluncur dari bibir bocah ini tetap sangkalan. Pukul 23.00, gadis manis berkulit putih ini diseret ke sel. Deborah gemetar, lalu mengaku perhiasan itu diambil teman mainnya di desa. Tengah malam itu juga, pengakuan Deborah dicek oleh beberapa petugas bersama Zulkifli ke Daulu. Karena dianggap bohong, Deborah dibawa lagi ke kantor polisi. Kali ini ia direndam di bak. Rambutnya dijambak berulang kali. Puncaknya, keheningan malam pecah oleh raungan Deborah, ketika jempol kaki kirinya dihimpit dengan kaki meja -- dan di atasnya duduk dua petugas. Kuku anak itu copot. Darah memburat. Interogasi agaknya dianggap sukses, sebab si anak mengaku bahwa perhiasan itu disembunyikannya di belakang lemari Awet. Pengakuan itu ternyata bohong lagi. Barang itu tidak ada di sana. Begitu pula di tempat lain. "Bikin capek polisi saja kau," Pak Polisi berteriak sambil menampar gadis itu sekali lagi. Ini dilakukan di hadapan orangtua gadis cilik itu. Derita Deborah belum segera disadari keluarganya. Tapi beberapa kali ia mengigau dalam tidurnya, "Aku disiksa polisi, aduh," tutur Nyonya Kasiana, sang ibu. Barulah keluarga sembilan anak ini geger. Yang lebih membuat hati orangtuanya ngilu: dalam perjalanan pulang, Deborah direngkuh masuk dalam sarung petugas. Sejak itu tingkah laku Deborah seperti orang bingung. Wajahnya pucat. Tak mau bersekolah. Sampai orangtuanya membawa ke rumah sakit di Brastagi, akhir Desember silam. Dari visum dokter, terbukti adanya tindakan kekerasan. Ia juga diperiksakan ke RS Jiwa Medan. Dokter bilang, stres dan beban pikiran akibat ketakutan yang bersangatan. Deborah menjalani rawat jalan tiga minggu. Kasus ini diadukan ke POM ABRI di Brastagi, awal Januari lalu. Polres Tanah Karo juga turun tangan. Dan sejak 20 Januari lalu, gadis yang menjelang ujian akhir sekolah dasar itu sudah masuk sekolah lagi. Semua guru menjaganya dengan khusus. Sementara itu, Edi Purba mengajak damai. Namun, Kebun Barus menampik. Sedangkan dari sumber di Polres Tanah Karo, pemeriksaan terhadap Zulkifli masih berlangsung sampai Senin pekan ini. Sri Indrayati dan Affan Bey Hutasuhut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus