Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ketika Dunia Menuntut Indonesia

PBB meminta agar Eurico Guterres diekstradisi ke Timor Loro Sa'e. Tapi Indonesia sulit mengabulkan. Apalagi tak ada aturannya.

24 Februari 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH dua tahun lebih Timor Timur le-pas dari Indonesia. Ternyata, bekas provinsi bungsu di Indonesia yang kini menjadi negara merdeka bernama Timor Loro Sa'e itu masih memberikan segudang perkara buat Indonesia. Buktinya, pemerintahan sementara PBB untuk Timor-Timur (UNTAET) meminta Indonesia agar mengekstradisi mantan tokoh milisi di Timor Timur, Eurico Guterres, ke Timor Loro Sa'e. Permintaan itu diungkapkan oleh Wakil Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB, Dennis Mc Namara, Rabu pekan lalu di Dili, ibu kota Timor Loro Sa'e. Bahkan Senior Officer UNTAET di Jakarta, Juvencio, menyatakan bahwa permintaan ekstradisi sudah disampaikan oleh Jaksa Longinhos kepada Kejaksaan Agung. Buat UNTAET, Eurico menjadi penting. Sebab, pentolan milisi binaan TNI itu harus mempertanggungjawabkan kasus kejahatan hak asasi manusia jenis crimes against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan). Eurico bersama 16 orang sipil dan militer Indonesia dianggap terlibat dalam kejahatan yang terjadi pada April 1999, atau empat bulan sebelum referendum yang berujung dengan kemer-dekaan Timor Timur dari Indonesia. Kasus dimaksud berawal dari apel siaga milisi prointegrasi, Sabtu, 17 April 1999, di halaman Kantor Gubernur Tim-Tim, Abilio Soares. Pada apel yang dihadiri sekitar 1.500 orang bersenjata itu diresmikan pula berdirinya "pasukan" Aitarak alias Pasukan Duri dengan komandan Eurico Guterres. Pasukan ini merupakan tandingan terhadap kampanye kelompok prokemerdekaan Tim-Tim. Di depan para pejabat pemerintah daerah, Eurico membakar semangat anggotanya dengan orasi bernada permusuhan terhadap kelompok prokemerdekaan. Ia juga menghujat bekas Gubernur Tim-Tim, Mario Viegas Carascalao, yang menjadi staf ahli presiden waktu itu, B.J. Habibie. Mario dianggap sepaham dengan kakaknya, Manuel Carascalao, Ketua Umum Gerakan Rekonsiliasi, yang prokemerdekaan. Setelah "membakar", Eurico mengajak pasukannya berpawai keliling Kota Dili. Mereka lantas menyerbu rumah Mario Carascalao, yang ketika itu dijadikan tempat pengungsian warga karena takut dengan serangan milisi prointegrasi. Ratusan peluru diberondongkan dari senjata api Aitarak. Akibatnya, sebanyak 12 orang sipil terbunuh, termasuk Manuel Intan Carascalao, 21 tahun, anak Manuel. Persoalannya, bisakah Eurico, yang kini aktif di PDIP, diekstradisi (dikirim) ke Timor. Menurut ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Hakristuti Hakrisnowo, hal itu tak mungkin. "Karena tak ada perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Timor, Indonesia tak wajib memenuhi permintaan itu, baik atas permintaan Timor maupun PBB," kata Harkristuti sebagaimana dikutip oleh Hukumonline. Memang, untuk kejahatan hak asasi manusia, negara-negara di dunia sudah punya perjanjian internasional berupa Statuta Roma Tahun 1998. Berdasarkan statuta ini, para pelaku kejahatan hak asasi manusia bisa diadili di Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag, Belanda. Mahkamah ini menggantikan posisi mahkamah internasional ad hoc, yang selama ini sudah diberlakukan pada kasus hak asasi di Bosnia, Rwanda, dan Somalia, juga kasus kejahatan Perang Dunia II. Tapi, Indonesia termasuk negara yang belum meneken dan meratifikasi Statuta Roma Tahun 1998. Lagi pula, salah satu klausul dalam statuta itu menyebutkan bahwa mahkamah pidana internasional merupakan pelengkap dari yuridiksi pidana nasional sebuah negara. Artinya, kalau negara tersebut sudah mengadili kasus hak asasi manusia dimaksud, mahkamah pidana internasional tak boleh lagi menjamahnya. Memang, mendatang ini Indonesia akan menyidangkan kasus hak asasi pascajajak pendapat di Timor Timur pada pengadilan hak asasi manusia ad hoc di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Eurico dan beberapa bekas pejabat sipil serta TNI dan kepolisian di Timor Timur di-jadikan tersangkanya. Tak aneh bila Eurico mendukung upaya pengadilan hak asasi ad hoc di Jakarta. "Saya siap dan akan tunduk menerima hukuman dari pengadilan Indonesia. Sebab, saya WNI dan hanya menghormati hukum Indonesia," ujar Ketua Umum Front Pembela Merah Putih itu. Eurico malah balik menuding UNTAET keliru mempersoalkan ekstradisi. "Mereka (Timor Timur) selalu mengatakan bahwa saya harus ditangkap. Itu tidak benar. Saya bukan warga negara Timor Timur. Ketika peristiwa itu terjadi, Timor Timur juga masih berada dalam wilayah Indonesia," ia menambahkan. Jadi, upaya apa yang akan ditempuh PBB? Masih mungkinkah menggunakan Statuta Roma Tahun 1998 atau konvensi internasional lainnya bila pengadilan hak asasi ad hoc di Jakarta dinilai tak memenuhi standar inter-nasional, misalnya dalam soal tingkatan tersangka, yang tak menjangkau para jenderal TNI dan kepolisian, ataupun jenis deliknya, yang cuma melingkupi KUHP? Ahmad Taufik, Rian Suryalibrata, dan Ardi Bramantyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus