Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM sepekan terakhir ini Asiu tak bisa tidur lelap. Bukan lantaran panasnya hawa Kota Medan, tempat pria 45 tahun itu tinggal bersama keluarganya. Bukan pula karena sepinya pembeli di tokonya yang berdagang alat listrik. Asiu, yang sudah puluhan tahun menetap di ibu kota Provinsi Sumatera Utara itu, sedang ”demam” digoyang urusan kuburan. Kuburan?
Begitulah. Sejak sepekan belakangan ini surat kabar Medan ramai memberitakan ihwal pajak kuburan mewah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kabarnya, bersama Pemerintah Kabupaten Deli Serdang sedang menggodok rancangan peraturan daerah tentang pajak kuburan.
Meski aturan itu akan diberlakukan di Deli Serdang, yang jaraknya puluhan kilometer dari Medan, Asiu alias Djo Ko Hun terimbas dampaknya juga. Kebetulan, di pemakaman Tanjung Morawa, Deli Serdang, ia punya sebidang tanah. Di atas tanah itu pula berdiri bangunan makam ayahnya, Djo Cipto, dan ibunya, yang wafat sepuluh tahun silam.
Jika peraturan daerah itu diterapkan, jelas makam kedua orang tua Asiu bakal ditarik pajak. Asiu pusing. ”Orang sudah meninggal kok dikenai pajak,” katanya ketika ditemui Tempo di rumahnya yang sederhana, Selasa pekan lalu. ”Ini peraturan tidak manusiawi,” ayah tiga anak itu menambahkan.
Ia menilai kebijakan pemerintah daerah itu tidak adil. Pasalnya, yang menjadi sasaran adalah warga etnis Tionghoa, yang biasanya mendirikan makam dengan bangunan lebih besar dari makam warga pada umumnya. ”Aturan ini diskriminatif,” katanya sambil berharap aturan itu tidak diterapkan, untuk mencegah munculnya gejolak dan keresahan warga Tionghoa.
Di kalangan Tionghoa, membangun makam berukuran besar dengan hiasan indah tak langsung berhubungan dengan kekayaan. Contohnya Asiu. Rumahnya di kawasan Petisah, Kota Medan, hanya diisi perabot seadanya. Mobil ia tak punya, juga segala macam perangkat elektronik canggih. Membangun makam, bagi umumnya warga Tionghoa, lebih merupakan bagian dari kepercayaan dan tradisi.
Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia Kota Medan, Karya Elly, menjelaskan bahwa ukuran besar dan indahnya makam dipercaya sebagai wujud bakti anak kepada orang tua. ”Kalau kita sanggup, ya, buat yang bagus,” katanya. Ada pula sejumlah ornamen yang tak boleh terlewat dalam membangun makam, yaitu batu nisan, tempat pembakaran hio, dan ”rumah datuk”. Itu sebabnya dibutuhkan ruang lebih jembar.
Sebetulnya, pajak kuburan mewah ini sudah diterapkan Pemerintah Daerah Deli Serdang sejak hampir empat tahun lalu. Pungutan yang diatur dalam Peraturan Daerah No. 26/2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan Penghiasan Kuburan ini mengatur pengenaan pajak berdasarkan ukuran luas lahan atau bangunan yang ada di makam. Dalam aturan itu, bangunan makam yang luasnya lebih dari 3,5 meter persegi, atau tingginya lebih dari setengah meter, dikenai pajak.
Pungutan yang dikenakan Rp 100 ribu per tahun untuk makam dengan luas bangunan 3,5 meter sampai 6 meter persegi, dan Rp 4 juta per tahun untuk makam dengan luas 100 meter sampai 150 meter persegi. Lebih dari 150 meter persegi, setiap kelebihan satu meter persegi dikenai pungutan Rp 60 ribu.
Peraturan ini disahkan pada 2000, tapi baru diberlakukan tiga tahun kemudian. Sejak diterapkan pada 2003, kata Elly, sejumlah warga Tionghoa di Deli Serdang dan Medan sudah mengajukan keberatan, tapi tampaknya tak sampai ke gedung Dewan atau pemerintah daerah. ”Kami akhirnya menerima saja aturan itu,” katanya.
Pada mulanya, pajak kuburan ini tak terlalu dirasakan, karena pembayarannya ditangani oleh yayasan pengelola pemakaman yang dananya ditopang oleh kas yayasan dan donatur. Lama-kelamaan, menurut Elly, setiap tahun angka rupiahnya terus meningkat, sehingga yayasan tak mampu lagi. ”Kemudian diserahkanlah pembayarannya kepada ahli waris.”
Peningkatan tarif pajak kuburan itu dibenarkan Tarman Hartono, Sekretaris Umum Yayasan Angsapura, salah satu yayasan pengelola pemakaman warga Tionghoa di Deli Serdang. ”Setiap tahun kenaikannya mencapai 80 persen,” kata Tarman. Sebagai yayasan yang terbesar, Angsapura kini mengkoordinasi sebelas yayasan pengelola pemakaman Tionghoa lainnya di Deli Serdang.
Belum lama ini, para pengurus ke-12 yayasan itu sepakat membentuk ”Tim Pencari Keadilan Perda Kuburan”, yang diketuai Karya Elly. Tambahan pula, DPRD dan Pemerintah Daerah Deli Serdang kini sedang merevisi Peraturan Daerah No. 26/2000 itu, dengan rencana menaikkan tarif pajak. ”Saya dengar kenaikannya sampai seratus persen,” kata Tarman Hartono.
Tudingan diskriminatif dibantah anggota DPRD Deli Serdang, Abdul Latief Khan. Latief, yang juga wakil sekretaris panitia khusus rancangan peraturan daerah tentang kuburan ini, mengatakan jika ada makam selain milik warga Tionghoa yang masuk kriteria dapat dikenai pajak, seharusnya juga dikenai pajak. ”Jadi, bukan hanya untuk etnis Tionghoa,” katanya.
Menurut Latief, panitia khusus telah mengundang sejumlah kalangan—tak hanya warga Tionghoa—untuk membahas rancangan peraturan ini. ”Kemarin kami juga memanggil orang Kristen sampai aliran kepercayaan,” katanya. ”Bisa dicek ke Dinas Pendapatan Daerah, apakah pajak itu dikenakan hanya kepada etnis Tionghoa.”
Wakil Ketua DPRD Satria Yudha Wibowo membantah kenaikan tarif pajak kuburan setiap tahun. ”Tarif tidak bisa naik begitu saja, karena ada peraturan yang mengikat,” katanya. ”Dalam revisi, kami memang berencana menaikkan Rp 10 ribu hingga Rp 15 ribu untuk setiap ukuran meter bujur sangkar,” ia menambahkan.
Dari kalangan akademisi, dosen sekaligus pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia, Andrinof Chaniago, berpendapat bahwa pajak kuburan ini melanggar undang-undang tentang hak asasi manusia, khususnya pasal mengenai hak-hak sosial budaya masyarakat. Tradisi pemakaman, katanya, bersumber dari sistem nilai yang dianut kelompok masyarakat, termasuk etnis Tionghoa, yang diakui oleh konvensi internasional. ”Hak sosial-budaya masyarakat justru harus dilindungi, bukan malah dibatasi oleh beban pajak atau retribusi,” katanya. Ia menilai pajak kuburan ini hanya upaya pemerintah daerah menambah pendapatan asli daerah. ”Sebab, di daerah lain tidak ada aturan seperti itu.”
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan, Mardiasmo, malah menilai pajak kuburan itu melanggar Undang-Undang No. 34/2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Menurut dia, kuburan sama halnya dengan rumah ibadah atau hutan lindung, yang dikecualikan untuk dikenai pajak bumi dan bangunan. ”Dari aspek sosial, kuburan tidak layak dikenai pajak,” ujarnya.
Akan timbul pula pertanyaan, siapa yang harus membayar pajak itu. ”Kalau rumah biasa, enggak bayar pajak bisa disegel,” katanya. ”Lha, kalau kuburan, apa mau dibongkar?” Pungutan pajak seperti itu, kata Mardiasmo, akan dievaluasi departemennya. ”Akan kami rekomendasikan ke Departemen Dalam Negeri untuk dibatalkan,” katanya.
Tim Pencari Keadilan Perda Kuburan selangkah lebih maju. Mereka sedang menyiapkan upaya hukum, meminta Mahkamah Agung menguji peraturan daerah tentang pajak kuburan itu, seraya akan melaporkannya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. ”Langkah selanjutnya adalah meminta Menteri Dalam Negeri membatalkan peraturan daerah ini,” ujar Karya Elly.
Dimas Adityo, Hambali Batubara (Deli Serdang), Sahat Simatupang (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo