Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

”Kalau Tidak Jujur, Buat Apa?”

29 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seks memang selalu menjadi barang dagangan paling mudah dijual, meski itu cuma melalui sebuah konotasi kata. Film Virgin karya Hanny R. Saputra menyentak penonton bukan karena film ini menyajikan adegan seks, tetapi menyajikan sebuah konotasi; sebuah bayangan tentang anak-anak remaja yang menjual diri. Sebuah film yang ”masya Allah”? Ya. Jorok? Tidak. Bikin garuk kepala? Ya. Bikin heran? Ya, karena Hanny Saputra, 39 tahun, alumni Institut Kesenian Jakarta itu, dikenal sebagai sutradara film televisi yang pernah menggaet delapan Piala Vidia di Festival Sinetron Indonesia untuk Sepanjang Jalan Kenangan, Piala Emas di Cairo Film Festival for Children untuk Nyanyian Burung, dan film televisinya berjudul Lo Fen Koei meraih Best Cinematography dan Best Editor Asian Television Technical & Creative Award. Kenapa dia menggarap film seperti ini?

Kepada Akmal Nasery Basral dari Tempo, Hanny menjawab. Berikut petikannya:

Apa benar perilaku remaja kita seperti dalam film itu?

Ini sebagian fenomena anak gaul di Jakarta sekarang. Biasanya mereka berkumpul dulu di sebuah kafe di Jakarta Pusat. Makin malam mereka berpindah-pindah tempat, termasuk ke kawasan sebuah mal di Jakarta Selatan. Adegan Stella (Ardina Rasti) dan Luna (Uli Aulianti) yang bertaruh siapa yang kalah buka baju, itu dalam istilah anak-anak gaul disebut permainan truth or dare. Ketika saya sedang riset untuk pra-produksi, salah seorang anak gaul bilang pernah ada yang kalah truth or dare dan dihukum harus lari telanjang mengelilingi hotel tempat mereka menginap.

Katakanlah dari 10 remaja putri, berapa banyak yang ”terjun” ke pergaulan seperti ini? Anda punya data?

Saya tidak bisa bilang berapa persen, karena ini bukan penelitian ilmiah. Tapi yang jelas cukup banyak. Hal ini yang membuat saya terinspirasi (untuk membuat film ini) ketika seorang teman memberi tahu bahwa ada temannya yang ingin melepas keperawanannya, asal bukan dengan pacar. Saya kira banyak orang tua yang harus tahu adanya perubahan norma yang sangat cepat di kalangan remaja sekarang, terutama di Jakarta.

Dengan visualisasi yang sangat ekstrem seperti itu, Anda yakin para orang tua mendapat manfaat, dan bukannya jadi ”bahan pelajaran” baru bagi para ABG (anak baru gede)?

Untuk konsep visual, Virgin memang dibuat dengan mood bandel ala MTV. Liar. Harus shocking. Penonton yang sering menonton MTV sebenarnya tak terlalu aneh melihat visualisasi seperti ini. Ini sebuah film pop yang mencoba memotret fenomena terkini. Kalau enggak jujur, buat apa? Saya ingin menggambarkan hubungan sebab akibat dari tindakan para remaja putri itu. Dan sikap film ini sebenarnya jelas: apa pun yang terjadi, seorang remaja putri harus menjaga keperawanannya.

Tapi bukankah di MTV sendiri, gambar jari tengah teracung dan f-word (kalimat umpatan berbahasa Inggris) selalu dibuat blur bahkan dihilangkan? Kenapa di Virgin justru bertaburan sejak awal sampai akhir film?

(Tertawa) Ya, ya. Mungkin di situ agak berlebihan.

Lembaga Sensor Film banyak menggunting film Anda ya?

Untuk gambar praktis tidak ada, yang disensor hanya beberapa kalimat.

Kelihatannya Anda sangat terpengaruh dengan film Thirteen, dan mencampurnya dengan Coyote Ugly yang lebih dewasa. Bukankah ini film remaja?

Film Thirteen memang menjadi salah satu referensi utama. Tapi Lembaga Sensor Film memberikan label Virgin sebagai film dewasa, bukan remaja.

Anda puas dengan hasil akhirnya?

Saya mengerjakan ini dalam 26 hari, buat saya itu sangat mepet. Ekspresi saya banyak yang hilang. Saya salut dengan Rudy (Soedjarwo) yang bisa menggarap bikin film dalam 14-15 hari, dan Garin (Nugroho) yang lebih pendek lagi. Saya tidak bisa seperti itu.

Apa rencana Anda setelah ini?

Saya akan bikin sebuah film psychological thriller seperti The Sixth Sense bersama SinemArt. Setelah itu sebuah art film, kerja sama dengan Ayu Azhari sebagai produser dan Afrizal Malna sebagai penulis naskah. Kisahnya tentang seorang perempuan yang punya lima kekasih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus