Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kisah Jenderal Hoegeng yang Menolak Rumahnya Dijaga Polisi dan Tak Izinkan Anaknya Masuk Akabri

Kapolri ke-5 RI, Hoegeng Iman Santoso, kerap menolak perlakuan istimewa dan menjaga anaknya memanfaatkan nama besarnya.

2 Juli 2022 | 09.00 WIB

Hoegeng Iman Santoso
Perbesar
Hoegeng Iman Santoso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Hoegeng Iman Santoso adalah mantan Kapolri yang dikenal sebagai polisi sederhana, jujur, dan tak kenal kompromi. Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur, bahkan pernah menyebutkan kelakar "Ada tiga polisi jujur di Indonesia, yaitu polisi tidur, patung polisi, dan Jenderal Hoegeng". Selain jujur, Hoegeng pun kerap menolak perlakuan istimewa kepadanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dikutip dari Majalah Tempo edisi 16-22 Agustus 2021, meskipun telah menjabat sebagai Kapolri, Hoegeng menolak untuk mendiami rumah dinasnya di sekitar markas besar Polri karena penjagaannya yang ketat. Ia memilih untuk tetap tinggal di rumah kontrakan yang sudah ia huni bersama keluarga jauh sebelum menjadi Kapolri supaya masyarakat bisa datang kapan saja. Hoegeng menolak adanya penjagaan di rumah itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Ketika ia baru saja dilantik menjadi Panglima Angkatan Kepolisian RI pada 5 Mei 1968, rumahnya kedatangan truk yang mengangkut material bangunan. Tukang yang datang mengatakan hendak membangun sebuah pos jaga. Hal itu ditolak Hoegeng. Ia justru meminta para tukang untuk memasang sebuah tiang bambu setinggi kira-kira 30 meter untuk digunakan sebagai radio pemancar. Hal itu dimaksudkan agar Hoegeng bisa mengawasi kegiatan polisi dari berbagai daerah.

Di sisi lain, Hoegeng pun menjaga anak-anaknya agar tidak memanfaatkan jabatannya sebagai Kapolri. Salah satu contohnya adalah ketika anaknya, Aditya Soesanto, diam-diam mengurus berkas dalam upaya masuk ke Akademi Angkatan Udara (Akabri) di Maguwoharjo, Yogyakarta. Cita-cita Aditya sedari kecil memang menjadi seorang pilot jet tempur. Namun, Aditya pun mati kutu tattkala ia diharuskan mengantongi surat izin orangtua.

Tenggat pendaftaran semakin dekat, Aditya pun nekat mendatangi sang ayah di kantornya. Ia kemudian terus terang kepada Hoegeng tentang keinginannya masuk Akabri. Dalam upayanya itu, ia belum berhasil membuat Hoegeng membubuhkan tanda tangannya pada formulir. Beberapa hari kemudian, Hoegeng meminta Aditya kembali bertandang ke kantornya. Ia meminta anaknya tidak masuk Akabri dan menolak memberikan tanda tangannya. 

Malamnya, usai bersantap, Hoegeng pun klarifikasi kepada putranya. Alasan Hoegeng enggan Aditya memiliki tanda tangannya adalah karena ia tidak mau hal itu menjadi “pelicin” Aditya selama proses seleksi. Setelah itu, Aditya pun banting setir dan meniti karier hingga menjadi eksekutif di perusahaan manufaktur alat musik asal Jepang.

HATTA MUARABAGJA 

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus