KANTOR Polisi Matraman yang kecil mungil dan terletak di
tikungan Jalan Pramuka-Matraman, Jakarta itu petang Jumat minggu
lalu mendadak dipagari rapat oleh mereka-mereka yang punya
hasrat ingin tahu. Ada apa? Selidik punya selidik, ternyata yang
bikin ulah si Mamat. Lelaki berusia sekitar 30 tahun ini, ketika
itu masih tergeletak sambil merintih-rintih di lantai ubin
dengan tangan terborgol. Menurut perwira piket yang bertugas
ketika itu Mamatlah orangnya yang beberapa waktu lalu bikin
gaduh di pasar Matraman. Dia pulalah orangnya yang pernah
membobolkan sel polisi Tanggerang. Dan terakhir gara-gara Mamat
inilah pula sampai Letnan Kolonel Nainggolan, Komandan Komwil
Jakarta Timur dua mmggu lalu benar-benar marah. Soalnya, Mamat
yang ketika itu ditahan di sana -- sambil menunggu penyelesaian
perkaranya yang entah sudah ke berapa--lagi-lagi membongkar sel
tahanannya dengan menggunakan obeng dan kemudian lari. Kalau
saja ia pergi sendiri tanpa membawa tahanan lainnya, barangkali
Letkol Nainggolan tidak akan begitu marah. Tapi kali ini ada
enam orang yang lari. Tentu saja yang jadi sasaran pak komandan
petugas-petugas jaga malam itu. Semuanya tujuh orang, dan mereka
langsung diperintahkan masuk sel, ketika itu juga.
Nah, seminggu setelah itu, atau tepatnya Jumat malam dua minggu
lalu, Mamat yang sebelumnya diduga melarikan diri ke Surabaya
dilaporkan nampak lagi di Stasion Pos Kramat. Dengar laporan
begitu berangkatlah Sersan Sarman ke sana. Ditunggu semalaman,
yang dicari tidak kelihatan. Sore berikutnya, barulah ia muncul.
dengan sigap, bung sersan bertubuh krempeng tapi lincah itu
keluar dari tempat pengintaiannya. Mamat yang sudah kenal betul
siapa laki-laki preman yang sedang tergesa-gesa mendekatinya itu
mencoba meloloskan diri. Terjadilah kejar-mengejar. Sarman
kemudian berhasil menggaet baju Mamat dan ketika itulah yang
terakhir ini berkata: "Sudahlah Pak, saya nyerah". Betulkah?
Ketika Sarman hendak mengeluarkan borgol dengan sebelah
tangannya, tahu-tahu Mamat berbalik mengayunkan tangannya yang
menggenggam pisau dapur ke arah dada Sarman. Kopral Suwito, yang
menemani Sarman waktu itu mencoba menangkap tangan Mamat. Tapi
Suwito terlambat. Pisau sudah menanap sedikit di bawah leher
Sarman setelah sebelumnya nyaris memutuskan salah satu
jempolnya.
Dua Butir
Darah mengalir deras. Tapi Sersan Sarman tidak perduli. Dengan
sekuat tenaga ia banting lawannya yang bertubuh sedang itu lalu
mencabut pistolnya. Eh, Mamat masih mau menyerang juga. Sersan
Sarman, tak ada pilihan lagi, terpaksa menggunakan juga
senjatanya. Dua butir peluru bersarang ke dalam tubuh Mamat
melalui luka-luka di bahunya. Dalam keadaan luka parah ia segera
dibawa ke RS Persahabatan, dengan pengawalan, tentu. Tapi nyawa
datang dan kembali kepada Yang Kuasa - dan tanggal 1 Desember
yang baru lalu, Mamat pun menyerahkan kembali nyawanya.
Bagi Sersan Sarman kematian Mamat, bagaimana pun punya arti
tertentu. Dalam keadaan luka-luka di tubuh yang tidak begitu
membahayakan, ia mengatakan kepada TEMPO: "Sebetulnya saya tidak
bermaksud menembak dia. Habis, sudah jadi teman ngobrol sih".
Ditemani isterinya di rumahnya dua pekan lalu, Sarman bahkan
mengatakan, ia sudah kenal dengan orangtua amat. Orangtua ini
katanya sudah putus asa mendidik Mamat, karena itu merasa pasrah
saja pada apa yang dila kukan polisi. Mamat sudah tiga kali
terciduk oleh tangan Sarman sendiri. Pantaslah Sarman risau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini