SIBUKNYA seperti keramaian di loket stasiun kereta api menjelang Lebaran. Begitulah pemandangan di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bogor, Jawa Barat. Lebih dari seratus orang saban hari berbondong antre untuk mengecek palsu atau tidaknya sertifikat tanahnya. Suasana itu terjadi sejak kasus sertifikat palsu mencuat dari kantor tersebut bulan silam. Dalam kasus itu, sebagaimana dikutip media massa, dikabarkan ada 1.200 sertifikat palsu. Sekitar 400 di antaranya diduga sudah dijaminkan di beberapa bank di Bogor dan Jakarta. Jumlah yang menggetarkan ini membuat pemilik sertifikat di sana resah. ''Mungkin sertifikat di tangan saya ini palsu pula,'' ujar sebuah sumber. Karena panjangnya antrean, jangka waktu pengecekan, yang biasanya tidak sampai satu jam, kali ini menjadi larut berhari-hari. Jumat pekan lalu, misalnya, sejak pukul 08.30 sampai 10.00 pemeriksaan sertifikat 45 warga hanya sampai pada proses pendaftaran. ''Akibatnya, penjualan tanah saya seharga Rp 275 juta terhambat,'' kata Sutrisno. Penduduk Semplak, Kabupaten Bogor, ini baru Senin dipastikan keaslian sertifikatnya. Hingga pekan lalu Kepolisian Sektor Kota (Polsekta) Bogor Utara sibuk mengusut pemalsuan sertifikat itu. Kasusnya terungkap seperti tidak sengaja. Awal Februari lalu seorang warga dan utusan sebuah bank ingin memeriksakan sertifikat warga itu. Padahal sertifikat itu sudah tiga kali diperiksa dan dinyatakan asli oleh Suwarto alias Toto, pegawai bagian arsip BPN Bogor. Anehnya, petugas loket, Zaidil Masrie, enggan memenuhi keinginan kedua tamu itu. Karena mereka terus mendesak, Zaidil pun mengambil sertifikat tadi. Begitu mengamati sertifikat itu, Zaidil melihat ada kejanggalan pada tulisan nama pemiliknya. Tu lisan itu seperti bekas dihapus. Keanehan itu segera dilaporkan Zaidil kepada atasannya, Bustamie, kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah. Lalu Bustamie menanyakan soal tersebut kepada Toto, 28 tahun. Ternyata pegawai golongan II-A ini enak saja mengaku bahwa sertifikat itu memang palsu. Dari sinilah polisi kemudian meringkus Toto dan delapan orang anggota komplotan pemalsu sertifikat itu. Dari komplotan tersebut polisi menyita berbagai bukti barang palsu berupa 156 buku tanah, 22 sertifikat, stempel BPN, dan stempel beberapa kepala desa. Hasil penyidikan, Toto ternyata memegang peran penting dalam komplotan itu. Dari pegawai BPN itulah komplotan yang biasa berbisnis tanah alias calo tanah itu memperoleh bahan sertifikat palsu. Bukti kepemilikan tanah itu diambil Toto dari sisa sertifikat Prona (Proyek Nasional Agraria) yang berakhir tahun 1981. Rupanya, sertifikat bertarif antara Rp 500 ribu dan Rp 1 juta itu sedikit yang ditebus pemiliknya. Sesuai dengan pesanan komplotan itu, Toto kemudian mengubah nama dan nomor sertifikat tersebut. Dan sebagai imbalannya, menurut Toto, ia menerima uang antara Rp 250 ribu dan Rp 500 ribu per sertifikat. Gambar situasi tanah dalam sertifikat itu juga diubah. Yang bertugas untuk ini adalah anggota komplotan bernama Dedi, yang pernah menjadi pegawai honorer di BPN Bogor. Untuk satu gambar, Dedi bisa menerima honor sekitar Rp 250 ribu. Sedikitnya ada lima desa di Kabupaten Bogor yang sering dipergunakan oleh komplotan itu sebagai lokasi tanah dalam sertifikat palsu. Kelima desa itu adalah Desa Cimanggis, Kalisuren, Bojongsari, Gedung waringin, dan Pondokpetir. Untuk itu pula mereka tidak lupa memalsu stempel dan tanda tangan kepala desa tersebut. Agar kejahatannya tetap tertutup, Toto diberi tugas berjaga- jaga di BPN. Ia memegang buku tanah juga palsu, buatan komplotan itu untuk melayani warga atau pihak ketiga yang mengecek sertifikat tanahnya. Upaya berat ini terus dipelihara Toto sampai ayahnya sendiri, Wahid, yang juga bekerja di bagian arsip, tidak mengetahui liku permainan bisnis anaknya itu. Kepada pemeriksa, komplotan itu mengaku menggarap proyek sertifikat palsu tersebut sejak tiga tahun lalu. Tapi mereka enggan menyebut berapa jumlahnya. ''Saya nggak bisa merincinya lagi berapa persisnya. Yang jelas, nggak sampai ribuan,'' ujar Toto sembari tersenyum. Kepala BPN Bogor, Saleh Achyar, membantah beritaberita koran yang menyebut angka 1.200 dan 400 itu. ''Kalau berita itu saya tanggapi, nanti malah tambah ramai, makin meresahkan pemilik sertifikat,'' katanya kepada Asikin dari TEMPO. Menurut Saleh, instansinya sudah menemukan 162 sertifikat palsu buatan komplotan itu. Hebatnya, ibarat rombongan penyanyi sedang kor, komplotan itu mengaku belum mengeruk untung dari proyek hitam itu. ''Kan sertifikatnya keburu diblokade BPN,'' kata Omang, 45 tahun, yang diduga polisi sebagai otak komplotan itu. Seorang anggotanya, Nyo nya Dewi, malah masih mampu berdalih. ''Itu urusan suami saya,'' katanya. Suaminya, Edi, yang sehari-hari menarik ojek, memang turut juga dalam komplotan itu. Kecuali soal laba, komplotan itu tetap tutup mulut jika ditanyai kepada siapa dan ke bank mana sertifikat palsu itu sudah dialirkan. Ini tentu menghambat polisi dalam melacak peredaran sertifikat bodong tadi. Apalagi sampai pekan lalu belum ada warga atau pihak bank yang mengadu ke polisi. Namun polisi sudah mendapatkan info adanya seorang pengusaha di Jakarta yang mendapatkan lima sertifikat palsu dari Omang. Selain itu, kini polisi terus memburu 12 tersangka lainnya. Bisakah polisi, juga BPN, mengusut tuntas kasus itu? Yang jelas, seperti dikatakan Toto, kasus pemalsuan mudah dilakukan karena belum tertibnya administrasi di BPN. Apa mau dikata, kondisi itu, ditambah dengan ruwetnya riwayat tanah, dimanfaatkan benar oleh komplotan pemalsu sertifikat tanah. Ini memang problem yang sudah klasik di BPN. Happy Sulistyadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini