Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Potensi Tersangka Baru Kasus Gratifikasi Syahrul

Pemberi gratifikasi kepada Syahrul Yasin Limpo patut diduga terlibat korupsi. Motif terpaksa tidak bisa dijadikan alasan.

23 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 16 Januari 2024. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Persidangan Syahrul Yasin Limpo mengungkap sejumlah fakta tentang keterlibatan keluarganya.

  • Anggaran Kementerian digunakan untuk kepentingan pribadi Syahrul dan keluarga.

  • Pegawai yang memberikan gratifikasi patut diduga terlibat korupsi.

Persidangan kasus korupsi di lingkungan Kementerian Pertanian mengungkap sejumlah fakta gratifikasi kepada Syahrul Yasin Limpo—ketika masih menjadi menteri—maupun kepada anggota keluarganya. Bahkan sejumlah pegawai di kementerian itu rela memotong anggaran demi memenuhi permintaan Syahrul. Antara lain untuk membayar kartu kredit, sunatan cucu, pembelian sapi kurban, perbaikan mobil, dan belanja makanan secara daring.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesaksian itu antara lain disampaikan oleh Fadjry Djufry, Kepala Badan Standardisasi Instrumen Pertanian Kementan. Menurut dia, para pejabat di Kementerian Pertanian pernah patungan untuk memberikan tunjangan hari raya (THR) kepada Syahrul dan staf sebesar Rp 50 juta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Permintaan THR itu dua kali disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Kementan periode 2021-2023, Kasdi Subagyono, yaitu pada Mei 2021 dan April 2022. "THR ini untuk Pak Menteri, ajudan, sopir, anggota satpam, petugas rumah tangga, dan sebagainya,” katanya dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu, 22 Mei 2024.

Mantan Sekjen Kementan RI, Kasdi Subagyono, di gedung ACLC Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 14 Mei 2024. TEMPO/Imam Sukamto

Fadjry menjelaskan, sumber uang untuk THR itu berasal dari penyisihan dana perjalanan dinas para pejabat, dana pemeliharaan kantor (bensin dan renovasi), hingga dana perjalanan dinas fiktif. Uang THR itu disiapkan oleh Kepala Bagian Umum Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementan Bekti Subagja dan dimasukkan ke dalam amplop. "Setelah itu, diberikan ke yang bersangkutan secara langsung untuk stafnya. Kalau untuk Pak Menteri, diserahkan ke ajudannya," ucap Fadjry.

Pakar hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, mengatakan uang yang mengalir ke Syahrul dan keluarganya itu adalah uang negara yang seharusnya digunakan untuk membiayai program dan kegiatan Kementerian. Karena itu, pegawai yang terlibat patut diduga turut melakukan korupsi. “Mereka menjadi kluster kedua,” katanya saat dihubungi, Rabu, 22 Mei 2024.

Kluster kedua ini, kata Hibnu, meliputi orang-orang yang berbuat curang dalam pengelolaan anggaran dengan memanfaatkan jabatan untuk kepentingan gratifikasi kepada atasan. Ketika terjadi penyuapan kepada atasan, kata Hibnu, pihak-pihak yang terlibat sudah pasti sama-sama tahu dan bersepakat.

Hibnu mengatakan, dalam kasus Syahrul Yasin Limpo, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya bisa menelusuri keterlibatan kluster kedua itu. Penyidik bisa menggunakan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, KPK dapat mengusut dugaan tindak pidana lain sesuai dengan pasal tersebut.

Menurut Hibnu, tidak ada alasan pemaaf bagi pegawai yang terlibat dalam gratifikasi Syahrul Yasin Limpo. Meski dalam persidangan ada saksi yang mengaku terpaksa menuruti permintaan agar tidak dicopot, alasan itu tidak bisa dijadikan pembenaran. Sebab, pemangku jabatan tetap memiliki pilihan untuk menolak. Apalagi perintah itu untuk melakukan tindak pidana. “Dia punya integritas, punya tujuan. Bila perintah itu salah, harus dilawan,” kata Hibnu.

Apabila seseorang menjalankan perintah tapi tidak tahu perbuatannya menyalahi aturan, kata Hibnu, KPK tentu memiliki mekanisme untuk mengujinya. Tidak tertutup kemungkinan orang tersebut terlibat dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU) secara pasif. Pelaku TPPU pasif adalah seseorang yang menikmati dan mengetahui uang hasil kejahatan. Sedangkan bila dia terlibat mengalihkan uang hasil kejahatan menjadi suatu aset, sudah bisa dikategorikan pelaku TPPU aktif. “Kasus ini sepenuhnya follow the money and follow the asset,” ujar Hibnu.

Dua terdakwa Sekjen Kementan RI, Kasdi Subagyono (kiri) dan mantan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan RI, Muhammad Hatta (kanan), mendengarkan keterangan saksi dalam sidang lanjutan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 17 April 2024. TEMPO/Imam Sukamto

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Yenti Garnasih, sependapat dengan Hibnu. Menurut dia, aliran uang dari pegawai Kementerian Pertanian kepada Syahrul merupakan bentuk penyuapan. Meski perbuatan itu dilakukan dengan terpaksa, mereka tetap memiliki pilihan untuk menolak walau terancam dicopot dari jabatan.

Tindak pidana yang dilakukan secara terpaksa memang bisa dijadikan alasan untuk memberikan pengampunan. Namun hal itu dimungkinkan bila keterpaksaan muncul karena nyawa terancam atau demi mempertahankan harta benda. Misalnya saja dalam kasus pembegalan.

Adapun dalam perkara gratifikasi Syahrul, tidak ada ancaman semacam itu. Bentuk keterpaksaan yang dirasakan pegawai Kementerian hanya demi mempertahankan jabatan. “Ini memang sistem buruk yang dibiarkan, kesalahan kolektif,” kata Yenti.

Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri belum bisa dimintai tanggapan perihal kemungkinan penyidik mengusut pegawai Kementerian Pertanian yang diduga memberi gratifikasi kepada Syahrul Yasin Limpo.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
M. Faiz Zaki

M. Faiz Zaki

Menjadi wartawan di Tempo sejak 2022. Lulus dari Program Studi Antropologi Universitas Airlangga Surabaya. Biasa meliput isu hukum dan kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus