Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 77 guru besar antikorupsi yang mencangkup Emil Salim hingga Azyumardi Azra, mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghentikan rencana pelantikan pegawai KPK yang rencananya digelar hari ini, Selasa, Juni 2021. Mereka menilai banyak problematika yang mengiringi proses peralihan status pegawai KPK menjadi ASN, termasuk di antaranya pemecatan 51 pegawai yang tak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami berharap Presiden Joko Widodo membatalkan rencana pelantikan pegawai KPK menjadi ASN yang sedianya dilakukan pada tanggal 1 Juni 2021. Dan mengangkat seluruh pegawai KPK menjadi ASN (Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil," ujar Atip Latipulhayat perwakilan salah satu guru besar, dalam keterangan tertulis, Senin, 31 Mei 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koalisi Guru Besar Antikorupsi menegaskan ada tiga permasalahan yang akan timbul pasca pemberhentian 51 pegawai KPK. Pertama, penanganan perkara besar akan terganggu. Mereka melihat mayoritas pegawai yang diberhentikan berprofesi sebagai penyelidik dan Penyidik yang sedang menangani sejumlah perkara. Mulai dari suap pengadaan bantuan sosial di Kementerian Sosial, hingga suap di Direktorat Pajak.
"Tentu konsekuensi logis dari hasil penyelenggaraan TWK, para penyelidik dan penyidik tersebut tidak bisa menangani perkara itu. Selain itu, terdapat pula singgungan praktik menghalang-halangi proses hukum (obstruction of justice) dari pimpinan KPK," kata Atip.
Selain itu, Atip juga melihat citra kelembagaan KPK akan semakin menurun di mata publik. Sepanjang 2020, setidaknya ada delapan lembaga survei yang menyebutkan bahwa KPK tidak lagi menjadi lembaga paling dipercaya.
Berangkat dari poin ini lalu mengaitkan dengan kekisruhan TWK, Atip meyakini tahun-tahun mendatang ekspektasi publik akan semakin merosot tajam pada KPK. "Ditambah dengan berbagai permasalahan yang kerap diperlihatkan oleh Pimpinan KPK itu sendiri," kata Atip.
Masalah ketiga, adalah permasalahan di internal KPK akan memicu kembali menurunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. Mengacu pada temuan Transparency International, Atip mengatakan IPK Indonesia mengalami penurunan sangat signifikan pada tahun 2020 lalu, baik dari segi peringkat maupun poin.
"Sehingga, kekisruhan ini harus segera diakhiri agar
pelaksanaan pemberantasan korupsi dapat berjalan sebagaimana mestinya," kata Atip.
Atip mengingatkan pada Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, juga dikatakan bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN). Sehingga dalam lingkup kepegawaian, seluruh pemangku kepentingan harus mengacu pada kebijakan yang diambil oleh Presiden.
Namun ia melihat yang terjadi terlihat justru sebaliknya. Pernyataan Jokowi yang meminta TWK tak dijadikan dasar pemecatan pegawai KPK, justru seperti diabaikan begitu saja, baik oleh Pimpinan KPK maupun Kepala Badan Kepegawaian Negara.
Atas dasar itu pula, Koalisi Guru Besar Antikorupsi meminta Jokowi untuk menarik pendelegasian kewenangan pengangkatan ASN dari KPK.
"Karena terdapat sejumlah persoalan hukum yang belum terselesaikan (Pasal 3 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil)," kata Atip.
77 guru besar antikorupsi yang menanggapi soal pelantikan pegawai KPK ini terdiri dari sejumlah universitas dalam negeri. Selain Emil Salim, Azyumardi Azra, dan Atip Latipulhayat, ada pula nama-nama seperti Frans Magnis Suseno, Sigit Riyanto, hingga Jan S Aritonang.