Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Komnas HAM Desak Proses Hukum Kekerasan Seksual Guru Besar UGM dan Dokter PPDS Unpad

Komnas HAM memandang serius dua kasus itu karena menyangkut figur publik yang seharusnya memberikan perlindungan.

10 April 2025 | 16.14 WIB

Koordinator Sub Komisi Pemajuan HAM, Anis Hidayah memberikan keterangan pers merespons serangan teror kepala babi dan bangkai tikus kepada Tempo di Kantor Komnas HAM, Jakarta, 27 Maret 2025. Tempo/M Taufan Rengganis
Perbesar
Koordinator Sub Komisi Pemajuan HAM, Anis Hidayah memberikan keterangan pers merespons serangan teror kepala babi dan bangkai tikus kepada Tempo di Kantor Komnas HAM, Jakarta, 27 Maret 2025. Tempo/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendorong penindakan terhadap pelaku kekerasan seksual di institusi pendidikan tinggi. Lembaga itu menyoroti dua kasus menonjol yang baru-baru ini terungkap, yaitu dugaan kekerasan seksual oleh guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) dan dokter peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) Universitas Padjadjaran (Unpad).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Meskipun proses di kampus sudah diberhentikan, sangat penting untuk ditindaklanjuti dengan proses hukum,” kata Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Anis Hidayah, di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis, 10 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Menurut Anis, Komnas HAM memandang serius dua kasus itu karena menyangkut figur publik yang seharusnya memberikan perlindungan, bukan justru menjadi pelaku kekerasan. “Posisi mereka itu kan di undang-undang TPKS disebut sebagai pihak yang seharusnya memberikan pelindungan dan pelayanan,” ujarnya.

Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), jabatan seperti dosen, guru besar, dan tenaga medis digolongkan sebagai profesi dengan tanggung jawab khusus terhadap keamanan dan kenyamanan publik, terutama kelompok rentan. Oleh karena itu, menurut Anis, pelaku dari kalangan ini patut dijatuhi hukuman yang diperberat.

“Dokter, guru besar, polisi—harus ada pemberatan hukuman karena statusnya,” kata dia.

Anis juga mengingatkan bahwa penyelesaian administratif di lingkungan kampus tak bisa menggugurkan proses pidana. Ia mencontohkan kasus di UGM yang dikabarkan hanya dihentikan melalui keputusan etik.

Majalah Tempo edisi 31 Maret–6 April 2025 memuat laporan berjudul Gelagat Cabul Profesor Pembimbing yang mengungkap dugaan pelecehan terhadap 15 mahasiswa oleh Edy Meiyanto. Total ada 33 kejadian yang dilaporkan ke Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual UGM. Tindakan itu terjadi saat proses bimbingan skripsi, tesis, dan disertasi, baik di kampus, rumah Edy di Minomartani, Sleman, maupun di lokasi penelitian.

“Semua orang juga sudah tahu. Kampus kini tak perlu menutupi lagi,” kata salah satu korban kepada Tempo. Korban menyebut Edy kerap menyentuh tangan, rambut, pipi, hingga mencium mahasiswa. Pelaku juga menghubungi mahasiswa di luar jam belajar dan meminta mereka mengirimkan foto.

Para korban menyambut baik keputusan UGM memecat Edy sebagai dosen. “Kami merasa kuat karena banyak dukungan dari luar UGM dan ramai,” ujar korban. Mereka kini menunggu kelanjutan proses sanksi berupa pencabutan status Pegawai Negeri Sipil (PNS) terhadap Edy. Menurut korban, pencopotan status itu penting untuk mencegah pelaku berpindah ke kampus lain.

Tempo dua kali mendatangi rumah Edy Meiyanto di Sleman dan mengirimkan surat permohonan wawancara. Namun, tak satu pun penghuni rumah merespons. Pesan ke nomor ponsel Edy juga tak dibalas.

Sementara itu, Polda Jawa Barat telah menahan dokter residen berinisial PAP sejak 23 Maret 2025. PAP diduga melakukan kekerasan seksual terhadap keluarga pasien RSHS Bandung pada pertengahan Maret lalu. “Tersangka sudah ditangkap dan ditahan tanggal 23 Maret, saat ini masih proses sidik,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat Komisaris Besar Surawan.

Unpad dan RSHS Bandung menyatakan telah memberhentikan PAP dari program PPDS karena dinilai melakukan pelanggaran etik berat. “Telah melanggar norma-norma hukum yang berlaku,” kata pernyataan resmi kedua institusi. Unpad juga menegaskan bahwa PAP bukan pegawai RSHS, melainkan peserta PPDS yang dititipkan di rumah sakit tersebut.

Shinta Maharani dan Nabiila Azzahra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Intan Setiawanty

Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2023. Alumni Program Studi Sastra Prancis Universitas Indonesia ini menulis berita hiburan, khususnya musik dan selebritas, pendidikan, dan hukum kriminal.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Âİ 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus